"Happy birthday, to mee...!"
Suara Elly menggema di seberang sana. Aku memicingkan mata, dia terlihat.. kusut? Kontras dengan nada suara yang diucapkannya.
"What, Glo? Kamu nggak mau mengucapkan selamat ulang tahun kepada kakak tersayangmu ini? Ah.. sedih.."
"...happy birthday, Elly. Wish you all the best, sist.."
Aku mengucapkan dengan penuh kesungguhan.
"Oh.. doa terpendek yang kuterima," keluhnya sambil menimbang-menimbang handphonenya.
"Tapi jauh lebih baik daripada seseorang yang sama sekali tidak mengucapkannya."
"Siapa?"
"Siapa lagi? Tentu saja Dion!"
Oh, right, as expected. Elly tidak akan pernah absen menyebutkan nama Dion dalam setiap percakapan skype kami.
"Teleponku nggak diangkat, dan dia juga nggak menghiraukan setiap pesanku!" Elly masih bersungut, dan aku maklum. Dia bukan tipe cewek yang senang diacuhkan. Terutama oleh Dion.
"Sampaikan padanya, aku menunggu ucapan selamat darinya! Dan balasan kado.."
Aku mengangguk, setengah mengantuk. Perbedaan waktu antar negara sangat menguras jam tidur. Mungkin itulah kenapa Dion jarang menghubungi kakakku ini.
"Akan kusampaikan, El.."
"By the way, Glo, aku.."
..
Aku sedang berada di teras belakang, mengayunkan diriku di atas ayunan kayu berlapis busa yang nyaman.
Berhanami dengan flamboyan,..Sebuah pohon besar tumbuh dengan megahnya di sudut halaman belakangku. Bukan sesuatu yang disarankan untuk ditanaman di halaman, dikarenakan sampah daun-daun keringnya akan sangat banyak. Tetapi bunga itu.. warnah merah menyala pada setiap musim mekarnya, adalah sebuah fenomena tersendiri. Pohon itu seperti tidak lagi memiliki daun, karena bunga-bunga merahnya sudah cukup mengembang indah.
Tettt!
Sebuah sosok mengendarai motor di jalan seberang, memberikan klakson kepadaku, dan pandangan, "kamu lagi ngapain?"
Aku hanya mengangkat tangan kiriku, membentuk lambaian. "Hai.."
Dia termangu sebentar sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya.
Apa aku harus menemuinya di klinik untuk menyampaikan pesan Elly?
Tapi Dion biasanya akan datang kesini untuk bermain dengan Daisy. Hari ini adalah waktunya kucing itu mandi.
Dion.. Dion.. apa kau dan Elly akan menikah, segera setelah ia mengambil spesialisnya?
Atau apa kau juga akan menyusul Elly mengambil spesialisnya di luar negeri?
Entahlah, aku tidak bisa memutuskan mana yang lebih baik antara Dion yang masih ada di sampingku dengan cincin kawinnya, atau ia pergi dengan Elly. Kedua opsi itu membuatku mual..
"Apa? Kau mau muntah?"
Dion muncul dari arah dapur, dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeansnya. Dia tetap tampan, sangat.
"Kue. Mau?" Dion menawarkan sepotong cheesecake dalam piringan kecil. "Perutmu baik-baik saja? Kupikir kau mau muntah.."
Instingnya sangat terlatih.
"Masih bisa dimasukkin kue.." kalimatku menggantung, "Elly?"
"Apa?"
"Kue ini dari Elly?"
Seingetku cewek itu menyebutkan sesuatu tentang kado.
Dion menggeleng, "temanku. Kenapa tiba-tiba nanyain Elly?" Tanyanya balik.
Aku mengeluh dalam hati, menyesali menyebut namanya.
"Nggak, Elly telpon semalem. Dia titip salam, menanyakan kabarmu.. dan pesan-pesannya, dia nggak suka dicuekin.."
Dion hanya mengangguk pelan, "belum sempat."
Aku tidak terlalu suka membicarakan masalah ini, membawa sebuah topik tentang Elly kepada Dion selalu membuat perutku mual. Seperti ia akan membawa cowok itu ke tempat yang jauh..
Ayunanku bergoyang pelan, tepat ketika Dion memutuskan untuk bergabung duduk bersamaku. Aku lupa menanyakan berapa berat maksimal bebannya, jaga-jaga bila rantainya tidak kuat.
"Kuenya enak?"
Aku mengangkat wajahku, menemukan wajahnya yang terlihat senang. Dan aku mengangguk, membawa suapan terakhir ke dalam mulutku. Dion tampak sangat puas melihatku menghabiskannya.
"Temanmu ulang tahun?"
Dia menggeleng, "bukan, tapi aku yang ulang tahun, honey.."
Aku mengerutkan dahiku, mencoba memastikan apa yang kudengar.
Dion tertawa, "Happy birthday to me..?"
"Oh.. happy birthday to you, Dion,.. wish you all.."
Dion menyentuh ujung bibirku dengan jarinya, membuatku berhenti mengucapkan doa untuknya. Ia menemukan sisa cream di sana, menuntunnya ke bibirnya..
"Sweet." Ujarnya sambil menatapku.
Dan jantungku terasa jatuh entah dimana.
Aku memalingkan wajahku yang memerah, pura-pura menatap pohon flamboyan di seberang sana.
"Uhm.. Elly, bilang kalau dia akan pulang jumat ini. Dan menanyakanmu sesuatu tentang kado.."
Aku mencoba mencuri pandang ke arahnya, dan menemukan matanya yang masih memandangi wajahku.
Dion mencondongkan tubuhnya ke arahku, "hmmm?" Gumamnya hampir tidak peduli.
Kepalaku sudah terdesak ke sisi ayunan, namun Dion masih terus mendekat, dengan matanya yang tak sekalipun melepaskan mataku. Seketika aku tidak bisa bernafas.
"Hei, Glo, kasih aku hadiah.." ia meminta dengan suara lirih, tangannya menyentuh pipiku, turun ke daguku.
"Dion.." aku tercekat, sulit untuk bernafas. Dan berharap ia tidak terus menyiksaku dengan situasi slow motion seperti ini.
Detik berikutnya, aku merasa bibirku disentuh, hangat, dan.. lembut.
Aku sudah tidak bisa berpikir lagi, jantungku melambung terlalu jauh..
KAMU SEDANG MEMBACA
Antibiotik
Romance9. Last Dinner: "Seandainya bisa, aku ingin kembali pada masa-masa kami bersama. Menjalani masa muda dengan penuh kebodohan. Lulus dan wisuda dengan nilai cumlaude, merupakan sebuah prestasi, tapi bertemu dengan gadis itu, adalah kesalahan terbodohk...