"Kenapa Bu?" tanya Bait ketika mendapati Wening pulang ke rumah dengan mata sembap.
Perempuan itu tersenyum sekilas. Lalu mengambil duduk di sebelah Bait. "Cuma ikut sedih saja," tutur Wening dengan lesu.
Pandangan Wening tampak menerawang. Kepalanya mendongak menatap langit-langit ruang tamu. Bait bergeming memandangi sosok ibunya yang terlihat banyak pikiran itu. Keriput di wajah tirus itu terasa kian bertambah setiap harinya.
"Ibu masih gak nyangka, It," ujar Wening dengan air mata yang mulai merembes di pipinya. "Ibu bisa merasakan bagaimana perasaan mamahnya Windari saat ini. Dia pasti sangat kecewa."
"Ibu habis dari rumahnya Windari?"
Wening mengangguk. "Ibu habis tengok kondisi mamahnya. Kasihan di rumah sendiri. Apalagi dengan keadaan tertekan seperti itu. Tadi saja, Ibu lihat tubuh Mamah Windari semakin kurus. Berat badannya turun drastis. Ibu sedih lihatnya."
Bait terdiam. Liburannya di bulan ini justru memberi kabar yang kurang baik. Gosip Susan terbukti benar. Windari--teman semasa kecil Bait yang lebih muda satu tahun darinya itu--memang hamil di luar nikah. Fakta itu terungkap setelah satu bulan pernikahannya.
Menurut cerita dari Wening, anak tunggal dari pasangan Setyo itu tidak merasa bersalah sama sekali. Katanya, ini akibat istri Setyo melarang hubungan anaknya dengan Burhan. Akhirnya, Windari dan Burhan melakukan jalan pintas agar bisa bersama.
Bait tersenyum kecut. Jalan pintas apanya? Mereka saja yang kelewat batas dalam berpacaran. Akhirnya kebablasan, tapi, malah menyalahkan orang tua yang sudah dari awal tak menyukai hubungan itu. Heran.
Tentu protes Bait hanya berlari-lari di kepalanya. Di hadapan Wening, Bait tetap diam sambil memandangi wajah yang masih basah oleh air mata itu.
"Ibu masih gak nyangka sama Windari. Kenapa dia tega begitu? Padahal dia anak baik. Orang tuanya sangat berharap kepada perempuan itu. Kamu tahu sendiri, kan, usia orang tua Windari sudah tidak muda lagi." Wening berujar disela tangisnya.
Bait mengangguk. Dia sangat paham bagaimana orang tua Windari. Mereka begitu baik terhadap keluarganya. Bait bahkan menganggap mereka sebagai orang tua kedua.
Wajar sekali jika Bait tengah mendapati Wening yang menangis pilu. Istri Setyo bagaikan kakak bagi perempuan itu. Katanya, setiap Wening tiba di rumah Windari, rumah itu langsung menunjukkan keheningan yang menyakitkan. Wening selalu mendapati istri Setyo duduk di sofa sambil meratap. Pandangannya kosong menatap tembok. Kadang, Setyo sendiri ikut duduk di sebelah istrinya dengan derai air mata yang tak pernah hilang.
Bait membuang napas kasar. Pikirannya tiba-tiba berkelana. Teringat pada hari pertama keberangkatannya menuju Jakarta. Windari yang Bait sudah anggap sebagai adiknya sendiri, dan digadang-gadangkan pernah dijodohkan dengannya sewaktu kecil, ternyata bisa berbuat nekat. Lantas bagaimana dengan Diksi yang terkontaminasi dengan pergaulan bebas dari Beaterz?
Mungkinkah Diksi melakukan hal yang sama?
Sial! Pikiranku mulai ngaco, sungut Bait di dalam hati.
Satu hal yang dia pegang teguh dari ucapan kakaknya itu, 'Aku sayang Ibu. Aku gak akan bikin Ibu sedih'.
¤ ¤ ¤
"Jangan sampai telat makan yah."
Bait terkikik geli. Dia merasa seperti anak yang baru saja masuk taman kanak-kanak. Setiap menelepon, Wening selalu mengingatkannya tentang hal-hal kecil seperti; jangan lupa makan, jangan bangun kesiangan, jangan lupa mandi, jangan begadang, dan jangan-jangan yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
General FictionDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...