8. Ada Apa Dengan Diksi?

12 4 5
                                    

Dentingan suara piring dan sendok milik Bait, menjadi satu-satunya pertanda bahwa ada kehidupan di dalam rumah kecil itu. Seluruh penghuni seraya menjahit bibirnya. Sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tak ada yang ingin mengucap sepatah kata. Bungkam.

Sejak kejadian Melati, Diksi masih belum kembali ke rumah. Sementara Laskar, hanya pergi selama beberapa jam. Setelahnya, Bait menemukan pria paruh baya itu sedang duduk-duduk di dipan. Tak lupa ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok yang diapit kedua jarinya.

Jangan tanya bagaimana perkara antara Wening dengan Laskar berakhir. Melihat perangai Wening, sudah pasti perempuan itu akan menekan rasa egonya dan memaafkan Laskar. Sementara Laskar, akan mengumbar maaf dan janji palsu yang bahkan terdengar sudah basi.

Ah, Bait tak ingin memikirkannya. Percuma menasehati Wening jika akhir ceritanya akan selalu sama. Lebih baik Bait fokus mengenakan kemeja yang baru saja selesai disetrika setelah sarapan. Ada wawancara kerja di Jakarta. Beberapa hari lalu, Bait mendapatkan panggilan dari sebuah perusahaan yang termasuk dalam dafar 'Lima Perusahaan Farmasi Terbesar di Indonesia'. Sebelum matahari memancarkan sinarnya, Bait harus sudah berada dalam perjalanan.

"Tasmu kelihatan penuh. Apa saja isinya?" tanya Wening ketika Bait sedang tergesa mengenakan sepatu kets alakadarnya.

"Kata Gugun, setidaknya Bait membawa beberapa baju ganti. Jaga-jaga jika nanti langsung kerja. Ada kemungkinan Bait akan langsung mencari kos-kosan di sana, Bu," jelas Bait seraya berdiri tegap.

"Gugun?" ulang Wening sambil membersihkan roda yang biasa dipakai berjualan. Rutinitas yang dilakukannya sambil menunggu nasi kuning matang.

Sebelun pamit, lelaki yang belum genap dua puluh tahun itu memandang bayangannya pada kaca jendela. Oke, sudah cukup rapi, pikir Bait.

"Iya, Gugun, Bu. Teman sekolah Bait. Masih satu jurusan juga. Mungkin nanti jadi teman sekamar, kalau Bait memang keterima di sana," jelas Bait.

Wening terdiam. Kedua matanya fokus memandangi setiap gerak-gerik Bait.

"Tenang saja, Bu. Gugun anaknya baik. Gak neko-neko," tukas Bait seolah mengerti rasa khawatir yang hinggap di benak perempuan itu. Dia mendekatkan diri ke arah Wening. Kemudian meraih tangan kanan ibunya. "Bait berangkat sekarang yah, Bu. Takut ketinggalan bis."

Setelah mencium punggung tangan Wening, Bait menyeret langkah meninggalkan rumah. Ditemani hawa dingin yang menggigit sampai ke tulang, wajah Wening terngiang lagi di benaknya. Perempuan itu banyak memberikan nasehat sebagai bekal. Raut kekhawatiran tampak jelas di wajahnya.

Kalau diingat-ingat lagi, Bait jadi ingin kembali pulang. Menemani Wening yang tampak kesepian. Tak berniat melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Tapi, demi Wening, juga demi cita-citanya, Bait tak akan berhenti di tengah jalan. Jika ada pekerjaan dengan gaji lebih besar dari kerja serabutan dan tukang panggul sayur, kenapa harus Bait sia-siakan, bukan?

Deru motor yang tak asing menghampiri Bait. Terpaksa dia menghentikan langkah. Si pengendara Beat putih baru saja parkir di depannya. Penampilan orang itu tampak sederhana. Seperti biasa. Kaus oblong dengan celana jeans selutut. Yang membedakan, kaus yang dipakai tidak sama dengan yang terakhir Bait lihat.

"Pakai kaos siapa?" Pertanyaan itulah yang pertama kali keluar dari mulut Bait. Tatapannya tampak menyelidik.

Yang ditanya mendengkus pelan. "Pinjem punya temen."

"Siapa?"

"Frido."

Bait mengangguk-anggukkan kepala. Tak ingin bertanya lagi. Dia cukup kenal dengan Frido. Lelaki itu lumayan akrab dengan Diksi. Beberapa kali Bait melihat Frido datang ke rumah untuk mengajak kakaknya pergi ke luar, atau sekedar pinjam motor.

