8. Stuck on you

204 12 0
                                    

Dion dan Elly resmi berpacaran.

Saat itu aku melihat timeline medsos kakakku, menemukan fakta menarik, dan memutuskan untuk menjadikannya kartu trufku. Dan Elly membelikanku handbag Louis Vitton pertamaku, upah tutup mulut agar tidak memberitahu orang tua kami.

Saat itu aku belum berminat mengenalnya lebih jauh.

Sampai dengan hari wisuda Elly, dan menemukan Dion sebagai seseorang yang berhasil menarik perhatianku.

Dan di sinilah kami.. aku dan Dion, dalam sebuah bilik rumah makan.

Dion menuntut penjelasanku yang terlanjur meledak di UKS tadi. Ia memaksaku mengikutinya ke rumah makan ini untuk membicarakan semuanya. Dan aku sudah terlanjur merasa tidak ada yang perlu dibahas.

Dia akan pergi, dengan Elly.

Selesai.

Pramusaji yang menghidangkan makanan kami sudah berlalu, setelah Dion mengucapkan terima kasih. Aku tahu wajahku sangat masam hingga pramusaji itu merasa nervous saat meletakkan piring-piring dan gelas kami.

Dengan sebuah nafas panjang, Dion memanggil namaku lembut, "Glory,.."

Aku masih belum melihat ke arahnya. Rasa kesal telah membuatku menutup rahangku rapat-rapat, atau kata-kata yang tidak kuinginkan akan keluar lagi. Dan akan membuat situasi ini semakin buruk.

Aku tidak menyadari Dion yang beranjak dari tempat duduknya, dan sekarang berada di sampingku. Kedua tangannya menangkup wajahku, menghadapkan ke arahnya.

"Glory, honey,.." kembali ia memanggilku dengan penuh kesabaran yang ia punya, "hei.. ada apa? Kalau kamu nggak ngomong, aku nggak tau harus ngapain.."

Wajahnya memohon dengan iba.

Dan seketika air mataku tidak tertahankan.

Aku tidak mau ia pergi jauh.
Aku tidak mau ia bersama Elly.
Aku mau ia bersamaku.
Karena aku mencintainya... ,

Dion langsung menenangkanku di dadanya, tangannya menepuk-nepuk pelan, "Sshhh.."

Perlu 15 menit bagiku untuk benar-benar tenang. Setelah membasuh wajah di wastafel rumah makan, aku kembali ke tempat kami, menemukan Dion termangu memandangi kolam di belakang tempat kami.

"Hai.." suaraku terdengar sangat normal sekarang, dan perasaanku sudah jauh lebih tenang.

Dion tersenyum, seperti baru saja bertemu teman lamanya, "Hai, Glo,.. baikan?"

Aku mengangguk.

Kami melanjutkan acara makan yang tertunda. Sedikit chit-chat dan suka tidak suka, topik tentangnya yang akan pergi juga terbawa.

"Kapan kau akan berangkat?"

"Belum tau.. kemungkinan akhir tahun ini. Aku harus mengikuti persiapan dulu di sini dan di sana.."

Dion berhenti sesaat dari acara mengunyahnya, dengan senyum menggoda ia melihat ke arahku.

"Oh.. kamu.. jangan-jangan nangis karena nggak mau aku pergi? Kenapa, merasa nggak bisa hidup tanpaku, honey?"

Aku tersedak seketika. Buru-buru aku menyeruput lemon tea hangatku.

"Ngaco!"

Dion terbahak. Masih dengan senyum jahilnya ia kemudian menggodaku.

"Kalau aku pergi, kamu pasti langsung berpaling ke ketua kelasmu itu.. siapa namanya, Arkam? Ah,.. senangnya masa-masa SMA.."

Aku memandangnya galak, tapi Dion belum berhenti,

"Apa aku juga harus mencari gadis Jepang di sana ya? Masa mudaku nggak boleh disia-siakan Glo.."

Aku menggeleng padanya, "Jangan coba-coba.. Elly akan membunuhmu."

Seketika senyumnya menjadi masam, namun ia tetap memaksakan tertawa, "ya, Elly pasti akan membunuhku."

...

Makan malam sebagai welcome party untuk Elly (walaupun hanya pulang 3 hari), diadakan di rumah. Hanya keluarga kami dan Dion. Dia menjadi tamu spesial kami.

Elly, terlepas dari perasaanku pada Dion, adalah sosok periang yang kadang kurindukan keberadaannya. Pembawaannya ceplas-ceplos dan tindakannya cenderung nekat. Dan aku menyukainya.

Elly menceritakan bagaimana kehidupan di Jepang dengan orang-orangnya yang sangat workaholic. Sistem human resource-nya yang sangat efisien, dan juga bagaimana teknologi di sana memudahkan segala akses kehidupan.

"Masalahnya cuma satu, living costnya yang muahaaalll!"

Aku terkekeh. Berbeda dengan Dion yang mengambil jalur beasiswa, Elly memutuskan untuk kuliah dengan biaya sendiri, dengan support kedua orangtua kami pastinya. Walaupun pada akhirnya dia tetap berhasil mendapatkan beasiswa dari kampusnya. Dia memang cerdas.

"Dion, Elly bilang kau juga diterima di universitas yang sama dengannya? Benar?" Suara Ayah terdengar seriang Elly.

"Ah, iya, om.. kemungkinan akhir tahun ini saya baru bisa berangkat." Jawab Dion sopan.

Ayah mengangguk, sejenak berpikir.

"Kalian.. sudah lama bersama, nantinya juga akan melanjutkan kuliah di tempat yang sama. Apa belum ada rencana untuk ke tahap yang lebih serius lagi?"

Seketika senyap.

Aku masih mencoba berpikir untuk tetap bernafas dan memfungsikan seluruh organku, mengalirkan darah ke otak agar tetap hidup. Aku harus normal.

Aku yakin Elly dan Dion saling bertukar pandang untuk memutuskan siapa yang akan menjawab pertanyaan ayah. Namun ketika aku, dalam tindakanku yang normal, mengambil cumi goreng tepung di atas meja, aku melihat Dion di seberangku, sedang memandang lurus ke arahku.

Apa mengambil cumi terkesan tidak normal?

Mama yang pertama kali mencairkan suasana, "Ayah.. ini urusannya anak muda. Nggak usah kepo gitu deh.. ayo, Dion, makannya nambah.. El, ini sotonya masih banyak."

Aku mengangguk, tanpa tahu apa yang kusetujui, sebelum mama menunjuk ke arahku, "dan kamu Glory, sayang, kamu nggak akan menghabiskan cumi itu sendirian.. bagi yang lain!"

Aku hanya melanjutkan acara mengunyahku, "enak, ma.."

Dan samar kudengar suara tawa geli dari meja seberangku.

...

Hari Sabtu.

Aku merasa bersatu dengan kasurku, dan daisy di sebelahku. Energiku terasa terkuras karena hari kemarin.

Elly dan Dion,.. apa mereka akan menikah?

Berita bagusnya, ia akan sering berada di sini, dengan mempertimbangkan status keluarga sebagai kakak iparku.

Berita buruknya, aku mungkin akan cemburu setiap saat.

"Daisy, daisy,.. kamu nggak akan ninggalin aku juga, kan?"

AntibiotikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang