Pagi hari datang. Namia membuka matanya dan memandang jendela di sampingnya. Jendela itu masih tertutup. Namia menoleh ke sampingnya, Chera belum bangun. Namia beranjak dari ranjangnya dan membuka jendela.
Hawa sejuk menghambur masuk ke dalam kamar. Namia menghirupnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lega.
"Nyamannya ...," gumam Namia. "Ternyata tinggal di dalam hutan tidak begitu buruk juga."
Namia menyangga wajah dengan tangannya. "Kalau begini, aku bisa betah tinggal di sini," gumamnya lagi masih sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Alvana berdiri di sana, dia melempar senyum pada Namia.
"Oh, kau sudah bangun, ya," kata Alvana.
Namia membalas senyumannya. "Selamat pagi, Alvana," sapanya riang.
"Aku sudah buatkan sarapan untuk kalian. Kau boleh mandi dulu di sumur yang ada di belakang itu kalau mau. Aku tunggu di ruang makan, ya," jelas Alvana. Dia lalu menutup pintu.
Namia tersenyum menanggapinya. "Alvana ramah sekali," tanggapnya.
Namia lalu beranjak untuk mandi. Setelah itu, dia pergi ke ruang makan. Aroma sedap makanan yang dibuat Alvana langsung menyambutnya di sana saat dia masuk. Dengan senang hati, Namia duduk di kursi dan langsung menyuap sup buatan Alvana.
"Wah, masakanmu enak, Alvana! Ternyata kau pandai sekali memasak," kata Namia.
Alvana tertawa kecil seraya duduk di kursi. "Terima kasih. Aku sudah biasa memasak makanan sejak kecil."
"Oh iya, Alvana ...," kata Namia lagi. "Kenapa di ruang tamumu banyak sekali sangkar burung?"
Senyum Alvana pudar sejenak. "Sangkar burung? Oh ... itu. Iya, aku kadang suka menyimpan sesuatu di sangkar-sangkar itu."
Namia diam sejenak. Lalu dia berkata, "Kamu kadang tidak menyadarinya, ya?"
Alvana tersenyum. "Iya. Biasanya aku mengabaikannya. Jarang sekali aku sadar kalau ruang tamuku yang juga merangkap ruang perapian itu ternyata berantakan juga."
"Apa yang biasanya kau simpan di sangkar itu?"
"Sesuatu seperti ... yah, hasil penemuanku."
"Kamu meletakan hasil ramuanmu di dalam sangkar?"
"Hahaha ... iya, aku tahu itu terdengar aneh. Tapi kadang ramuan yang aku buat tidak menjadi cairan ajaib atau semacamnya. Kadang itu menjadi ... sesuatu. Entahlah harus bagaimana aku mengatakannya, tapi kadang itu menjadi sesuatu yang hidup."
Namia bergeming seraya mengangguk-angguk. Lalu dia bertanya lagi, "Seperti toples-toples yang ada di pajangan perapian?"
Alvana mengangguk sambil tertawa kecil.
"Jadi mereka hidup?" tanya Namia lagi.
"Benar. Tapi untuk yang ada di dalam toples itu, tak boleh sampai keluar."
Namia nampaknya semakin tak mengerti. "Lalu kalau hal seperti itu kamu masukkan ke dalam sangkar, pasti akan mudah keluar, bukan?"
Untuk kesekian kali, Alvana tertawa kecil. "Yang kuletakkan di toples dengan yang kumasukkan ke dalam sangkar sangat berbeda. Kalau yang ada di dalam sangkar, mereka tak akan keluar," jelas Alvana.
Namia diam, mencoba menyerap penjelasan Alvana. Alvana lagi-lagi tertawa kecil melihatnya.
"Sudahlah, nanti aku jelaskan lagi. Sekarang habiskan dulu saja sarapanmu," ujar Alvana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Chance
Fantasy"Kau yakin begitu?" "Tentu." "Ta ... tapi ... mana mungkin?" "Sama sekali tidak mustahil untuk terjadi. Hanya kita yang belum tahu apa yang sebetulnya selama ini telah mereka sembunyikan. Kerajaan ini, tak mungkin diserang tiba-tiba, tanpa sebuah...