Nila masih sesenggukan. Wening menontoninya dalam diam. Hari ini, Wening dan Laskar telah mengantarkan Nila kembali ke kota Yogyakarta. Tepat ke rumah ibunya yang tidak lain adalah kakak pertama dari Wening, Kemuning.
"Coba bilang sama Ibu, kamu hamil anak siapa?" tanya Kemuning dengan hati yang tersayat. Dia tidak pernah menyangka anak gadisnya akan menorehkan luka sedalam itu. Harapan agar menjadi orang berhasil dengan membawa banyak uang, rupanya malah berita buruk yang dibawa Nila dari kota orang.
Wening lagi-lagi mendapati Nila bungkam. Sejak terakhir kali Wening menolong Nila yang pingsan dan membawanya ke dokter, hari itu rumahnya mendapatkan badai petir. Nila dinyatakan positif hamil, dan Wening ... masih belum tahu siapa ayah dari anak yang dikandung keponakannya itu.
Nila tidak pernah mau menjawab. Gadis itu hanya menangis dengan rintihan yang memilukan hati. Berkat kegigihan Nila agar dipulangkan, Wening dengan sangat terpaksa mengantar gadis itu tanpa mendapat jawaban.
"Nila, coba bilang sama Bulek, biar nanti Bulek dan Palek membawa lelaki yang telah berbuat keji itu padamu ke sini untuk bertanggung jawab," tukas Wening. Dia masih mencoba merayu agar Nila mau mengadu.
Laskar berdeham. "Iya, Nila. Coba beri tahu kami semua siapa lelaki jahanam itu?"
Wening melirik suaminya. Sejak Wening memberitahukan berita kehamilan Nila ketika masih di Bandung, Laskar tak sepatah kata pun berujar. Bahkan hingga lelaki itu turut mengantarkan keponakan Wening, Laskar masih bungkam. Sementara tadi, lelaki itu angkat bicara dengan nada penuh kebijakan. Wening hampir lupa dengan eksistensi kehadiran Laskar, jika tak mendengar suaranya yang menggelegar.
Nila meremas kain roknya. Ada rasa panas yang membuncah di rongga dada. Kepalanya terasa mendidih. Dia ingin sekali memuntahkan seluruh isi kepalanya, agar beban yang terasa ditumpahkan semua ke atas pundaknya dapat terbagi. Pada siapapun. Pada orang-orang yang dapat dia percaya. Pada orang-orang yang akan mempercayai seluruh perkataannya.
"Aku hamil," aku Nila disela isak tangisnya.
"Lalu?" tanya lelaki di hadapan Nila dengan serius. Tampak ketegangan memenuhi seluruh wajahnya yang pucat pasi.
"Kamu harus tanggung jawab."
"Gila!" seru lelaki itu sambil melotot memandang Nila. "Kamu mau menghancurkan pernikahan saya?"
"Lantas saya bagaimana? Masa depan saya pun hancur olehmu."
Lelaki di depan Nila menarik sudut-sudut bibirnya. Tawanya yang singkat itu terdengar nyaring di telinga Nila. Tawa yang penuh dengan ejekan dan teror yang seolah akan menghantui Nila seumur hidup.
"Kita melakukannya atas dasar sama-sama suka. Jangan kamu limpahkan pada saya."
"Lalu maumu apa? Lek Wening sudah tahu kalau saya hamil." Nila makin sesenggukan.
Lelaki itu merogoh saku celananya. Menarik sebuah kotak berisi beberapa puntung rokok. Mengambil satu lalu menjepitnya di antara kedua bibir. Kepulan asap setelah rokok itu dibakar menjadi pusat perhatiannya. Dengan tenang lelaki itu berucap, "Gugurkan saja."
Jantung Nila bagaikan ditusuk pedang yang tak kasatmata. Kejam, adalah kata-kata yang disematkan pada dahi lelaki di hadapannya kini. Bagaimana bisa Nila merenggut nyawa dari seseorang yang tak berdosa? Tapi bagaimana Nila bisa hidup dengan bayang-bayang dari kehidupan yang tak diinginkannya? Nila gamang. Benci adalah hal pertama yang ditancapkan di hati Nila.
"Kalau itu maumu, maka biarkan aku memberitahu siapa ayah dari anak ini sebelum dia digugurkan," rintih Nila.
"Kamu tidak boleh. Kamu tidak mampu. Kamu tidak berhak memberitahu mereka. Kecuali, kamu ingin dicap sebagai penghancur rumah tangga orang."