"Nih jaketnya," tutur Bait setelah mengeluarkan sebuah jaket berbahan parasut dari dalam ranselnya.

Si pengemudi motor lantas menggunakan jaket pemberian Bait. Sebelumnya, mereka memang telah janjian lewat pesan. Keduanya sepakat untuk bertemu di pasar tradisional dekat rumah.

Bait segera duduk di kursi boncengan. Si pengemudi segera tancap gas untuk membelah jalanan perbatasan antara kota Bandung dengan Cimahi. Melewati bundaran yang menjadi patokan menuju jalan Soekarno-Hatta.

Masih dini hari. Jalanan tampak sepi. Hanya ada beberapa motor yang berlalu untuk menyelip Beat putih yang Bait tumpangi. Segera lelaki itu merapatkan jaket begitu angin menerpa kulitnya lagi.

"Kapan mau pulang ke rumah?" tanya Bait ketika motor mereka terjebak lampu merah.

"Bapak udah pulang memangnya?" Lelaki itu balik bertanya.

"Udah."

"Kalau gitu, nanti aja. Masih males aku."

Bait membuka mulut lebar. Lalu menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa. Kemudian mengembuskannya secara kasar. Rasanya lelah dengan drama di dalam rumah yang tiada habisnya. "Beberapa hari ini, Kak Diksi tinggal dimana?"

Ya, lelaki yang tengah membonceng Bait itu adalah Diksi. Meski tak pulang ke rumah, Bait dan Diksi tetap saling bertukar pesan. Tidak terlalu sering memang. Diksi selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Bermain bersama teman-temannya, misalnya. Lagipula isi pesan antara mereka hanya sebatas laporan Bait tentang kondisi di dalam rumah.

"Pindah-pindah," jawab Diksi sambil mulai melajukan kembali motornya. "Kadang di rumah Nanda. Kadang di kontrakan Frido. Kadang bareng anak-anak Beaterz."

Dahi Bait mengernyit. Beaterz? Nama yang sangat familiar. Kalau tidak salah, itu adalah kelompok beberapa pemuda pecinta motor Beat. Komunitas mereka memang tidak besar. Hanya terdiri dari 10 sampai 15 orang.

Tapi Bait sedikit tak menyukai kelompok itu. Ketimbang melakukan hal-hal positif, mereka lebih sering melakukan hal 'negatif'. Contohnya? Seperti 'menculik' Diksi hingga berhari-hari tak pulang karena on the road keliling kota. Sekilas tak aneh, sih. Namun, konvoi mereka selalu disertai gadis-gadis berpakaian kurang bahan. Meresahkan.

Bahkan mereka membuat Wening dan Laskar khawatir karena tak mendapatkan kabar selama 'penculikan'. Bahkan keluarganya baru mendapat kabar setelah Diksi pulang. Itu pun harus menunggu lelaki itu bangun dari tidur panjang karena kelelahan.

"Aku kira Kakak udah gak sering main sama mereka. Bukannya Kakak udah janji sama Ibu dan Bapak?" tanya Bait.

Suara bising motor milik Diksi membuat suara lelaki itu samar-samar terdengar. Setiap Diksi bicara, Bait perlu sedikit mencondongkan kepalanya agar lebih jelas mendengar.

"Kadang-kadang aja. Yang penting gak sering gaul sama mereka. Lagian kenapa sih? Mereka Baik. Solid. Bikin aku merasa punya keluarga kedua."

Bait mendengkus lelah. "Tapi ajaran mereka terlalu sesat. Jangan kira aku gak tahu Kak Diksi pernah minum-minum. Kak Diksi juga sering ikut judi, 'kan? Ya, emang cuma judi bola. Tapi judi ya tetap judi. Aku jadi curiga. Mereka gak ngajarin hal lain, 'kan?"

Diksi menghentikan laju motornya. Bukan karena marah dirinya ketahuan oleh Bait. Bukan juga karena tuduhan dari adiknya itu. Namun, karena keduanya telah sampai di tujuan, Terminal Leuwi Panjang.

"Maksudnya?" tanya Diksi ketika Bait telah turun dari motor.

"Narkoba, misalnya."

¤ ¤ ¤

Dipublikasikan tanggal :

30 Juli 2021

1017 kata

Salam, Hujan Pemimpi ☁💜

Perempuan Pukul Tiga PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang