Part 2: "Aku Harus Cepat Pergi"

225 11 1
                                    

Senyum mengembang di wajah Namia di perjalanannya pulang. Namia memandang lagi sebuah hiasan meja dari kayu yang dibuatnya sendiri. Sebuah vas kecil dengan sedikit ukiran tumbuhan menjalar di sekitar sisi vasnya. Tidak begitu rapi tapi sangat bagus untuk seorang penjaga toko biasa yang membuatnya. 

"Nyonya Brianne pasti akan suka. Aku tak akan membuatnya merasa rugi," celoteh Namia riang. "Aku jadi tidak sabar ingin segera melihat wajah Nyonya Brianne saat melihat karyaku ini. Aku sebaiknya cepat kembali," imbuh Namia seraya berlari. Dia menyimpan vas kecil itu di saku jaket panjangnya. 

Di jalannya, tak banyak hewan dan serangga hutan terlihat. Mungkin mereka telah kembali ke sarang, mengingat hari yang sudah sore.

Namia tak begitu pintar memilih kayu. Jadi, dia menghabiskan banyak waktu di hutan untuk mencari kayu yang tepat. Ditambah waktu yang diperlukannya untuk membuat hiasan kecil itu dan mengukir sisi luarnya, tentu sama-sekali tak memakan waktu singkat. 

Namia semakin mendekati kota. Pepohonan pun mulai tak begitu rimbun. Namia mulai menyadari sesuatu. Senyumnya pudar. Dia mendongak ke langit di depannya. Ada awan-awan hitam di sana, berterbangan ke langit. Namia mencoba menyerap apa yang dia lihat. Langkahnya memelan, hingga akhirnya berhenti. 

"Apa itu asap?" Namia bertanya sendiri, masih memandangi gumpalan hitam itu. "Banyak sekali asapnya." 

Entah kenapa, perasaan Namia tiba-tiba tidak enak. Dia berusaha mencegah pikiran buruk memasuki kepalanya. Sebagai gantinya, Namia berlari lebih cepat lagi. Langkahnya begitu terburu-buru, bahkan dia tak menyadari kapak di tangannya terlepas. 

Perlu selang waktu beberapa menit untuk mencapai kota. Dan akhirnya beberapa saat kemudian Namia keluar dari hutan. Beberapa langkah setelah itu, Namia terhenti. Rumah-rumah di kota terbakar! Banyak orang berlarian di sana. 

Namia tercengang sesaat. Lalu dia segera berlari ke dalam kota. Setelah masuk, Namia berhenti sejenak, memperhatikan orang-orang yang melaluinya. Lalu dia segera berlari lagi, berlawanan arah dengan arah larinya orang-orang itu. Namia ingin tahu apa yang sebetulnya terjadi. 

"Anak muda, jangan pergi ke sana!" seru seorang kakek yang menahan Namia dari depan dengan mencengkam kedua pergelangan tangan Namia. 

"Ada apa? Apa yang terjadi di sini?" tanya Namia setengah panik. 

Sambil mengguncang-guncang tangan Namia, kakek itu menjawab histeris, "Monster! Ada monster mengerikan menyerang kota! Kita harus segera pergi dari sini!" Kakek itu segera berlari sambil berteriak ketakutan. 

"Monster?! Bagaimana bisa ada monster di sini?" tanya Namia. 

Tiba-tiba rumah di samping Namia meledak. Namia menjerit kaget. Tubuhnya terpelanting cukup jauh dan menghantam dinding bata sebuah toko. Asap mengepul memenuhi udara di sekitar Namia. Untuk beberapa saat, Namia tak dapat melihat apapun. 

"Ngh ...," erangnya seraya berusaha bangun. Namun hantaman dinding dengan punggungnya terasa begitu keras hingga sulit baginya dapat bangun kembali. Lengan kirinya tergores panjang, dan kini darah mulai menetes dari luka tersebut. 

Terdengar auman keras yang mendekat. Namia tertahan. 

Apa baru saja tadi suara beruang? bathinnya setengah ketakutan. 

Suara derap-derap keras terdengar mendekat. Banyak dan terdengar seperti sangat berat. Namia segera berusaha bangun sekuat tenaganya. Dan setelah berdiri, dia segera berlari ke belakang toko tersebut, bersembunyi di sana. 

Derap-derap itu semakin mendekat. Namia dapat mendengarnya dengan jelas. Hingga mereka benar-benar berlarian melewati depan toko. Namia mengintip. Benar dugaannya, memang beruang. Namun beruang-beruang itu sangat besar, memiliki ekor lebat seperti serigala, memiliki telinga yang sedikit panjang, memiliki tanduk melingkar dan sepasang taring yang sangat panjang. 

Apa itu benar-benar beruang? bathin Namia lagi. 

Disadarinya beberapa ekor dari mereka berhenti. Mereka mengendus-endus ke sekitarnya. Beberapa ekor mendekati toko. Namia segera berbalik lagi dan bersembunyi. 

Gawat! pekik Namia dalam hati. Mereka mencium sesuatu. 

Namia teringat lengan kirinya yang masih berdarah. Dia mulai semakin gelisah. Mereka pasti mengendus bau darah segar. Mereka bisa ke sini! 

Namia mendengar derap pelan. Berjalan mendekat. Mereka masih mengendus. Namia tak dapat melangkahkan kaki untuk berlari, dia tahu dia justru akan ketahuan dan segera dikejar bila ia melakukannya, sementara tak ada manusia yang dapat kabur dari cengraman beruang haus darah. Namia hanya dapat berdiri dan berharap dia akan selamat. 

Tak hanya satu-dua ekor yang mendekatinya. Namia tahu itu. Dia mulai berhenti berharap kala menyadarinya lagi. Bila dengan satu beruang liar saja manusia tak mungkin lolos, bagaimana dengan yang sebanyak ini?

Aku tidak akan selamat .... 

Semakin lama, Namia semakin berdebar-debar. Langkah-langkah itu mendekat. Geraman si binatang liar pun sudah mulai terdengar di telinganya. 

Mereka telah sangat dekat. Dan tak mungkin menjauh lagi setelah mengendus mangsanya. 

Tak mungkin selamat .... 

Geraman itu semakin jelas. Hawa hangat bahkan telah mulai terasa di samping Namia. Semakin mendekat. 

Tidak akan .... 

Jemari kanan Namia menyentuh sesuatu di sampingnya. Dia melirik pada benda itu. Dia mulai meraihnya. 

Kalau begitu, aku harus mengubah takdirku! 

Namia melempar obor api ke dinding kayu di belakangnya. Dia melempar beberapa lagi di depan beberapa beruang untuk mengusirnya. Sisi belakang toko tersebut memang terbuat dari kayu. Beruang-beruang tadi mengaum dan melangkah mundur. Namia tetap melempari kayu-kayu yang terbakar di sampingnya hingga habis dan tak ada lagi. 

Beberapa waktu kemudian, terdengar mereka melangkah menjauh. Namia segera berlari pergi. Beberapa langkah kemudian, dia terhenti sejenak. Dia mendengar sesuatu, lalu segera menoleh ke asal suaranya. Dilihatnya dari pintu sebuah kandang besar yang terbuka setengah, seekor kuda sedang meringik. 

"Oh, tidak!" Namia segera mendekati kandang yang terbakar itu. 

Namia langsung mendekati kuda itu. Dia melepas tali yang mengikat si kuda dan segera membawa kuda itu keluar. Beruntung mereka dapat keluar dengan selamat. 

Namia menenangkan kuda itu sejenak. Beruntung, dia pernah mengurus kuda, jadi dia tahu cukup banyak soal itu. 

"Aku harus menemui Kakek," gumam Namia sendiri. Dia lalu berkata pada kuda itu, "Kita harus menemui kakekku! Aku harus memastikan apa dia baik-baik saja! Kita harus ke sana!" 

Namia segera naik ke punggung kuda. Tanpa basa-basi lagi, dia segera memacu kudanya dan pergi. 

Another ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang