5. Dion dan Tirai Putih

297 13 0
                                    

"Ouch!"

Aku mengerang, refleks menarik tanganku dari genggamannya. Aku bisa melihat cowok itu tersenyum puas melihat reaksiku.

"Apa yang anda lakukan, Pak Dion? Seorang dokter dilarang melakukan itu pada pasiennya!"

Dia tertawa. Tubuhnya ditarik ke depan, cukup untuk membuat aku merasakan dengusan nafasnya. Mouthwash..

"Dengar Glo,.." ia hampir berbisik ketika mengatakannya, "pulanglah ke rumah.."

Aku mengernyit. Apa demamku cukup parah untuk membuatnya mengusirku dari sini?

"Aku akan tulis surat ijin, ok? Dan akan kusampaikan pada wali kelasmu."

"Sebentar kak,.. kenapa aku harus pulang?"

"Kau sakit."

"Aku tahu. Tapi aku bisa istirahat di sini, seharian, kenapa aku harus pulang?" Aku masih berargumen dengannya, dan Dion membantuku bangun dari tempat tidur dengan tidak sabar.

Aku nggak suka idenya untuk mengirimku ke rumah, karena kupikir di sekolah jauh lebih baik. Mungkin istirahat nanti aku sudah bisa makan mie ayam di kantin bersama Hani.

"Karena, Glo,.." dia berhenti sebentar, memandangku dengan matanya yang indah, sebuah senyuman mengembang di bibirnya, "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau hanya ada kita berdua di dalam ruangan dengan tirai-tirai putih ini.."

Aku terbatuk, dan tertawa di saat yang bersamaan. Dia sangat lucu!

Kami, aku dan Dion, sangat sering berada dalam satu ruangan, dan itu kamarku. Apa ada yang lebih berbahaya? Aku belum memikirkannya. Tapi satu hal yang pasti, nggak ada hal apapun, berbau romantis, yang pernah terjadi!

Apa aku mengharapkannya?

Apa kau tidak, Dion?

Dion, di satu sisi menangkap kejanggalan pada cara tertawaku. Ia memberikan tatapan, "apa?"

"Kak, Dion, honey," aku berujar sambil menggigit bibir bawahku, berusaha meyakinkankan diriku untuk mengatakannya, "kau tahu, nggak ada yang pernah, dan akan terjadi di antara kita."

Aku tersenyum melanjutkan,

"Jadi, kenapa lagi aku harus kembali ke rumah? Dan tidak menghabiskan waktu disini, denganmu, di dalam ruangan dengan tirai-tirai putih ini?"

Aku seperti menantangnya, entahlah, demam yang kembali kambuh ini mungkin menghalau akal sehatku.

"Maaf, lupakan saja. Aku akan pulang seperti yang kausarankan, pak dokter.."

Aku berlalu dengan cepat ke luar ruangan, cukup cepat sampai seakan tidak lagi berjalan, tetapi melayang. Dion tidak menahanku, dan tidak mengantarku seperti ucapannya tadi.

Dan begitulah kami, seperti yang kukatakan. Aku dan Dion.

Dion.. cowok itu terlihat bersinar saat menerima surat pernyataan kelulusannya. Sulit untuk tidak melihatnya saat ia terlalu tampan dengan baju wisuda dan toga di kepalanya. Berbaris tepat di belakang Elly, Dion menjadi pusat perhatianku selama upacara berlangsung.

Dan ia juga ada saat Elly melakukan internshipnya. Dia di sana, memberi hormat pada keluargaku, memperkenalkan dirinya sebagai teman kuliah Elly, dan menjalani praktik kuliah yang sama dengan Elly.

Dan ia tiba-tiba ada di sana, di ruangan klinik samping rumahku, saat aku mencari Nadia untuk meminta paracetamol. Dion berdiri membelakangiku, tidak tahu bahwa ada seseorang yang masuk ke ruangannya dan memperhatikan punggungnya yang terbalut jas putih. Begitu ia berbalik, demamku menggila dan membuat lututku gemetar. Scene yang kuingat selanjutnya adalah ia berlari menghampiriku dengan tirai-tirai putih klinik menari sebagai backgroundnya, terhembus angin dari jendela yang belum ia tutup..

Mungkin, saat jatuh itulah, aku menyadari bahwa dia adalah orang yang membuat dadaku berdebar, lebih hebat daripada efek kafein kopi hitam..

AntibiotikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang