Bait nyaris mendapati Diksi melempar ponselnya ke lantai. Untung kedua netranya sempat menangkap gerakan tangan lelaki itu. Dengan sigap Bait merebut ponsel milik Diksi.
Bait ingin tahu apa yang membuat mata kakaknya itu memanas. Deru napasnya begitu cepat tak karuan. Hingga Diksi terlihat sangat ingin memakan orang hidup-hidup. Maka Bait segera memelototi benda yang membuat Diksi semurka itu.
"Itu perempuan memang gak tahu diri! Kalau dia ada di sini, udah aku habisin!" seru Diksi sambil menunjuk-nunjuk ponselnya.
Sementara Bait, masih serius membaca pesan antara Diksi dengan perempuan yang dikata tidak tahu diri itu. "Wah, gila! Bener-bener gila!" komentarnya.
Jelmaan iblis! Bait berteriak di dalam hati. Tak ingin membuat sumbu api Diksi semakin terbakar. Lagi pula Bait tidak tahu kata apa yang lebih tepat untuk menggambarkan si perempuan. Bait tidak biasa mengumpat dan berkata kasar seperti Laskar.
Bait dan Diksi menoleh ketika mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamar mereka. Tanpa perlu menunggu salah satu di antaranya untuk mempersilakan masuk, pintu kamar mereka sudah terbuka sendiri. Menampakkan wajah Wening yang tak karuan. Yang paling jelas adalah mata bengkak dan bibir pucatnya.
Bait pikir, kehadiran Wening sore itu adalah untuk memarahi tindakannya bersama Diksi. Dia kira ulahnya terpegok Wening. Nyatanya Wening datang untuk curhat lagi. Ya, semuanya bermula dari curhatan Wening pukul tiga pagi tadi.
"Bapakmu, punya 'Bunda' baru lagi."
Bait yang tadinya hendak ke kamar mandi karena panggilan 'alam', mendadak jadi patung manekin di tangga. Tubuhnya kaku. Ada desir hampa yang merambat dari ujung kakinya hingga kepala. Ada gejolak marah ketika mendapati Wening bicara begitu mudahnya. Sangat enteng. Seolah ucapan tadi tak berarti apapun padanya.
Bait melirik pintu kamar mandi yang ada di sebelah dapur. Rasanya pintu itu sudah tak menggoda lagi untuk membuatnya masuk ke dalam bilik kecil di baliknya. Langkahnya merayap mendekati Wening yang entah sedang memasak apa. Begitu sampai di sebelah perempuan bertubuh agak gempal itu, barulah Bait tahu bahwa ibunya sedang mengaduk-aduk air mendidih di atas wajan.
"Airnya udah mateng, Bu," tegur Bait sambil mematikan kompor.
Lebih baik dia segera mencegah kebakaran di dalam rumahnya karena alasan konyol. Lagi pula, air di dalam wajan hampir mengering. Bisa-bisa kebakaran sungguhan rumah yang baru saja selesai dicicil Wening selama lima tahun ini.
"Dia ... Melati," ujar Wening sambil menatap bayangan wajahnya sendiri di dalam air pada wajan.
Bait menghela napas. Seolah mengerti bahwa Wening sedang tidak ingin membahas perihal air, tangan Bait segera meraih pundak perempuan itu. Menarik perlahan agar tubuh Wening menjauhi kompor. Mencegah hal-hal yang tidak diinginkan saja.
"Bapak lagi apa sekarang?" tanya Bait setengah berbisik. Kepalanya menengok ke arah pintu kamar Wening yang masih tertutup rapat.
"Masih tidur."
Bait mengangguk. "Kita bahas di atas yuk, Bu."
Kali ini Wening ikut menganggukkan kepalanya. Kakinya gontai menaiki setiap anak tangga. Sementara Bait masih mendampingi dengan merengkuh kedua bahunya. Takut sewaktu-waktu Wening akan roboh.
Padahal Bait tahu, Wening adalah wanita yang paling kuat. Versinya. Bahkan hingga keduanya sampai di kamar Bait, air mata Wening tidak luruh. Wajahnya tenang. Tanpa beban.
Namun, sekuat-kuatnya wanita, akan ada masa dia menjadi begitu rapuh hingga sulit untuk disentuh dan diraih. Siapa yang tahu mungkin saat ini adalah waktunya? Atau barangkali, waktunya sudah kadaluarsa. Entah.
"Kenapa?" tanya Diksi tiba-tiba sambil setengah tertidur. Dia terbangun karena suara berisik yang ditimbulkan Bait. Matanya enggan terbuka. Diksi hanya memutar tubuh hingga menghadap ke arah adiknya itu.
"Bapakmu ... mulai keluar jalur lagi," cerita Bait setelah meminta Wening duduk di atas kursi meja belajar.
"Tau darimana?"
"Nih, barusan Ibu yang bilang."
Bait mendapati kening Diksi mengerut. "Ibu dimana sekarang?"
Pertanyaan Diksi barusan membuat Bait berkesimpulan, bahwa lelaki itu belum tahu kalau Wening ikut hadir di dalam kamar mereka.
Dengan enggan Bait menjawab, "Di depanmu."
Sontak tubuh Diksi terduduk di atas kasur. Kedua bola matanya terbuka. Mengerjap tak percaya pada sosok yang kini tengah duduk manis di kursi belajarnya.
Berikutnya, reaksi Diksi kembali seperti biasa. Tenang. Cuek. Sama seperti Bait yang kini duduk di lantai. Di samping ranjang tempat tidur yang hanya cukup dipakai dua orang saja.
Barangkali memang bawaan dari gen ibunya, hingga kedua lelaki itu bersikap seolah masalah Wening adalah hal lumrah. Hal sepele. Tak perlu diambil pusing.
"Jadi gimana Bu ceritanya? Bapak selingkuh sama siapa lagi?" tanya Diksi.
Lagi-lagi Bait mendengar kata 'lagi' diucapkan. Tadi Wening, kini Diksi. Ya, kasus Laskar berselingkuh bukanlah perkara pertama bagi lelaki itu. Bahkan Bait sampai lupa sudah berapa kali Laskar 'belok' dan menodai bahtera rumah tangganya sendiri.
"Tadi Ibu gak sengaja lihat pesan di hape Bapakmu. Ibu penasaran aja, jam segini kok ada yang kirim pesan."
Mendengar kata jam, netra Bait segera melirik bulatan hitam bergambar doraemon yang terpajang di dinding. Masih pukul tiga pagi. Pantas jiwa detektif Wening bangkit dari hibernasinya.
"Ternyata yang kirim pesan adalah Melati. Pakai panggilan 'Ayah-Bunda'," lanjut Wening dengan senyum getir dari bibirnya.
"Melati? Melati yang mana sih?" Diksi menengok ke arah Bait.
"Itu, salah satu pasien Bapak. Yang tinggal di Surabaya itu." Bait menjelaskan. Kemudian matanya menatap Wening. "Bener, 'kan, Bu?"
Wening hanya mengangguk.
Diksi memicingkan matanya. Menatap lamat-lamat kedua bola mata ibunya. "Sejak kapan?"
Pertanyaan Diksi yang hanya dua kata itu, justru terdengar sangat panjang karena efek slow motion dalam imajinasi Bait. Kamarnya mendadak berubah seperti ruangan sidang. Diksi berperan sebagai jaksa. Sementara Wening sebagai saksi. Terlalu tegang.
"Kayaknya udah lama." Suara teduh Wening menarik Bait agar kembali ke dalam realita. "Baca aja."
Wening menyerahkan ponsel jadul Laskar yang diam-diam diambilnya. Bait yang memiliki jarak paling dekat, segera meraih benda persegi panjang itu.
Bait menggeser duduknya agar berdekatan dengan Diksi. Kemudian mengajak lelaki itu untuk membaca pesan-pesan lebay bin alay di ponsel Laskar. Seperti pesan yang ditulis ABG yang baru saja kasmaran. Penuh gombalan. Laskar memang jago gombal.
Bait dan Diksi saling menatap. Keduanya bergidik ngeri sendiri. Mendadak ingin muntah. Keduanya lantas seperti bertelepati. Mengatakan apa yang ingin mereka katakan lewat pikiran masing-masing. Sebuah pertanyaan yang sama sejak dulu ketika mereka menangkap basah kegilaan Laskar yang kumat.
"Kok bisa kita mewarisi gen lelaki busuk seperti Laskar? Kenapa dari ratusan juta lelaki di bumi, Laskar lah yang harus menyandang status sebagai ayah kami? Kalau bisa, kami ingin tukar-tambah saja Tuhan."
Begitulah kalimat yang ada di benak Bait maupun Diksi. Keduanya pun menghela napas berat. Larut dalam pikiran masing-masing.
¤¤¤
Dipublikasikan tanggal :
07 Juli 2021
1038 kata
Salam, Hujan Pemimpi ☁💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
Ficción GeneralDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...