Astaga!
Bait mengomel di dalam hatinya. Bukan sayup-sayup lagi ketika ramai berebut masuk ke telinga, tapi sangat jelas. Ini masih terlalu dini hari untuk rumahnya dipenuhi berbagai jenis suara, dan Bait merasa terusik akan hal itu.
Biasanya, ketika mood buruk mulai melandanya, suara berisik yang ditimbulkan Wening sejak pukul tiga pagi terasa sangat mengganggu. Kadang Bait menutup telinga dengan bantal agar bisa terlelap lagi. Bait juga manusia. Hal-hal negatif tak luput darinya. Salah satunya, pengecut.
Seperti sekarang. Hari ini, ingin sekali mulutnya berteriak. Paling tidak, kata teguran yang melompat-lompat di pikiran tersampaikan pada orang-orang yang sedang menginap di dalam rumahnya itu. Namun, Bait terlalu pengecut. Dia hanya diam. Netranya yang belum terpejam sejak kepulangannya pada tengah malam tadi, hanya menjadi saksi bisu berbagai kesibukan di hadapannya.
Di teras, para lelaki terbagi menjadi dua kelompok. Tim catur dan tim gapleh. Ribut tawa mereka pasti sampai ke telinga tetangga. Tapi pintu rumah-rumah itu tetap terkunci. Tampak memaklumi. Padahal Bait yakin, mereka sama tak pulasnya dengan dirinya.
Lain lagi di dalam rumah. Para wanita berbeda usia itu membagi diri menjadi beberapa kelompok. Bahkan mereka jauh lebih sibuk di tiap sudut rumah seperti; dapur, kamar mandi, kamar tidur, hingga ruang tamu. Nyaris tak ada jeda di lantai untuk sekedar memberi jalan bagi Bait yang terseok menuju ruang tamu.
Di sana, dia menemukan sosok Wening sedang duduk bergerombol. Entah apa yang tengah menjadi topik hangat sehingga wajah mereka kelewat serius. Dari sudut pandang Bait, Wening tampak sedang diinterogasi oleh kakak-kakaknya yang berjumlah lima orang itu.
Salah satu dari mereka mengendus hawa keberadaan Bait. Mau tak mau, dengan amat sangat terpaksa, Bait mendudukkan diri dan bergabung dengan keluarga yang tengah reuni tanpa sengaja.
Basa-basi pertanyaan seperti, "Bagaimana kabarnya? Bagaimana rasanya kerja di Jakarta? Tinggal dimana? Apa nama perusahaannya? Gajinya berapa?" menjadi sambutan bagi Bait, sebelum keenam orang itu melanjutkan kembali perbincangan serius mereka. Seperti tak merasa keberatan dengan sosok muda satu-satunya yang duduk canggung. Seolah tak masalah dengan muka bantal Bait yang masih kentara terlihat.
"Ya, sudah saya tanyakan berkali-kali, Mbak. Tapi ... ya begitu. Jawabannya masih sama. Katanya tidak," tutur Wening.
Wardaning dan Kemuning tampak menghela napas. Buntala, Pala dan Manggala diam saja mendengarkan. Begitu pun dengan Bait yang masih mencerna topik apa yang sedang dibahas.
"Semoga saja apa yang kamu lihat salah waktu itu ya, Ning." Pala, kakak pertama Wening ikut bersuara.
Bait melihat Wening mengangguk. Jelas dirinya semakin bingung. Memangnya apa yang dilihat Wening hingga perempuan itu terjebak dalam diskusi yang super serius? Paginya, tepat ketika seorang lelaki berjas hitam sedang duduk di depan sebuah meja, Bait mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu.
Suara musik, tenda yang berdiri kokoh, dan indahnya bunga-bunga segar yang mendominan di halaman rumah seorang perempuan, rupanya tak membuat sejuta pasang mata mengalihkan fokus pada seseorang yang sedang duduk manis di sebelah Diksi. Seorang perempuan cantik dengan riasan adat Sunda dan baju kebaya putih, membuat penampilan perempuan yang biasa berpakaian terbuka itu, kini lebih anggun dan menawan.
Ya, hari ini adalah hari pernikahan Diksi dengan kekasihnya Rinai. Siapa lagi? Berita ini memang sangat mengejutkan dan terlalu tiba-tiba. Apalagi Bait yang dua minggu lalu mendapat telepon dari Wening perihal ini. Dia hampir tidak tidur selama tiga hari karena memikirkan berbagai hal yang membuat Diksi selangkah lebih maju untuk hubungannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
General FictionDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...