Biasanya, Minggu Wening akan sama saja seperti hari-hari lainnya. Duduk sendirian di atas kursi bambu sejak pukul 05.30 pagi. Ditemani radio butut ketinggalan zaman yang memutar lagu-lagu lama. Bersandar pada tembok semen sambil bernostalgia mengenang masa muda dulu. Masa belum memikirkan kerumitan hidup. Ah ... sayangnya, sejak muda pun hidup Wening memang sudah penuh perjuangan.
Pagi ini, terasa sedikit berbeda. Barangkali setelah Bait bekerja di Jakarta. Anak bungsunya itu jadi memiliki waktu luang di hari Minggu ketika berada di rumah. Bait akan datang dan menemani Wening untuk sekedar duduk-duduk. Lalu bercerita panjang lebar tentang hal-hal unik yang ditemuinya di tempat kerja atau di sekitar lingkungan kosan. Kadang membahas betapa hambarnya rasa tahu dibandingkan dengan tahu tukang keliling di Bandung. Katanya, sangat sulit menemukan makanan enak dan murah. Bandung masih tetap juara.
"Kemarin ada kejadian lucu, Bu," seru Bait dengan semangat. Mulutnya masih mengunyah gorengan yang dia beli dari warung sebelah.
"Kejadian apa memangnya?" tanya Wening disela-sela melayani pelanggan. Tangannya bergerak cepat mengambil nasi, mi, orek tempe, bawang goreng, timun, dan sambal. Lalu membungkusnya rapat dengan karet sebagai pengikat. Dia meraih sebuah kantong keresek. Kemudian memasukkan bungkusan itu beserta kerupuknya.
"Bait dan Gugun sedang duduk-duduk di teras lantai dua. Jam delapan malam memang masih sangat ramai di lingkungan kosan Bait. Penghuni wisma Antam juga dapat terlihat dari kejauhan sedang berkumpul di loteng. Lalu, saat Bait dan Gugun tengah sibuk dengan ponsel masing-masing, tiba-tiba antena TV yang tergantung di tembok tepat di sebelah kiri Gugun bergerak-gerak. Ke kanan-ke kiri."
"Terus?" tanya Wening.
"Bait dan Gugun saling pandang. Terus aku bilang, 'mungkin tetangga sebelah sedang menjahili kita'. Lantas Gugun bangkit berdiri. Mungkin dia mau menegur anak dari tetangga sebelah yang memang suka iseng. Eh, ternyata tidak ada siapa-siapa di loteng rumah sebelah. Waktu Bait tengok ke bawah, anak tetangga sebelah ternyata sedang nongkrong bersama teman-temannya di depan rumah."
Wening mengerutkan dahi. Dia berjalan mendekati Bait lalu duduk di sebelahnya. "Terus?"
Bait terkekeh sebentar. "Gugun duduk lagi. Lalu antena bergerak-gerak lagi. Kukatakan saja asal kalau angin yang membuatnya bergerak. Gugun hanya menjawab 'oh' dan mengikutiku kembali bermain handphone. Lucu sekali."
"Kenapa lucu?"
"Karena kami berdua sama-sama tahu, tidak ada angin yang berembus malam itu. Justru kami memang sedang mencari angin untuk menghilangkan gerah. Saat kami memutuskan kembali ke kamar, baru kami berdua sama-sama mengungkapkan keganjilan yang terjadi. Lalu tertawa sendiri karena sok-sokan tidak takut dengan gangguan kecil itu."
Bait menyelesaikan ceritanya dengan tawa renyah. Kemudian mulutnya sibuk mengunyah gorengan lagi. Kali ini tempe mendoan digigitnya besar-besar.
"Memangnya kamu sering diganggu hal-hal begitu?" tanya Wening.
Dia melihat Bait tampak berpikir. Kemudian lelaki itu menggeleng pelan. "Enggak sering sih, Bu. Waktu awal-awal saja Bait tinggal di kosan. Lampu kamar mandi akan mati sendiri pada pukul tujuh malam. Bait pernah kena apes. Bait kira sedang dijahili. Ternyata ... yah begitulah, Bu. Untung tidak pernah melihat wujud yang seram-seram."
Wening tersenyum samar. Dia memberikan berbagai nasihat disela-sela kesibukannya melayani pelanggan yang terus berdatangan.
"Ning, kamu tahu Windari mau nikah?" tanya Susan--salah satu tetangganya--tiba-tiba.
Susan memanggil Wening dari teras rumahnya. Rumah sudut jalan penangkap segala jenis berita, begitu kata Bait. Bahkan lelaki itu memberi julukan 'bigos' alias biang gosip. Wening selalu tersenyum samar ketika mengingat julukan yang tersemat pada Susan.
Namun, kalau dipikir-pikir memang benar, ada saja bahan yang bisa menjadi topik perbincangan oleh Susan. Dia itu ibarat infotainment bagi warga di lingkungan rumah Wening. Ingin tahu info terbaru? Tanya saja pada Susan. Dia pasti tahu.
Wening melirik sekilas ke arah Bait yang terlihat malas. Lelaki itu tersenyum simpul lalu pura-pura sibuk bermain ponsel, ketika Susan keluar rumah dan mendekati gerobak nasi kuning Wening.
"Windari mau nikah, Ning." Susan mengulangi pernyataannya. "Udah tahu?"
Wening pun menggeleng santai. "Belum. Memangnya kapan?"
"Gak tahu, sih. Katanya bulan-bulan ini," tutur Susan dengan tampang serius.
"Oh. Sama siapa?"
"Sama pacarnya yang kemaren itu. Yang anak jalanan, Ning. Si Burhan-Burhan itu."
Wening mengangguk pelan. Ekspresinya tenang. Berbeda dengan Susan yang menggebu-gebu seperti berdemo minta diturunkan harga sembako. Wening memang bukan orang yang senang bergosip. Kalau boleh, tentu dia akan lebih memilih untuk duduk di samping Bait. Lalu mendengarkan cerita-cerita anaknya dibanding ocehan Susan. Namun, demi sopan santun, dengan berat hati Wening masih menanggapi perempuan itu. Lagipula, jika Susan diabaikan, dia akan membicarakanmu di belakang. Bergosip dengan tetangga-tetangga yang lain.
"Aku ikut bahagia. Bersyukur kalau mamahnya Windari mau punya mantu," tutur Wening tulus.
"Ya, tapi calonnya gitu, Ning. Dia, kan, yang pernah berseteru sama mamahnya Windari. Maki-maki gitu. Ingat, kan, Ning? Sampai heboh tetangga pada tahu. Ih, kalau aku sih gak mau anak kayak gitu dijadiin mantu."
Wening tersenyum kecil. "Yah mungkin memang sudah jodohnya, San."
"Iya, sih. Tapi ... kasihan mamahnya Windari. Kirain aku, setelah perseteruan itu mereka sudah putus. Ternyata masih lanjut. Padahal orang tua Windari sudah blacklist itu anak dari daftar calon mantu, kan, yah? Heran sama Windari. Apa yang dia lihat dari Burhan."
Tiba-tiba Wening mendapati Bait terbatuk-batuk di kursi bambu. Lelaki itu menepuk-nepuk dadanya pelan.
"Kenapa, It?" tanya Susan penasaran.
Bait terkekeh disela batuknya. "Gak apa-apa, Bu. Cuma keselek gorengan."
Susan ber-oh panjang. "Hati-hati makanya kalau makan, It."
Bait hanya tersenyum setelah batuknya reda. Lelaki itu seraya berdiri. "Bu, Ibu Susan, Bait pamit pulang ke rumah dulu, yah? Mau minum."
Ketika Susan mengangguk, diam-diam Wening menarik garis tipis di ujung bibirnya. Dia tahu, pasti Bait hanya beralasan saja agar menghindari mulut Susan yang tak henti bercerocos. Susan memang cocok menjadi pembawa acara berita gosip di televisi.
"Padahal yah, Ning. Windari, kan, cantik yah? Mana kulitnya putih, badannya bagus, kayak artis pokoknya. Masih gak ngerti aku kenapa mau sama Burhan." Susan masih dengan mulutnya yang 'bersabda'. Jika semua informasi yang didapatnya belum dibicarakan, jangan harap perempuan itu akan mengakhiri acara gosipnya. Maka, dengan lapang dada Wening mendengarkan dengan hati-hati.
"Jodoh memang begitu, San. Tidak ada yang tahu. Mungkin memang sudah jodohnya Windari adalah Burhan."
"Iya, sih. Mungkin memang sudah jodohnya." Raut Susan terlihat berubah. Barangkali kurang puas dengan tanggapan Wening yang datar-datar saja.
Melihat Susan terdiam, Wening mengutak-atik radio bututnya. Berniat mencari saluran lain karena lagu-lagu lama yang tadi didengar sudah selesai diputar. Wening pikir, dengan keterdiaman Susan acara bergosip mereka telah berakhir. Nyatanya pikiran Wening salah. Susan justru membuka topik baru yang membuat kerutan di dahi Wening bertambah.
"Tapi Ning, yang aku dengar, Windari itu hamil duluan. Makanya cepet-cepet mau nikah."
¤ ¤ ¤
Dipunlikasikan tanggal :
03 Agustus 2021
1082 kata
Salam, Hujan Pemimpi ☁💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
Fiction généraleDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...