3. Daisy

372 15 0
                                    

Aku pernah membaca sebuah novel tentang kucing penjaga perpustakaan. Kupikir bagus juga ada seekor makhluk mungil yang menemanimu di rumah, entah sedang menajamkan cakarnya pada karpet kamarmu, atau mengeong dan mengibaskan ekornya meminta makan. Oh baik,.. itu anjing. Kucing kurasa tidak melakukannya, hanya terus mengeluskan kepalanya ke kakimu. Sampai ia mendapatkan makanan, atau sampai ia bosan.

..

Di hari aku berlari menerobos hujan itu, dan seperti perkiraanku, demamku langsung membuatku lunglai di atas kasur. Mama yang diberitahu Nadia, salah seorang dokter di klinik kami, langsung pulang dari kota Malang menggunakan pesawat hari itu juga. Dan pada malam hari, demamku menggila. Badan meriang seperti mau mati. Seluruh sendiku ngilu. Mataku terus berair, pendengaran juga tak terlalu baik. Dan aku terlalu lemas untuk mengunyah makanan. Dan ya, aku diinfus di kamarku sendiri. Berlebihan? Tidak. Samping rumahku adalah klinik keluarga, mama langsung menelepon siapapun dokter jaga di situ untuk merawatku, dan Nadia adalah orang yang... direpotkan.
Sigh..

Tadinya aku mau dirawat Dion saja, tapi dia belum pulang juga sampai aku ambruk di ruang tamu tepat ketika jam loncengku berdentang enam kali.

..

Aku membuka mata karena kerongkongan yang kering, melihat jam dinding menunjukkan angka sebelas. Besok hari Sabtu, tidak perlu ke sekolah. Ah.. memikirkan itu membuatku sedikit tenang.

Rasa haus mengingatkanku kembali untuk meraih gelas di samping tempat tidur.

Tapi.. tidak ada. Tidak ada gelas atau sesuatu yang bisa diminum di sampingku. Hanya handphone androidku yang kehabisan baterai. Aku sedikit bersungut.

Sesuatu yang basah mengenai pipiku. Tekstur kasarnya membuatku terjaga penuh.

"Daisy?"

Kucing itu mengeong, kembali menempelkan wajahnya. Tapi tanganku sudah lebih sigap mendorong wajahnya menjauh,

"Daisy.. jangan jilat!"

Ia menggigit jariku sebentar, sebagai bentuk protes. Dan berlari turun, keluar dari kamarku.

"Ah,.. kucing siapa sih, manja banget!"

Aku sedikit mengeluh, sambil tertawa.

Daisy adalah kucing yang hilang. Ia baru datang ke rumahku sekitar satu bulan yang lalu. Sepertinya juga bukan kucing buangan, karena ketika ia mengeong di depan klinik, dia cukup bersih.

Bulu-bulunya cukup panjang untuk ukuran kucing kampung, kurasa ia anak persilangan.

Daisy adalah alasan kenapa Dion sering masuk ke rumahku. Ia yang menemukan Daisy. Dion memohon agar Daisy bisa dirawat di sini, karena tempat kosannya tidak memungkinkan. Lagipula, setiap hari Dion keluar cukup lama, baik kuliah, kerja menjadi guru UKS, ataupun menjaga dokter jaga di klinik kami.

Karena merasa bertanggungjawab, ia yang bertugas merawat Daisy. Memandikannya (setelah drama kejar-daku-kau-kutangkap), mengajarkannya buang air, memeriksakannya ke dokter hewan (hanyak beberapa blok dari rumahku), ataupun sekedar mengajaknya jalan-jalan ke taman dan membelikannya siomay.

Entahlah, aku meragukan selera makan kucing itu setelah Dion mencoba semua jajanan kaki lima dan melihat segala kemungkinan tentang makanan kesukaan Daisy.

"Meongg.." suara Daisy di luar kamar membuatku kembali terjaga penuh. Efek obat membuatku ngantuk seharian. Kembali kurasakan rasa haus yang sangat di kerongkonganku. Aku harus bangun dan mendapatkan air di dapur.

Tok tok tok..
"Glo, kamu bangun?"

Suara Dion..

"Ah.. ya,.. masuk aja..!" Rasa kering di mulutku membuatku sulit membuka suara.

Dion masuk, menggendong Daisy yang nampak protes. Wajahnya.. tampak gusar.

"Kamu.. bukan anak-anak lagi, Glo.."

Telapak tangannya menekan keningku. Aku sedikit menghindar, karena sensasinya sangat tidak nyaman.

Tangan Dion sedingin es.

"Kamu bilang, aku harus merawatmu kalau sakit?! Iya, Glo, aku dokter, tapi badan ini punyamu! Kamu yang lebih tahu kondisimu!"

Oh, tidak, dia marah?

"Sepanjang kuliah aku terus meletakkan handphone di atas mejaku, nggak yakin berharap ada telepon yang masuk dan mengabarkan kamu sakit, atau sama sekali enggak ada, yang artinya, malah bikin aku nggak bisa konsen!"

Okay, dia benar-benar marah.

Aku menjatuhkan padanganku pada Daisy, tidak berani menatap Dion langsung.

Aku haus, Dion, nggak bisa mikir apa-apa..

Dan itu satu-satunya hal yang bisa kupikirkan.

Lima menit setelah itu, Dion masih dengan ceramahnya, Daisy mulai menyerah terhadap perlawanannya, dan aku.. mulai mengantuk kembali. Tidak yakin karena efek obat, atau dehidrasi.

"Dion," panggilku lemah, mencoba tetap terjaga, "boleh minta air? Aku haus..."

Dion berhenti dari ceramahnya, memandangiku sebentar seperti baru memyadari sesuatu, dan pergi keluar. Dengan Daisy di tangannya.

Ah, Daisy, aku cemburu tau sama kamu!

AntibiotikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang