Wening adalah tulang rusuk ... sekaligus tulang punggung di dalam keluarganya.
Bukan. Bukan karena Laskar seorang pengangguran. Bukan juga karena Laskar mengambil alih seluruh pekerjaan rumah tangga. Kehidupan Wening tidak seperti di dalam sinetron Dunia Terbalik.
Laskar memiliki pekerjaan. Namun, penghasilannya tak menentu. Sebagai seseorang yang bahkan tidak lulus di bangku SMP, tak banyak orang yang mau menerima seorang lelaki tua dengan berbekal ijazah SD.
"Bisa makan saja kamu sudah untung, Kar. Jangan berharap punya jabatan. Mimpimu ketinggian. Saya gak mau kamu ikutan gila kayak si Tedi. Gila dukun. Gila judi. Gila perempuan. Sekarang gila beneran di jalanan," ujar salah satu teman Laskar saat dirinya ikut kumpul-kumpul di pos ronda.
Begitulah impian Laskar sebagai seorang dokter berubah menjadi patahan-patahan semu. Cita-citanya menjadi PNS terbang tak tentu arah. Harapannya hidup sejahtera tenggelam dan tak kembali. Ah, barangkali Laskar saja yang lupa menyalakan lentera sebagai tanda jalan pulang bagi asanya.
Laskar pernah mencoba berdagang. Dari menjadi pedagang asongan, tukang nasi soto di pasar, tukang mainan keliling, penjual baju kreditan, sampai yang terakhir berjualan batagor. Laskar juga sempat menjadi tukang ojek pengkolan. Namun, semua pupus di tengah jalan hanya karena satu alasan: mudah menyerah.
"Udah malas saya dagang, Bu. Awal aja ramai. Udah ke sini, malah sepi," ujar Laskar sambil duduk bersila di dipan rumahnya.
Laskar menyesap kopinya. Menghisap batang rokok yang tinggal setengah. Meniup asap yang keluar dari mulut. Lalu mulai berkata lagi, "Cape saya, Bu. Berdiri di depan seharian bahkan sampai malam. Tapi, gak ada yang beli. Paling cuma beberapa. Bahan buat dagang jadinya terbuang sia-sia. Mubazir."
"Ya, namanya juga orang dagang, Pak. Ada pasang-surutnya. Kadang ramai, kadang sepi. Bapak mesti sabar. Kita mesti lebih telaten lagi," tutur Wening lemah lembut.
Laskar memandang nanar kepulan asap di depan wajahnya. "Ah, dasar aja orang-orang di sini. Ada penjual batagor yang dekat, tapi lebih memilih yang jauh. Padahal saya juga bikin batagornya pakai bahan-bahan yang bagus. Pakai ikan juga. Bukan sekedar aci doang. Gak kalah saing kok soal rasa. Mereka memang gak mau bantu tetangga aja."
Kalau Laskar sudah keras kepala begitu, Wening hanya bisa menghela napas pasrah. Bukan tidak ingin memberi nasihat suaminya, Wening sudah terlalu lelah. Laskar selalu begitu. Awal saja semangat berkobar, merayu-rayu Wening untuk memberinya modal. Baru beberapa bulan, sudah melempem seperti kerupuk yang lupa ditaruh di dalam stoples.
Tak terhitung berapa kali Wening mengeluarkan banyak uang. Kalung, cincin dan gelang emas yang dia tabung dari hasil kerjanya pun telah berubah menjadi gerobak, piring, mangkuk serta panci-panci yang cukup mahal harganya. Namun pada akhirnya, semua itu hanya teronggok di dalam lemari kayu dan dibiarkan berdebu.
Bukankah jauh lebih mubazir?
Selain alasan rasa mudah menyerahnya, Laskar ... pernah kena tipu. Dulu, dia hampir menjadi saudagar rokok setelah lama merintis karir menjadi pedagang asongan. Laskar sempat memiliki kios sendiri dari hasil tabungannya menjual rokok. Alih-alih berjaya, dagangan Laskar malah ludes diambil orang. Laskar terkena hipnotis. Saat sadar, semua rokoknya tak bersisa. Meninggalkan etalase kaca yang kosong melompong.
Akhirnya, Laskar hanya menjadi seorang tukang pijat. Profesinya saat ini. Itu pun berkat berguru pada salah satu tetangganya yang memang sudah memiliki sejumlah murid dengan profesi sama seperti Laskar. Berbekal ilmu itu, Laskar dapat membantu perekonomian keluarganya yang nyaris berporos pada Wening.
Bagaimana dengan kedua anaknya, Diksi dan Bait?
