14 - Side A

843 168 19
                                    

"Mas Dimas? Ngapain di sini?"

Karla dan Dimas sontak membalikkan badan, menoleh ke sumber suara. Tampak seorang remaja laki-laki berdiri di hadapan mereka. Mengenakan sweter rajut berwarna abu-abu dengan kerah yang menutup leher. Salah satu tangannya menggenggam keranjang belanja berisi roti dan beberapa kemasan kudapan manis. Sementara tangan lainnya terbenam dalam saku celana.

"Brian?" Alis Dimas mengernyit. "Ngapain kamu di sini?"

"Mas Dimas sendiri, ngapain?" Pemuda bernama Brian tersebut mengulang pertanyaannya kepada Dimas. Namun, kentara sekali bahwa sorot matanya terkunci kepada Karla. Menelisik dari atas hingga ke bawah.

"Ya belanja," Dimas menjawab.

"Itu—siapa?" Dagu Brian terangkat, tertuju kepada Karla.

"Nah itu—siapa?" Kini, dagu Dimas ganti terangkat, tertuju kepada seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari salah satu lorong makanan ringan dan memasukkan sesuatu ke dalam keranjang belanja yang digenggam Brian. Ia mengenakan seragam sekolah menengah atas.

"Kan aku yang nanya duluan," Brian memprotes.

"Kan kamu harus jawab pertanyaan orang yang lebih tua duluan." Dimas tak mau kalah.

Karla menghela napas. Keningnya berdenyut ketika mendengar pertikaian dua lelaki di hadapannya. Karla berusaha mengurai tangan Dimas yang masih melekat di bahunya. Namun, di luar dugaan, Dimas justru semakin mengunci pelukannya.

"Hei, Tjakra junior, beri salam dulu sama Nyonya Tjakra, istrinya Tjakra senior." Dimas berdeham, menyeringai jail, lalu memberi titah kepada Brian. "Dia Brian, adik sepupu pungut jauh."

"Enak aja ngatain pungut." Sontak, mata Brian melebar. Pemuda itu kembali menatap Karla lekat-lekat. Lalu, "Jadi, kabar itu benar? Mas Dimas nikah di Jakarta gak bilang-bilang dulu sama keluarga?"

Tunggu, tunggu...

"Sebenarnya—" Kalimat Dimas menggantung di udara. Lelaki itu melirik Karla diam-diam. Seakan-akan, takut bila lidahnya tergelincir saat berusaha mengatakan sesuatu kepada Brian.

"Karla." Karla tersenyum, menyodorkan tangan. Brian hanya menanggapinya dengan satu tatapan tajam, tanpa berusaha menyambut uluran tangan tersebut.

"Brisia." Gadis di samping Brian menjabat tangan Karla setelah Brian membiarkannya mengambang di udara cukup lama. "Kak Karla bisa memanggilku Bri."

"Pacar?" Karla mengerlingkan mata. Mencoba beramah-tamah dengan gadis berambut sebahu tersebut.

"BUKAN!"

"NGAWUR!"

Kali ini, baik Brian maupun Brisia, mengelak bersamaan. Nadanya berbalut kepanikan.

"Pacar juga nggak apa-apa, kok." Karla tersenyum menggoda.

"Nggak, ya. Kalau aku bilang nggak, ya enggak." Brian masih menatapnya tajam.

"Bukan, Kak. Cuma temen sekelas." Brisia menyikut perut Brian hingga pemuda itu mengaduh kesakitan. Gadis itu berbisik, "Yang sopan dikit sama kakakmu."

Dimas bergerak maju, mengunci leher Brian dengan lengannya. "Yang sopan dong kalau bicara sama orang yang lebih tua." Ia menjitak kepala Brian dengan gemas.

"Mas Dimas juga nggak sopan. Nikah nggak bilang-bilang." Brian memberontak, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Dimas. "Tuh, diomongin di WA grup keluarga."

"Anak kecil tahu apa?"

"Kenapa mau nikah sama mas Dimas meski nggak dikenalin ke keluarga?" Kalimat Brian barusan menyita perhatian Karla.

Tuan dan Nyonya Tjakra [ REPUBLISH ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang