Alvana meraih gelas tehnya. "Jadi, bisa kalian jelaskan lagi, soal penyerangan kemarin sore?"
Chera menjawab tenang, "Itu sangat tiba-tiba, seperti yang sudah kita tahu. Dan sejauh ini, kami berdua belum tahu untuk apa mereka melakukan penyerangan ini."
Alvana meletakan kembali gelasnya di atas piring. "Jadi kalian baru tahu sampai sejauh itu saja, ya. Ah, sayang juga." Alvana meletakkan gelas dan piringnya di atas meja.
Seraya mendengus perlahan, Alvana melipat kedua tangannya. "Beruang? Hmmm .... Apa mungkin, ya?"
"Aku sempat curiga juga," ucap Chera. "Seingatku, seseorang di istana pernah membicarakan sesuatu tentang itu."
Alvana diam sejenak. "Kudengar, orang seperti itu memang masih ada," gumamnya.
"Maaf," Namia menyela pelan. "Apa yang kalian bicarakan?"
"Oh, maaf, kami lupa kau belum tahu," kata Alvana sambil tersenyum. "Rasanya, ini ada hubungannya dengan Pencuri Jiwa."
Namia tentu tak mengerti. "Pencuri Jiwa?"
"Iya." Wajah Alvana mulai nampak serius. "Sebetulnya itu hanyalah mitos di telinga kalangan umum, namun sebetulnya Pencuri Jiwa memang ada."
"Legendanya, pernah ada seorang penyihir jahat yang mampu menghidupkan binatang buas di bawah keinginannya. Namun untuk menghidupkannya, dia membutuhkan jiwa manusia. Maka dia mencuri jiwa manusia dan memasukkannya pada tubuh binatang buas tersebut. Binatang itu akan bangkit kembali dan menuruti apapun yang penyihir itu minta. Penyihir jahat itu pun berniat membuat pasukannya sendiri dan kemudian menjadi penguasa paling kuat."
"Tapi orang-orang tak menyukai keputusannya tersebut. Mereka berniat menangkap penyihir tersebut, namun mereka tak berhasil melakukannya. Sang penyihir sudah tahu soal itu dan sudah lebih dulu kabur dari sana. Dia bersumpah akan menjadi penguasa paling kuat seperti keinginannya. Dan hingga saat ini, tak pernah ada yang tahu kemana perginya dan dimana dia sekarang."
"Para penyihir yang menyebutnya sebagai Pencuri Jiwa. Tapi tak semua penyihir beranggapan bahwa Pencuri Jiwa masih ada hingga sekarang karena ada juga cerita lain yang mengatakan kalau penyihir jahat tersebut berhasil ditangkap dan dibunuh."
"Hhaaahhhh ... sungguh berita yang sangat buruk kalau ternyata Pencuri Jiwa sudah mulai menyebarkan pasukannya," komentar Alvana sambil memijat dahinya.
Namia bergumam, "Oh, begitu."
Namia sempat bergidik sendiri. Pencuri Jiwa terdengar mengerikan untuknya.
"Ah! Tapi, kenapa mereka tidak terlihat seperti beruang biasanya?" tanya Namia.
Alvana menjawab, "Karena sebetulnya, binatang itu tak lagi menjadi binatang saat hidup kembali, dia akan bangkit dengan tubuh yang berubah rupa. Namun bukan berarti dia berubah menjadi binatang lain. Dan karena itu, seharusnya kau tidak melihat 'beruang' waktu itu, melainkan rupa yang lain."
Namia mengangguk canggung. "Umm ...," gumamnya ragu-ragu.
Alvana mendengus sebal melihatnya. "Ya sudahlah. Kadang memang rumit menjelaskannya," kata Alvana.
Chera meletakkan tehnya di atas meja. Baru saja ia menyeruput teh hijau tersebut. Dia kembali angkat suara, "Menurutmu ada penyelinap di istana, Alvana?"
Namia dan Alvana memandang Chera. Mendengarnya, Alvana mulai mengangkat dagu dengan jemari bercat hitamnya. Dia terus diam memikirkannya.
Namia menyela, "Mungkin itu hanya seseorang yang percaya legeda itu saja."
"Tidak," sanggah Chera. "Aku tak ingat secara jelas, namun ia seolah sedang menyampaikan berita tersembunyi. Dua kata di antaranya adalah pasukan dan Pencuri Jiwa."
Alvana bertanya, "Apa saja yang ia katakan?"
"Aku tak ingat pasti. Aku juga tidak tahu siapa dia dan dengan siapa ia berbicara. Saat itu aku hanya tak sengaja mendengarnya dari ruang kerja ayahku."
Tak ada yang membalas. Ketiga gadis di dalam ruangan itu saling diam. Di saat seperti ini, Namia menjadi satu-satunya yang paling canggung. Dia sebetulnya tak mengerti pasti apa yang sedang terjadi.
"Uhmm ... maaf." Namia memilih untuk mencoba ikut kembali dalam percakapan. "Apa itu berarti ada yang ingin menjatuhkan Kressian?"
Chera dan Alvana memandanginya. Kemudian mereka berdua saling menatap. Tak lama setelahnya, barulah salah satu dari mereka kembali berbicara.
"Kelihatannya memang ada penyelinap, Chera."
Chera sendiri hanya mendesah. Dia mulai menunduk, lalu perlahan meraih gelas tehnya. Chera menyeruput tehnya sejenak.
"Aku tidak tahu," ujar Chera tenang.
Kali ini Alvana mendesah sambil menunduk. Kelihatannya dia sudah lelah memikirkannya.
"Semua ini masih sangat belum jelas. Apa harus urusan ini sampai ke orang-orang legendaris?" Tepat setelah mengatakannya, Alvana langsung terdiam kaku.
Masih dengan tenang, Chera membalas, "Besar kemungkinan." Tek. Chera meletakkan tehnya kembali.
Sejenak, Alvana memandangi gerakan Chera. Lalu segera dengan nada tinggi ia berkata, "Aku tidak percaya kau bisa setenang itu di saat masalah sedang sebesar ini! Apa-apaan itu?! Tidakkah kau merasa takut?!"
"Aku takut."
Alvana kelihatan kehabisan kata-kata. Melihatnya, Chera mendengus lelah.
"Aku tentu takut. Apalagi kita hanya bertiga saja. Melawan penyihir legendaris dan semacamnya itu terlalu menakutkan. Jadi, aku tak ingin memikirkannya."
Alvana masih terdiam kaku. Dia masih tak punya kata-kata untuk diucapkan.
Sebetulnya, Namia ingin menanyakan banyak hal lagi. Namun melihat Alvana yang tiba-tiba merubah suasana serius sebelumnya, rasanya dia jadi perlu menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu dulu.
"Sudahlah, Alvana, di keadaan kalut kerajaan seperti ini, ada baiknya juga kita tetap berkepala dingin," ujar Namia.
Akhirnya Alvana mendesah. "Apapun itu, cepat kita buat keputusan."
"Buat keputusan?" Namia mengulang.
"Iya, antara pergi dari sini atau tetap tinggal." Alvana tampak gusar.
Chera mendesah. "Kau merasa terancam," tanggap Chera.
Namia mendesah dengan senyum dibuat-buat. Perkataan Alvana seakan dia membuat pilihan kabur atau mati, pikir Namia. Saat menyadarinya, senyum aneh di wajahnya hilang.
Namia bertanya, "Kalau begitu, boleh kita pergi melihat desa di Kressian dulu?"
Alvana dan Chera bersamaan memandangnya.
"Memangnya kenapa?" Alvana bertanya balik.
"Aku sebetulnya ... ingin menemui kakekku terlebih dahulu kemarin sore."
Alvana dan Chera diam. Untuk kedua kalinya, mereka berpandangan. Sepertinya mereka ragu karena baru saja mereka berpikir seluruh kerajaan ini sudah berbahaya.
"Aku mohon," kata Namia lagi, meminta. "Aku ingin tahu apa dia selamat atau tidak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Chance
Fantastik"Kau yakin begitu?" "Tentu." "Ta ... tapi ... mana mungkin?" "Sama sekali tidak mustahil untuk terjadi. Hanya kita yang belum tahu apa yang sebetulnya selama ini telah mereka sembunyikan. Kerajaan ini, tak mungkin diserang tiba-tiba, tanpa sebuah...