8 - Side A : The Intimate Morning

1.2K 220 11
                                    

"Baik, saya minta data-datanya segera dikirim ke email saya, ya. Saya tunggu paling lambat siang ini."

Berisik!

"Ada beberapa yang harus saya pelajari tentang proyek ...." Suara itu menggantung sesaat, lalu dilanjutkan dengan sedikit berbisik-bisik," ...Tjondro Kusumo."

Karla menguap, menyingkap selimut yang membelit tubuhnya dengan rapat. Hawa dingin yang menguar dari pendingin ruangan, membuat bulu kuduknya meremang.

"Tidak. Tidak usah ditunda. Saya tidak keberatan. Segera kirim saja biar saya bisa cepat mempelajarinya."

Suara siapa, sih?

"Besok?" Jeda sesaat. "Bisa."

Karla membuka mata, mengerjap-ngerjap perlahan sebelum pupilnya melebar sempurna. Samar-samar, ia mendapati siluet seseorang yang duduk di depan meja di sisi jendela. Tatapannya terarah pada laptop di hadapan.

"Jangan lupa gambar dan segala perhitungan anggaran biaya untuk proyek sejenis milik..." Jeda sesaat. Nadanya kembali terdengar rendah. "Tjondro Kusumo. Saya perlu membuat perbandingan. Juga untuk memproyeksikan proyek yang akan datang."

Laki-laki. Jangkung. Tampan.

"Beri saya waktu untuk berkemas dan tentunya untuk memberitahu hal ini kepada istri saya."

Suara tersebut tidak asing, terdengar dalam dan berat. Nadanya berbalut keangkuhan.

Seperti suara...

Tunggu. Kenapa ada laki-laki di kamarnya?

Kini, sosok tersebut menyadari bahwa Karla telah terbangun. Ia melepaskan fokus sejenak dari layar, menatap Karla lekat-lekat, lalu berkata, "Good morning, Karla."

Di-Dimas?

"What the hell are you doing in my room?!!" Karla memekik. Histeris. Ia cepat-cepat menarik selimut hingga menutupi sekujur tubuhnya.

Dimas menatapnya terkejut. Ia kembali menatap layar laptop lalu berkata, "Meeting kita akhiri sampai di sini."

Ketika koneksi telah terputus, Dimas bangkit dari duduk. Ia berjalan gegas mendekati Karla. Kedua lengannya dilipat di depan dada. "Tidak bisakah kamu tidak berteriak sehari saja?"

Otak Karla berputar. Kepingan-kepingan memori tersusun cepat di kepalanya. Konferensi pers, lalu—pernikahan semalam.

"Shit!"

Dahi Dimas berkerut. "Jangan terlalu sering mengumpat". Ia lalu tersenyum. Mengejek. "Dan ada yang perlu kuluruskan dalam hal ini. This is not your room. This is our room. Aku tidak sedang menyelinap."

"Bisa nggak sih elo diam?" Karla memijit pelipisnya. Pening.

"Kuharap, kamu tidak mendadak lupa bahwa kemarin kita telah menikah."

"Shut up, Dim. I beg you." Karla mengangkat wajah. Penampilan Dimas pagi ini begitu rapi. Ia telah mengenakan kemeja lengan panjang yang permukaan kainnya licin sempurna. Rambutnya telah dilapisi gel. Disisir dengan rapi.

Karla dapat mencium aroma mint segar kala rentang jarak diantara mereka semakin menipis.

"Jam berapa sekarang?" Karla menggelengkan kepala. Mencoba mengusir aroma itu sebelum melekat erat dalam memorinya.

Dimas menatap arloji di pergelangan tangan. "Nyaris pukul sebelas siang. You're not a morning person, i guess."

"Shit!"

Karla meloncat dari ranjang. Lupa, ia masih mengenakan kebaya lengkap dengan jarit yang masih memeluk erat kedua kakinya. Juga, selimut masih membelit tubuhnya. Tak ayal, tubuhnya nyaris terjerembab.

Dimas menangkapnya tepat waktu. Lelaki itu menahan bahunya dengan kedua tangan, sebelum bibirnya mencium lantai.

Sesaat, kecanggungan hadir diantara mereka. Menyesaki suasana.

Karla lekas-lekas menarik diri, tak ingin berada di dekat jangkauan lelaki itu terlalu lama. Ia lalu mengurai belitan selimut, dan berlari gegas menuju kamar mandi. Setidaknya, kamar mandi adalah tempat paling aman untuk berlindung dan menyelamatkan wajahnya dari kejadian memalukan barusan.

Sesuatu tergelincir, jatuh menggelinding. Asalnya dari bawah selimut. Mereka berdua bersitatap, sedetik kemudian sama-sama menoleh ke lantai.

Semprotan merica.

Lupa. Karla lupa bahwa semalam ia menggenggam benda itu erat-erat dalam tidurnya. Ia pun berlari kembali, meraih semprotan merica tersebut sebelum Dimas terlebih dulu memungutnya.

"Bukankah semalam sudah kubilang, gantilah bajumu terlebih dulu." Dimas berdeham.

"Gue nggak mau ambil resiko," Karla menjawab cepat. Setidaknya, jika ia jatuh tertidur, akan sulit bagi orang lain untuk melucuti kebaya yang dikenakannya. Terlebih, dengan jarit yang juga masih melekat erat di kakinya.

Dan orang lain yang ia maksud adalah Dimas Tjakra.

"Aku juga bukan laki-laki yang suka mengambil keuntungan."

"Dengar, gue sedang nggak mau berdebat dengan lo. Gue mau mandi lalu pergi ke kantor."

Dahi Dimas berkerut. "Ke kantor? Kan kita sedang cuti bulan madu?"

"Lo juga kerja hari ini." Karla tak mau kalah. Ia hanya ingin lekas-lekas menjauh dari Dimas. Ke kantor pun tak masalah. Ia bahkan tidak keberatan jika And-Design tak memberinya cuti.

"Aku hanya melakukan virtual meeting. Aku tidak pergi ke kantor."

"Diam, Dimas. Diam. Please." Karla mulai jengkel. Rasa-rasanya, Dimas memang berniat mencari gara-gara dengannya. "Gue mau mandi dan jangan halangi gue."

"I'm not." Dimas mengangkat kedua tangan. Lalu, "Cepatlah mandi. Aku sudah sangat lapar menunggumu bangun untuk bisa sarapan bersama."

"You can have your breakfast first. Nggak harus nunggu gue."

"I can't. Karena aku mau minta mericamu. Sop ayam di hotel ini terasa hambar. Aku butuh merica tambahan. Kamu masih punya banyak stok semprotan merica, kan?"

Sinting!

"Dan ralat, ya, Nyonya Tjakra, sekarang bukan lagi breakfast. Tapi ini sudah waktunya lunch."

Sinting! Sinting! Dimas emang sinting!

"Nyonya Tjakra, setelah kamu mandi dan kita cek out dari sini, kita ke rumahku lalu ke rumahmu untuk menemui Om Herawan."

"Nggak perlu!"

Dimas tersenyum. Ia berjalan perlahan, mendekati Karla. Ketika sekali lagi tatap mata mereka bertaut, Dimas merundukkan wajah lalu berbisik, "Sebagai pengantin baru, aku harus menyapa mertuaku, kan?"

Dimas emang sinting! 

Tuan dan Nyonya Tjakra [ REPUBLISH ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang