Part 7: "Rumah yang Hilang"

87 4 2
                                    

Chera dan Alvana menyetujui permintaan Namia. Esok harinya mereka pergi. Perlu waktu setengah jam untuk sampai ke sana dari rumah Alvana dengan berjalan kaki.

Mereka masing-masing memakai jubah panjang bertudung. Jubah tersebut Alvana pinjamkan atas saran Chera. Katanya, karena mereka belum tahu pasti bagaimana kondisi kerajaan saat ini, ada baiknya mereka sedikit menyembunyikan diri untuk mencegah apapun yang kiranya mungkin terjadi. 

Di perjalanan ini, Namia terus merasakan sesuatu yang asing. Seakan dia ada dalam suasana yang belum pernah dirasakannya. Namia sendiri awalnya tak mengerti, namun beberapa saat kemudian dia menyadari sesuatu. Sebelumnya, tak peduli seberapa jauh dia berjalan, dia akan selalu ingat untuk kembali pulang. Sementara sekarang ini, dia akan pergi tanpa kembali ke rumahnya sendiri lagi.

Kressian sudah diserang. Tak akan dia, dan Chera dapat kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Namia miris mengingatnya.

"Namia ...," panggil Alvana yang sedang menoleh ke belakangnya, ke arah Namia. Posisi mereka tetap berjalan. "Kenapa?"

"Ha ... hah?" Namia hanya tersentak kecil. Dia tak menyadari Alvana memperhatikannya sejak tadi.

Alvana menjelaskan sedikit, "Aku lihat, sepertinya matamu berkaca-kaca. Apa kau sedang mengkhawatirkan seseorang?"

Namia lekas menyeka kedua ujung matanya. Memang sedikit basah. "Ti ... tidak. Tidak, aku bukannya sedang khawatir tentang itu."

Alvana bertanya lagi, "Ada hal lain yang kau takutkan?"

Namia diam sejenak. Awalnya dia sedikit ragu untuk menjawabnya. Lalu, dia menjawab, "Aku takut ... aku benar-benar telah kehilangan rumahku."

Baik Alvana ataupun Chera, keduanya membisu. Tak ada yang mau atau mampu membalas. Mereka memutuskan untuk menunggu Namia melanjutkan perkataannya.

Namia pun melanjutkan, "Kakekku tinggal di Desa Reindeer. Mengingat peristiwa kemarin yang begitu mengerikan, dan perkataan Putri Chera bahwa tak ada siapapun lagi yang mungkin selamat, aku terus khawatir. Aku takut aku telah kehilangan Kakek. Aku takut sesuatu sudah terjadi padanya. Setidaknya kalaupun memang Kakek telah tiada, aku ingin mencari jasadnya."

Tak ada lagi yang bersuara. Alvana dan Chera tertegun, lantas saling bertatapan. Chera lalu memutuskan itu dengan menunduk. Kini, Alvana memperhatikan Namia sejenak, memandangnya pilu. Alvana sedikit tak yakin untuk memberitahukan Namia akan sesuatu tentang apa yang sebelumnya Namia katakan.

Namun, Alvana tetap merasa Namia berhak mengetahuinya. Maka, setelah mendesah panjang, Alvana berkata, "Mungkin kau tak bisa melakukannya, Namia."

Tentu saja Namia kaget. Dia segera mengangat wajahnya kembali, memandang punggung Alvana yang seluruhnya tertutup helaian rambut hitam.

"Kalau memang benar ...," jelas Alvana. "Pencuri Jiwa sedang melancarkan keinginannya dengan menyerang seluruh kerajaan ini, maka mungkin dia juga tak akan meninggalkan tubuh-tubuh korban penyerangan kemarin begitu saja. Pencuri Jiwa membutuhkan tubuh mereka untuk membangkitkan kembali binatang yang akan dihidupkannya, itu salah satu sistematika cara membangkitkannya. Dan, kalau benar begitu, jasad kakekmu pasti tak ada di sana."

Namia tak bisa membalas. Dia diam membisu. Ada rasa kecewa dalam hatinya tepat setelah Alvana menjelaskan hal itu padanya.

"Kau harus tegar, Namia," pesan Chera dengan nadanya yang begitu lembut. Namia perlahan menoleh pada Chera yang kemudian menoleh memandangnya.

Chera berkata lagi padanya, "Bukan hanya kau saja yang kehilangan rumah-mu atas penyerangan seperti ini."

Namia termenung mendengarnya. Itu benar. Chera pun juga kehilangan istananya, dia juga kehilangan keluarganya. Dia juga kehilangan rumah, dia juga sedang berjalan tanpa bisa kembali pulang.

Another ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang