"Menikah, kata lo?"
Karla bertanya, nyaris berteriak. Dimas berdiri di hadapannya. Kedua tangan lelaki itu terbenam di saku celana, tak lagi menggenggam erat jemari Karla seperti beberapa waktu yang lalu.
"Are you crazy or what? Gila, ya? Sinting ya? Nggak waras?" Karla menyemburkan amarahnya sekali lagi.
"Aku tidak tahu kalau seorang Karla Widjaja begitu lancar memaki dan mengumpat." Dimas mencibir. Kedua alisnya tertarik ke atas. Ekspresinya mengejek.
Konferensi pers telah selesai. Tentu saja, dengan hasil yang jauh dari bayangan Karla. Tugas mereka bukan untuk membungkukkan badan sambil meminta maaf, seperti yang ia kira sebelumnya. Tugas mereka lebih gila dari itu.
Menikah demi nama baik biro. Menikah demi menyelamatkan nama kedua keluarga.
Kalau masih bisa memilih, Karla lebih suka membungkukkan badan ke kamera sambil merapalkan ribuan kalimat permintaan maaf atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Mungkin hingga punggungnya bengkok lalu patah pun, tak apa. Paling-paling, ia hanya perlu mengunjungi tempat pijat shiatsu untuk meluruskan sarafnya kembali.
"Thank you. I'll take that as a compliment." Karla mengedikkan bahu. Acuh tak acuh.
"Bisa pelankan dikit suaramu?" Dimas bertanya. Entah bertanya atau memerintah, Karla tak tahu bedanya. Dan ia sungguh tak peduli meski lelaki itu juga menambahkan, "Orang-orang yang ada di luar bisa mendengar teriakanmu."
Mereka kini berada di dalam kamar hotel Aileen. Berdua. Dimas meminta semua orang; stylist, beberapa anggota tim sekuriti dari kedua pihak, untuk membiarkan dirinya dan Karla berbicara empat mata.
Kamar Aileen terlihat sedikit berantakan, meski tidak bisa dibilang kacau. Beberapa dress yang tadi sempat dikenakan Karla, ditumpuk dan diletakkan begitu saja di atas salah satu sofa. Beberapa pasang sepatu juga masih tergeletak di lantai yang berlapis karpet. Rupa-rupanya, stylist tadi belum sempat membereskan kekacauan yang mereka buat.
"Apa sih yang ada dalam pikiran lo?" Karla melepas sepatu yang membalut kedua kakinya, lalu melemparkannya sembarangan. Gerakannya terburu-buru dan kasar. Benda tersebut membentur dinding, lalu menggelincir cepat ke lantai. Ia tidak peduli jika Jimmy Cho milik Aileen tergores sudut dinding. Harga sepatu itu, semahal apapun, tidak sebanding dengan harga dirinya saat ini. Jika nanti Aileen marah dan meminta ganti rugi kepadanya, well, Karla sudah bercita-cita akan melempar Jimmy Cho tersebut tepat ke wajah Aileen, sebelum menjambaknya terlebih dulu.
"Tell me, what's in your head?"
"Calm, Karla, calm. Kamu bisa tenang dulu?"
"Damn! Just shut up your mouth, Dimas!"
Namun, Dimas tak mau diam. Lelaki itu terus saja bicara. "Apa kamu punya pacar? If you have a boyfriend, let me talk to him."
"Goddamnit, Dim! Ini bukan perkara gue udah punya pacar atau nggak! Ini perkara hidup gue!"
"Listen, Karla." Kali ini Dimas meninggikan nada suaranya. Ia meraih lengan Karla, memaksa perempuan itu agar menatap matanya. "We'll find them. William and Aileen."
"How? Gimana caranya?" Karla mencibir. Tatapannya menantang. "Gue penasaran bagaimana cara lo nemuin mereka. Dan seharusnya, itu yang lebih dulu lo pikirin dibanding melontarkan ide spektakuler untuk nikahin gue! Gue rasa, menemukan mereka juga udah nggak ada gunanya. Widjaja dan Hardja akan disatukan dalam pernikahan. Tapi gue nggak mau jadi pengantin pengganti buat sepupu gue. Gue maunya nikah sama orang yang bener-bener gue cintai!" Napas Karla terengah-engah. "Bukannya sama lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan dan Nyonya Tjakra [ REPUBLISH ]
RomanceDimas Tjakra dan Karla Widjaja terjebak dalam usaha akuisisi dua perusahaan konstruksi berkedok pernikahan. Bukan pernikahan biasa, karena mereka masing-masing punya misi untuk mencuri data rahasia perusahaan pesaing. Sebuah mega proyek di Surabay...