Hujan belum mau menghilangkan jejak eksistensinya. Hawa dingin yang ditiupkan angin semilir, sekali lagi menggelitik setiap inchi kulit tubuh Wening dan kedua anaknya. Wening melebarkan tangan, kemudian merengkuh tubuh-tubuh mungil yang bahkan tingginya belum mencapai setengah badan Wening sendiri.
"Bu, keretanya mana? Masih lama gak datangnya?"
Wening menundukkan kepala. Menatap pada si bungsu yang barusan bertanya. Dapat Wening lihat bagaimana bibir Bait mulai gemetar. Sambil tersenyum getir, pelukan Wening semakin erat memeluk tubuh Bait dan Diksi.
"Sebentar lagi datang. Kamu yang sabar, yah?" ucap Wening lembut.
Bait mengangguk. Sementara Diksi, sedang mengamati orang-orang yang berada di Stasiun Bandung sore itu bersama mereka. Tak sedikit yang membawa barang bawaan. Entah menggunakan koper, tas besar, ataupun kardus-kardus bekas mi instan.
Tiba-tiba dari kejauhan suara peluit kereta terdengar. Semakin lama semakin keras. Wening dan kedua anaknya menengok ke satu arah secara bersamaan. Bertepatan dengan itu, sebuah kereta baru saja melintas di depan mereka. Kecepatannya memelan. Kemudian berhenti setelah beberapa gerbong melewati Wening beserta kedua anaknya.
Hujan masih belum reda. Beberapa bagian lantai di dalam stasiun terlihat basah karena tetesan air dari bagian atas yang terbuka. Beberapa orang tampak hati-hati sebab tak ingin tergelincir. Meski beberapa lainnya terlihat begitu tergesa untuk menurunkan barang bawaan mereka dari gerbong.
"Mba Wening!" panggil seseorang dengan senyum lebar.
Wening dan kedua anaknya seraya menoleh ke arah sisi kanan mereka. Seorang gadis manis, berambut sebahu, dengan penampilan sederhana itu melambaikan tangan.
"Itu Bu, yang namanya Mbak Nila?" tanya Bait polos.
Wening mengangguk sambil tersenyum. "Iya, itu Nila, keponakan Ibu," jawab Wening sambil mengajak kedua anaknya untuk mendekat ke arah Nila berdiri.
Sore itu, terlihat biasa saja. Aroma hujan tidak membiaskan firasat apapun pada benak Wening. Langit mendung tak menjadikan pikiran Wening kelabu. Angin dingin tak sempat menyampaikan berita buruk, bahwa, akan ada badai yang menghampiri rumah tangga Wening. Badai besar yang datang dari gadis manis bernama Nila.
¤ ¤ ¤
"Bait sudah sekolah?" tanya Nila disela-sela aktivitasnya mengambil nasi dan lauk-pauknya yang dijajarkan di atas sebuah tikar tipis.
"Baru seminggu lalu masuk taman kanak-kanak, Mbak," jawab Bait heboh.
"Diksi dong, Mbak. Tanya Diksi udah kelas berapa?!" Diksi tak kalah antusias. Diam-diam Wening dan Laskar saling bertukar pandang. Lalu keduanya berbagi senyum secara bersamaan.
Wening lega, kehadiran Nila disambut baik oleh keluarga kecilnya yang tercinta. Wening sempat was-was tak mendapat lampu hijau dari Laskar. Sebab, kondisi perekonomian mereka memang serba sulit. Gali lubang, tutup lubang. Untuk makan berempat saja kurang, apalagi ditambah dengan titipan anak dari kakak Wening yang pertama. Memang kehadiran Nila untuk mengadu nasib di Bandung. Persis seperti Wening dulu ketika baru lulus dari SMA.
"Memangnya, sekarang Diksi kelas berapa?" tanya Nila lembut disertai senyuman yang menular pada seluruh penghuni rumah kontrakan yang hanya terdiri dari dua buah ruangan.
"Diksi kelas tiga SD. Diksi masuk sekolah dasar waktu umur lima tahun lebih. Diksi selalu juara di sekolah loh, Mbak," cerita Diksi penuh dengan kebanggaan.
Nila semakin melebarkan senyumnya, "Sepupu, Mbak, hebat yah. Calon professor nih."
Wening melihat anak sulungnya menggeleng cepat. "Diksi mau jadi pilot. Biar bisa bawa terbang Ibu, Bapak sama Bait keliling dunia."
"Amin." Nila menengok ke arah Bait yang sedang serius menyantap makanan di hadapannya. "Kalau Bait, mau jadi apa kalau sudah besar nanti?"
Bait terdiam. Anak kecil yang baru saja masuk taman kanak-kanak itu tampak merenung cukup lama. "Bait gak mau jadi apa-apa. Bait mau jadi Bait aja, Mbak."
Semua orang yang ada di dalam ruangan serempak tertawa mendengar jawaban super polos si bungsu. Begitulah malam itu menjadi malam yang panjang. Kamar kontrakan Wening yang hanya ada dua petak mendadak ramai. Tawa, celotehan anak-anak, segala cerita tentang kampung halaman menghiasi malam itu. Hingga akhirnya semua terlelap dan merangkul mimpi masing-masing.
Hari itu masih baik-baik saja. Hari itu Wening merasa bersyukur dengan bertambah anggota keluarganya yang semakin ramai. Sampai hari-hari hingga suatu hal yang membuat kerutan di dahi kening tak pernah menghilang. Suatu malam, Wening mendapati tangan Laskar memanjang di atas perut Nila.
Wening masih belum menaruh curiga. Dia berusaha menyingkirkan pikiran buruk yang bergelayutan di otaknya. "Ah, mungkin aku salah lihat."
Satu bulan ... dua bulan ... beberapa bulan berlalu, Wening dikagetkan dengan suara Nila di kamar mandi. Gadis yang belum genap dua puluh tahun itu terus-menerus muntah. Entah apa penyebabnya.
"Mau diperiksa ke dokter?" tanya Wening prihatin. Tangannya masih mengelus-elus punggung Nila. Berharap rasa mual Nila segera mereda.
"Gak perlu, Lek," jawab Nila dengan napas tersengal-sengal. "Nila, cuma masuk angin aja. Dibalur kayu putih pun sepertinya Nila akan baikan."
"Kalau begitu tunggu di sini yah. Lek Wening ambilkan minyaknya dulu."
Setelah berkata begitu, Wening bergegas menuju kamarnya. Kamar yang merangkap sebagai ruang tamu. Mencari-cari sebuah botol berisi minyak kayu putih di dalam lemari.
"Sini, Bulek bantu balurkan," ujar Wening begitu telah kembali ke dalam kamar mandi dengan membawa sebuah botol berwarna hijau.
"Makasih, yah, Lek. Maaf Nila jadi merepotkan."
"Gak apa-apa," jawab Wening. Entah kenapa, untuk mengucapkan tiga kata tersebut rasanya sulit hari itu. Tenggorokkan Wening rasanya tercekat. Ada perasaan berdesir yang menyelusup ke dalam rongga dadanya. Sesak, itulah yang Wening rasakan.
Wening sebenarnya merasa curiga dengan kondisi Nila hari itu. Mungkin dia tak berhak berprasangka buruk terhadap orang lain. Tapi nurani Wening memberontak. Hatinya berkata hal yang bertolak belakang. Jauh di lubuk sana, ada kecemasan dan ketakutan yang mulai bergentayangan pada benaknya.
"Yakin gak mau berobat saja?" tanya Wening sekali lagi untuk memastikan. Melihat kondisi Nila yang tak berangsur membaik, membuat dirinya khawatir.
Nila, sekali lagi bersikukuh menolak. Dengan tegas kepalanya menggeleng ke kanan dan kiri. "Nila ingin istirahat saja, Lek. Boleh Nila tidur?" tanya gadis itu ragu-ragu.
Matanya bolak-balik menatap Wening dan kasur kapuk yang digulung dan diletakkan di sudut kamar. Takut-takut tidak diberi izin pada si empunya kasur yang tampak menggoda untuk membaringkan tubuh. Nila benar-benar sudah terlalu lemas. Kakinya tak sanggup lagi untuk menopang berat badannya sendiri. Bahkan, sebelum Nila menjatuhkan diri di atas kasur milik Wening, gadis itu telah tergeletak tak berdaya di atas lantai dengan mata terpejam.
Nila ... jatuh pingsan.
¤ ¤ ¤
Dipublikasikan tanggal :
18 Juli 2021
1003 kata
Salam, Hujan Pemimpi ☁💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
General FictionDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...