"Loh, udah pulang? Kenapa nih datang-datang cemberut gitu?" tegur Wening pada Bait yang baru saja tiba di depan rumahnya.
"Bait kesel, Bu. Bait barusan baru dapet uang. Tapi diambil semua sama Diksi."
"Lah, memangnya buat apa?" Wening mengerutkan dahinya sambil fokus mengelap kaca gerobak yang biasa dipakainya untuk berjualan nasi kuning.
Bait mendengkus. Kesal sendiri. "Katanya pinjam sebentar. Temen-temen Diksi ngajakin jalan ke Ciwidey. Katanya lagi, 'masa dia gak bawa uang buat bekal. Malu nanti kalau yang lain jajan, tapi dia malah diem melongo kayak anak hilang.' Kesel, kan, Bu?"
Wening hanya tersenyum tipis. Lantas dia menaruh kanebo yang sudah dibasahkan dengan air itu di dalam laci gerobak. Langkahnya pelan mendekati Bait yang duduk di teras sambil membuka sepatu bututnya. Kemudian, Wening ikut duduk di sebelah lelaki berambut agak ikal itu.
"Memangnya berapa uang yang dipinjam sama Diksi?" tanya Wening sabar.
"Lumayan sih, Bu. Dua ratus ribu."
"Itu upah dari Pak Bakri? Tumben banyak?"
Bait menggeleng lemah. "Bukan. Barusan Bait ketemu sama ibu-ibu baik di dekat terminal. Bait bantu ibu itu yang hampir ketabrak mobil."
"Kok bisa kamu ada di terminal?"
"Habis dari pasar, Bait diajak Pak Bakri ke terminal Leuwi Panjang. Katanya minta ditemenin jemput anak gadisnya yang baru pulang dari Jakarta."
Wening menganggukkan kepalanya. Kedua netra Wening menatap lurus ke dalam mata Bait. Dia masih menyimak cerita anak bungsunya itu.
"Waktu mau pulang, ada ibu-ibu yang lagi jongkok di zebra cross. Lagi ambil dompetnya yang jatuh. Eh, tiba-tiba Kijang silver nyerobot lampu merah. Gak lihat ada ibu-ibu itu. Untung Bait cepet bertindak. Buat ucapan makasih, Bait dikasih uang seratus ribu," tutur Bait panjang lebar.
Bait bangkit berdiri sambil menaruh sepatunya di dalam rak kayu. Jari telunjuk dan jari tengah Bait teracung ke udara. Membentuk huruf 'V'. Lanjutnya, "Sumpah deh, Bu. Udah Bait tolak. Tapi, ibunya maksa-maksa. Uang itu malah diselipkan di saku celana Bait. Mau dikembalikan, ibunya malah udah ngacir."
Wening tersenyum dan ikut berdiri. "Gak apa-apa. Itu namanya rezeki."
"Rezeki buat Diksi sih, iya," sungut Bait. Dia masih tak rela hasil kerja kerasnya mengangkat sayuran dipakai seenak jidat oleh Diksi. Kebangetan!
"Huss! Jangan gitu." Wening berjalan menuju ruang keluarga yang merangkap sebagai ruang makan. Dia mengeluarkan wadah nasi serta satu piring berisi tahu oseng. Dia menaruh dua benda itu di depan Bait yang telah duduk manis di atas tikar yang sudah mulai tak beraturan wujudnya.
"Memang benar begitu adanya, kan, Bu. Uang Bait gak pernah dikembalikan sama Diksi. Pinjam terus, tapi lupa buat ngembaliin." Bait menyalakan televisi. Mengalihkan rasa kesalnya. Cukup Laskar yang menjadikan Wening sebagai kambing hitamnya. Bait tidak mau melakukan hal serupa. Dia terlalu sayang Wening.
"Ya udah, makan dulu. Cape, 'kan? Jangan ngomel terus. Nanti cepet tua," canda Wening.
Bait melirik ibunya. Menurut untuk mengambil nasi dan lauknya. Memangnya Bait bisa apa lagi selain menurut?
Protes? Mengeluh? Dia sudah tak ingin berdebat lagi perihal Diksi. Diksi yang belum bekerja sampai sekarang atau ... memang Diksi yang tak mau mencari uang. Juga hobi Diksi yang menghamburkam jerih payah Wening. Diksi yang selalu 'merampas' gaji dari perkerjaan serabutannya di pasar. Sudah. Bait tak mau merengek lagi seperti dulu. Toh ibunya juga diam saja.
¤ ¤ ¤
Diterbitkan tanggal :
04 Juli 2021
1067 kata
Salam, Hujan Pemimpi ☁💜

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
Aktuelle LiteraturDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...