Sebentar lagi.
Biarkan Bait Mahameru tenggelam dalam lautan mimpinya sebentar lagi. Paling tidak, izinkan dia untuk membuang kantuk barang satu jam saja. Tubuhnya masih pegal-pegal. Rasa linu menggerogotinya untuk tetap bermanja dengan bantal kapuk yang sudah lapuk.
Dia ingin terlelap lagi.
Sayangnya, suara blender, ketukan pisau dan gesekan katel dengan spatula pada pukul empat pagi membuat tidurnya terusik. Belum lagi bau-bau sedap yang membuat perutnya meronta untuk diperhatikan.
Wajar, sejak kemarin sore Bait belum menjejali satu pun makanan ke dalam kerongkongannya. Dia terlalu lelah. Sepulang dari pekerjaan serabutannya di Pasar Caringin dia langsung tertidur pulas. Sekarang dia menjadi lapar. Namun, rasa kantuk mengalahkannya.
Bait masih memejamkan mata.
Bait pikir dengan menarik dirinya ke dalam gulita, sunyi akan merengkuhnya segera. Nyatanya ramai itu tak pernah sepi. Nyatanya ramai itu menjelma menjadi bentakan dan cacian samar di antara bunyi mencicik air mendidih.
"Kamu bikin gara-gara lagi, yah?" tanya seorang lelaki yang berbaring di sebelah Bait dengan mata terpejam.
Bait membuka sebelah kelopak matanya dan menengok ke sisi kanan. Dalam remang lampu bohlam lima watt yang nyaris mati, Bait mendapati sosok Diksi sedang memeluk manja guling peot sambil tetap terlelap.
Bait mendengkus. "Kali ini gara-gara apa sih?"
Diksi mengangkat bahu. Tubuhnya berguling mengubah posisi hingga membelakangi Bait. "Dengerin aja," jawab Diksi--kakak laki-laki yang terpaut usia 2,5 tahun dengannya itu--melanjutkan tidur.
Bait menajamkan indra pendengarannya. Suara-suara keras seraya berebut masuk dan menggaung di telinganya. Suara berat yang nyaring dan diiringi bunyi-bunyi benda dibanting ke lantai. Bait tersenyum miris. Dia tahu siapa pelakunya. Laskar.
"Ini semua karena kamu gak becus ngurus anak. Mereka pemalas. Sama kayak kamu. Taruh gelas aja sembarangan. Mentang-mentang saya yang bersih-bersih, lantas saya dianggap pembantu di rumah ini? Setan!"
Setelah Laskar selesai mengumpat, Bait ber'oh' ria di balik selimut usang yang sudah sobek sana-sini. Jadi, hanya karena sebuah gelas yang ditaruh sembarangan, Wening--ibunya--dimarahi habis-habisan oleh Laskar.
Penasaran, Bait bangkit dari tidurnya. Pandangannya sekilas melirik ke arah Diksi yang tak acuh. Kemudian turun dari ranjang dan perlahan membuka pintu kamar bercat jingga dengan ukuran 2,5 x 3,5 meter itu. Saking pelannya, hingga tak menimbulkan suara sama sekali.
Bait mengendap-endap menuruni setiap undakan anak tangga. Dia tak ingin hawa keberadaannya terendus oleh Laskar maupun Wening. Namun, usaha Bait gagal. Wening sudah lebih dahulu menangkap bayangan Bait yang masih membeku di tangga.
Perempuan paruh baya itu menatap Bait dalam diam. Begitu pun dengan lelaki yang baru saja menginjak usia 19 tahun yang sedang terpaku. Keduanya saling menukar pandang dalam naungan amarah Laskar yang menggebu-gebu. Rupanya api dalam diri Laskar belum mau padam. Justru kian berkobar seiring dengan bungkamnya Wening.
"Kamu yang taruh gelas kaca di kolong meja TV?" tanya Wening dengan pelan.
Kerutan di dahi Bait terbit. Tatapannya berlabuh pada tempat yang tadi ditunjuk Wening. Dalam hitungan detik, kepala Bait menggeleng lemah untuk menjawab pertanyaan dari ibunya itu.
"Emang kenapa, Bu?" tanya Bait nyaris seperti bisikan.
"Gelasnya pecah. Ketendang Bapakmu. Kopinya tumpah di lantai. Jadi Bapak harus mengepel ulang lantai ruang tamu."
Bait tak berkomentar. Tanpa harus menunjuk siapa pelakunya, Bait sudah mengerti. Di dalam rumah itu, hanya ada dua lelaki yang meminum kopi dan merokok. Kakaknya dan Ayahnya. Jadi, tanpa perlu menjadikan Wening sebagai sasaran amarah, bukankah lebih pas jika Diksi saja yang langsung kena omel? Toh lelaki itu justru sedang adem ayem di dalam dunia mimpi saat ini.
"Emang orang-orang di rumah ini tuh gak ada yang rajin. Pemalas semua! Cuma saya yang rajin. Coba kalau bukan saya yang bersih-bersih, memangnya ada yang bakal bersihin rumah ini?" ujar Laskar dari balik dinding ruang tamu. "Muak saya! MUAK!"
Bait menghela napas ketika mendengar bunyi benda yang dibanting. Entah barang apalagi yang kini kena imbas amukan Laskar. Sementara Wening tetap melanjutkan aktivitasnya di dapur.
Ngomong-ngomong, tangga menuju kamar Bait memang terhubung langsung dengan dapur. Makanya Bait hanya duduk diam di dua anak tangga dari lantai bawah. Tak berani turun karena takut mengganggu pergerakan Wening di dapur rumah mereka yang kelewat sempit. Untuk sendiri saja pergerakannya sangat terbatas, apalagi jika Bait turun. Bait malah menjadi penghambat nantinya.
"Udahlah! Mending saya hidup sendiri. Punya istri gak becus ngajarin anak. Udah, kita pisah aja!" Laskar mengakhiri perkataannya dengan membanting pintu kamar lelaki itu sendiri yang memang berada di lantai bawah.
Bait tersenyum kecut. Tidak terperangah sama sekali. Lucu bukan? Dari gelas, mendadak ngajak pisah, batinnya.
Perihal seperti ini sudah biasa dilihat dan didengar bahkan sejak Bait masih menjadi anak ingusan. Hatinya sudah kebal. Maka dia hanya memutar kedua bola matanya untuk menanggapi perkataan Laskar. Sementara Wening?
Ah, Wening.
Kalau ada perwujudan nyata seorang malaikat di dunia ini, maka Wening adalah wujud itu. Meski tanpa sayap. Meski tanpa wajah rupawan. Seperti lirik di dalam lagu milik Dee Lestari yang berjudul Malaikat Juga Tahu. Bedanya, Laskar dapat melihat jelmaan malaikat di balik tatapan hangat seorang Wening.
Tidak percaya?
"Kamu gak siap-siap? Bukannya nanti djemput Pak Bakri? Katanya mau bantu-bantu di desa sebelah buat jadi kuli panggul sayur?" tanya Wening lembut.
Lihat? Sikap Wening terlalu tenang menghadapi kemarahan Laskar yang tiada habisnya. Dari balik pintu kamar, rupanya lelaki itu masih mengomel. Bahkan umpatan-umpatan kasar dapat ditangkap baik oleh gendang telinga Bait. Namun, Wening seolah tuli. Dia malah terlihat biasa saja. Tangannya masih tetap sibuk mengirisi bawang merah dengan gerakan cepat.
Kepulan asap dari panci besar yang Bait tahu berisi nasi, justru menjadi pusat perhatian perempuan itu saat ini. Dengan hati-hati Wening mengangkat panci itu lalu mengambil boboko untuk memindahkan nasi ke dalamnya.
"Nanti, Bu. Masih dua jam lagi sampai mobil Pak Bakri datang buat jemput Bait."
Wening menganggukkan kepala tanpa menatap wajah anak bungsunya. "Jangan lupa sarapan, yah."
Setelah berkata begitu, Wening meninggalkan Bait tanpa sepatah kata pun ke ruang makan. Dia membawa boboko yang telah terisi penuh nasi panas. Tepat setelah kepergian Wening, Bait mendengar suara pintu dibuka.
Pasti Bapak, pikir Bait.
Benar saja, dari tempatnya duduk Bait melihat sosok Laskar telah terbungkus jaket tebal. Lelaki itu tampak mondar-mandir di ruang tamu sebelum akhirnya memakai helm berwarna hitam. Kemudian bayangnya menghilang bersamaan dengan suara derungan motor yang mulai menjauhi rumah.
Laskar pergi tanpa pamit pada siapapun.
Kepergian Laskar meninggalkan bau gosong yang mengganggu indra penciuman Bait. Begitu menengok ke arah dapur, ada tiga buah ikan yang telah menghitam dibiarkan teronggok begitu saja di dalam wajan.
Bait termenung sejenak. Saat itu barulah dia sadar, bahwa rumahnya tengah dipenuhi kepulan asap. Entah dari si ikan mas yang sedang bernasib sial. Entah dari para penghuni rumah yang sedang menahan amarahnya masing-masing.
¤ ¤ ¤
Diterbitkan tanggal
01 Juli 2021
(1083 kata)
Salam, Hujan Pemimpi ☁💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Pukul Tiga Pagi
Ficción GeneralDia adalah Wening, perempuan berdarah Jawa asli yang merantau ke tanah Sunda sejak dirinya lulus SMA. Dia adalah Wening, perempuan serapuh kaca yang berhati seluas samudera. Dia adalah Wening, perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, t...