Maka hingga detik ini, Nila hanya bisa bungkam. Tak berani angkat bicara. Dia tak bisa melukai banyak jiwa lebih dari ini. Nila tidak bisa membiarkan Kemuning kecewa lebih dalam. Dan teruntuk Wening, Nila tak bisa membiarkan perempuan itu lebih terluka. Ya, Laskar adalah penanggung jawab atas janin di dalam rahim Nila. Dan kurang ajarnya, lelaki kejam itu masih berakting layaknya tak terjadi apa-apa.
"Nila," panggil Kemuning lembut.
"Pa-pacar Nila, Bu," jawab Nila dengan terbata. Kepalanya tak berani untuk mendongak. Netranya tak sanggup menatap ke arah Wening maupun ibunya.
"Kamu punya pacar, Nila?" tanya Kemuning. Dia melirik ke arah Wening yang tampak mengerutkan dahi. Perempuan itu sama bingungnya. "Coba cerita siapa pacarmu, Nak."
Wening gusar. Matanya membulat sempurna. Baru kali ini dia mendengar Nila ternyata sudah memiliki pacar. Selama tinggal bersama Wening, Nila justru tampak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketika hari libur. Bermain bersama Bait dan Diksi. Lantas kapan Nila bertemu si pria itu?
Kecuali, firasat Wening terbukti adanya.
"Pak, Nila hamil sama Bapak, 'kan?" tanya Wening di perjalanan pulang. Langkahnya terhenti di tengah air sungai yang sedang di seberanginya.
Laskar yang kembali bungkam itu seraya menoleh. Tatapannya menyalak galak. "Kamu menuduh saya lagi? Sudah berapa kali saya katakan, bu-kan-sa-ya. Toh Nila sudah mengaku kalau yang menghamili dia adalah pacarnya."
"Tapi hati kecil Ibu berkata lain, Pak. Ada rasa mengganjal dan belum tuntas meski Nila sudah mengaku," tutur Wening dengan suara pelan. Kepalanya tertunduk memandang aliran air yang melewati tungkai secara perlahan. Sore itu, air sungai tampak tenang. Alirannya tak sederas ketika hujan turun. Sungai itu masih tetap sama seperti tahun-tahun silam ketika Wening muda.
"Kamu memang tidak pernah percaya sama saya. Kamu memang menuduh saya," tukas Laskar sambil berjalan kembali.
Dalam diam, Wening memandang punggung yang masih menyebrang sungai itu. Lama Wening mematung, hingga Laskar berbalik badan. Turut melempar tatap ke arah istrinya.
"Sudah. Mau sampai kapan kamu pikirkan? Ayo pulang. Nanti kita ketinggalan kereta. Stasiun masih jauh," seru Laskar.
Bibir Wening masih terkatup. Pandangannya sayu menatap suaminya. "Kalau begitu, Bapak bersumpah pada Ibu. Bapak katakan kalau Bapak bukan ayah dari anaknya Nila."
Setelah berkata begitu, Wening tiba-tiba berjongkok di sungai. Rok panjangnya mulai basah.
"Kamu sedang apa, Bu?" Riak wajah Laskar tampak khawatir.
"Ibu akan tetap tinggal di sungai ini hingga airnya kembali pasang dan arusnya menjadi deras ...." Kepala Wening mendongak ke atas. Memandang langit yang memang mendung sejak tadi siang. "... jika memang Bapak bukan ayah dari bayi itu. Wening ikhlas diseret arus dan tenggelam detik itu juga."
"Kamu ngomong apa, sih? Ayo berdiri!" perintah Laskar sambil berjalan tergesa menghampiri istrinya. Tekanan air agak sedikit membuat langkahnya lambat. "Ayo kita pulang, Bu. Ibu jangan bersikap seperti ini."
Namun, perkataan Laskar dijawab gelengan kuat. Wening enggan bergerak satu inchi pun. "Bersumpahlah, Pak," pinta Wening dengan nada datar.
Tepat ketika itu hujan turun. Pakaian Wening dan Laskar mulai basah seluruhnya. Laskar kian gusar. Mulutnya tak sanggup terbuka. Hari itu hujan menjadi saksi kepedihan hati Wening. Menjadi saksi bagaimana Laskar dengan payahnya menganggukkan kepala.
"Maaf, Bu. Maafkan saya. Saya berjanji tidak akan pernah menyakiti hati Ibu lagi." Itulah kalimat panjang yang diucapkan Laskar. Pengkhianatan pertama atas pernikahannya dengan Wening.
Dan tentu saja ucapan Laskar hanya menjadi angin lalu. Nyatanya, lelaki itu tetap menodai pernikahannya sendiri.
Wening selalu dikhianati hingga detik ini.
¤ ¤ ¤
Dipublikasikan tanggal :
23 Juli 2021
1075 kata
Salam, Hujan Pemimpi ☁💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
Ficção GeralDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...