Part 4: "Persinggahan Kecil"

254 13 2
                                    

Tak berapa lama berjalan, akhirnya Namia dan Chera sampai. Namia memperhatikan rumah sederhana dari bata-bata pudar di depannya. Rumah itu tak ubahnya tempat tinggal yang sepertinya sudah lama sekali berdiri di sana. 

"Sudah sampai," kata Chera. 

Namia memandang Chera sedikit heran. "Ini?" tanya Namia sambil menunjuk rumah itu, sangat tak mengerti. "Tapi ... untuk apa kita ke sini?" tanya Namia lagi. 

"Masuk saja," balas Chera sambil mengambil langkah. "Nanti kau juga akan mengerti." 

Namia terdiam sejenak. Dia masih tak mengerti dan masih ingin mengajukan banyak sekali pertanyaan sejak tadi. Namun saat sadar Chera sudah meninggalkannya terdiam, Namia segera melangkah menyusul Chera. 

Chera megetuk pintu kayu itu. Lalu Chera mundur beberapa langkah dari pintu. 

"Sebentar!" 

Namia tetap diam mendengar suara itu. Namun dalam hati, masih belum habis rasa penasarannya. Bahkan setelah mendengar suara seorang gadis dari dalam rumah. 

Pintu dibuka. Seorang perempuan remaja berdiri di sana. Rambut dan bajunya berwarna hitam dengan kulitnya yang putih. Dia tersenyum lebar saat melihat Chera. 

"Ah ... ternyata itu kau, Cherenila Ardian," katanya sambil tersenyum manis melihat Chera. 

Namia tersentak kecil. Bagaimana dia bisa tahu nama lengkap Putri Chera? tanyanya dalam hati. 

Gadis itu beralih pada Namia. "Wah, kau datang dengan temanmu juga, ya," katanya lagi. "Ayo masuk dulu! Kita bicara di dalam saja. Di luar pasti sudah sangat dingin untuk kalian." 

Chera melangkah masuk. Namia dengan sedikit canggung mengikuti di belakang. 

Saat Namia lewat, gadis itu terus memperhatikannya. Lalu setelah Namia ada di dalam, dia menutup pintu sambil berbicara pada Namia, "Kelihatannya kakimu terkilir, ya?" 

Namia berbalik. "Ah, iya. Tadi aku jatuh saat berlarian." 

"Pasti tak menyenangkan," tanggap gadis itu sambil berjalan mendekati kedua tamunya. "Kalian duduklah! Aku akan buatkan teh." Gadis itu pun berjalan melewati ruangan dan masuk ke ruangan lain. 

Chera duduk di atas sebuah kursi panjang. Namia menyusul duduk di sebelahnya. Setelah duduk, Namia mulai memandang ke sekeliling ruangan. Ada perapian menyala di samping tempat-tempat duduk. Di tengah kursi-kursi, terdapat sebuah meja yang agak rendah. Di sekitar ruangan yang cukup luas tersebut, terdapat banyak sangkar hitam. 

Gadis itu sudah kembali ke ruangan. Dia meletakan tiga gelas kecil teh di atas meja dan meletakan nampan di pinggir meja, setelah itu duduk di kursi panjang yang ada di seberang Namia dan Chera, 

"Hmm ...." Dia memperhatikan Namia sejenak dan terdiam untuk beberapa saat. "Siapa namamu?" tanyanya. 

Namia tersadar. "Ehn ... Namia Ferlanda." 

"Oh, Namia ... kenalkan, namaku Alvana Sewilly," katanya masih sambil tersenyum manis. 

Dia beralih memandang Chera yang sedang menyeruput teh hangat. "Ada apa datang kemari?" tanyanya. 

Chera meletakkan gelas tehnya. "Kami perlu singgah di rumahmu untuk sementara waktu ini, Alvana," kata Chera lembut dan tenang. 

"Oooh ... boleh, boleh." Alvana mengambil gelas tehnya. "Tapi memangnya, apa tidak apa-apa untuk kalian? Maksudku, ada apa tiba-tiba ingin menginap di sini?" Alvana menyeruput tehnya santai. 

Chera masih dengan suara lembut-manis dan tenangnya menjawab singkat, "Kressian hancur." 

"BHOKK!! OHOK!! Uhukk ... uhuk ...!" Alvana sontak tersedak. 

Namia mulai memandang gadis bergaun hitam itu dengan aneh. Dari ekspresinya yang sejak tadi ramah dan tenang, ternyata masih bisa juga gadis itu terlihat seperti sedikit ceroboh. 

"Uhuk ... apa ... apa maksudmu?" tanya Alvana. 

"Ada penyerangan mendadak ke seluruh wilayah kerajaan Kressian tepat sore ini. Semuanya sudah habis diserang oleh musuh yang belum kami ketahui," tutur Chera. 

"Ini buruk sekali," tanggap Alvana sambil melipat kedua tangan. "Untunglah kalian selamat. Sungguhkah keadaan kerajaan benar-benar sudah berantakan sekarang?" 

"Aku tak tahu pasti," jawab Chera. "Sejauh yang aku tahu, tidak ada lagi yang selamat selain kami berdua. Kalau serangannya sebesar ini, kecil sekali kemungkinannya masih ada yang selamat." 

Alvana mendengus. "Parah. Padahal rasanya tadi pagi masih baik-baik saja keadaannya," dia berkomentar sendiri. "Apa yang menyerang kerajaan sore ini?" 

Namia menjawab, "Kami tidak tahu. Tapi itu sepertinya bukan binatang buas biasa." 

"Binatang buas?" ulang Alvana seolah tak percaya. "Binatang buas seperti apa?" 

"Entahlah ...," jawab Namia. "Sangat mirip beruang, namun terlihat lebih menyeramkan lagi." 

Alvana mengangguk-anggukan kepala. Dia diam sejenak memikirkan sosok yang mungkin dimaksud Namia. 

Chera bertanya, "Apa kau tahu makhluk apa itu, Alvana?" 

Alvana masih diam berdengung. Sepasang mata bening berwarna ungunya menerawang ke atas. Sulit untuknya mengingat namun dia merasa seperti tahu sesuatu tentang itu. 

"Ada hubungannya dengan sesuatu pastinya," ujar Alvana akhirnya. "Tidak mungkin mereka menyerang tanpa alasan, bukan?" 

"Ii ... iyaaa ...," Namia bergumam sendiri membalasnya. Teringat bahwa Chera pun juga mengatakan hal yang sama. 

"Pokoknya, kita harus cari tahu itu!" Alvana mulai kembali memandang dua gadis di depannya. "Tapi, yah ... besok sajalah. Sekarang sudah larut malam, kalian tahu?" 

Namia menoleh ke jam dinding di atas perapian. Memang sudah pukul 9 malam. 

"Tapi sepertinya tidak bagus juga kalau kita langsung tidur sekarang," ujar Alvana. "Kalian baru sampai di sini. Mungkin kalian mau menghabiskan teh dulu? Atau mandi sebentar?" 

"Ah iya, terima kasih," balas Chera lembut. "Kau sendiri belum tidur?" 

Alvana tertawa kecil. "Ah, aku sebetulnya terbiasa tidur larut malam, Chera. Rasanya masih banyak yang ingin aku lakukan sebelum tidur," jawabnya. 

Alvana berdiri dari kursinya. "Hei, apa kalian lapar? Kalian pasti sudah berjuang keras, berusaha menyelamatkan diri sejak sore tadi. Kalian pasti belum makan malam, ya?" Alvana berjalan pergi. "Aku memasak makanan enak hari ini. Kalian sebaiknya makan dulu, ya. Sebentar, aku siapkan di ruang makan." 

Chera menyeruput tehnya dengan tenang. Sementara itu, Namia memandangi sekeliling ruangan tempatnya duduk itu. Banyak sangkar hitam kosong di salah satu sudut ruangan. Di atas sisi depan perapian, terpajang beberapa hiasan dan beberapa toples kaca berukuran sedang. 

Namia tertarik dengan isi toples itu. Toples itu berisi sesuatu yang bersinar dengan masing-masing warna di setiap toples. Namia hanya berpikir itu adalah hiasan perapian biasa. 

Another ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang