Keadaan masih pagi. Bahkan sinar mentari masih samar terangnya. Sepagi ini, Chera dan Namia sudah berkumpul bertiga di ruang tamu. Bukan bertiga dengan Alvana, melainkan dengan seorang anak kecil yang meringkuk berbaring di atas lantai.
Namia mendesah malu. "Ma ... maaf, Putri. Aku kaget. Aku sama sekali tidak tahu kalau itu Oryia."
Chera yang masih belum selesai menyisir rambutnya hanya mengangguk. "Aku mengerti," katanya dengan nada bicara yang tenang dan lembut.
Namia menoleh, memandang anak kecil itu. Anak itu sepertinya masih mengantuk, dia tertidur lagi di lantai ruang tamu setelah dibawa masuk. Anak itu berambut hitam, dia punya sepasang telinga kucing dan sebuah ekor yang juga berwarna hitam, hanya kulitnya yang terlihat putih. Anak itu adalah Oryia.
Namia tak begitu kaget. Sepertinya dia mulai sedikit terbiasa dengan kejutan ajaib seperti ini. Memang, sedikit tak aneh seekor kucing yang bisa berbicara seperti manusia berubah menjadi manusia seperti ini.
Namia beralih lagi pada Chera. "Umm ... tapi bagaimana bisa Oryia berubah secepat ini? Bukankah kemarin dia masih seekor anak kucing?"
"Tentunya dengan ramuan Alvana," jawab Chera, masih sambil menyisir rambutnya. "Alvana pernah mencoba sebuah ramuan untuk mengubah seekor hewan menjadi manusia, dia memberikannya pada Oryia. Jadi, Oryia mampu mengubah dirinya menjadi manusia atau kucing sesuka hatinya."
"Tapi kalau sedang tidur bukankah tak akan bisa?"
"Ada pengecualian. Saat tidur, tubuhnya akan berubah menjadi manusia secara alami, mungkin memang seperti itu efeknya."
Namia memandang Oryia lagi. Dia lalu memandang Chera lagi. "Dimana Alvana?"
"Pergi keluar sebelum kita bertiga bangun."
"Darimana Putri tahu?"
Chera melirik singkat selembar kertas di atas meja tamu. Namia memandang kertas itu dan meraihnya. Sepertinya itu adalah memo dari Alvana.
Aku harus pergi keluar di pagi buta. Sarapan untuk kalian sudah kusiapkan, cepat kalian makan sebelum dingin! Maaf aku tidak bisa membantu kalian pagi ini.
Alvana
Namia kembali memandang Chera. Sebetulnya dia sedang menanyakan tentang sebab kepergian Alvana dari pandangannya, Namia yakin Chera tahu itu.
Chera tahu itu. Tapi Chera tak ingin menjawab itu sekarang. Chera justru beranjak sambil berkata dengan lembut, "Ayo kita sarapan!"
Namia diam sebentar. Dia masih penasaran, tapi mungkin nanti pun dia akan tahu. Mungkin Alvana juga akan menjelaskan soal ini padanya. Apapun itu, Chera pasti diam karena dia ingin membiarkan Namia mengetahuinya sendiri
***
Malam itu, usai menyelimuti Oryia, Alvana tetap terjaga di salah satu bilik rumahnya. Dia mengambil sebuah buku tebal dari rak dan membuka-buka halamannnya, seolah mencari sesuatu.
Alvana menarik sebuah kursi. Dia duduk di kursi itu dan meletakkan buku yang dibukanya di atas meja. Dibukanya sebuah lembar yang akhirnya berisi apa yang ia cari. Alvana membacanya beberapa saat sampai di akhir halaman, setelah itu ia mendesah.
"Ini cara yang rumit, aku bahkan tak cukup mengerti bagaimana melakukannya," gumam Alvana mengeluh. "Lagipula pasti akan cukup lama untuk memahaminya, kita tak punya waktu sebanyak itu. Coba lihat, apa ada cara lain."
Alvana menyusuri teks tersebut. Ia membacanya untuk beberapa saat hingga bagian yang dibacanya selesai. Setelahnya, ia menerawang sejenak, sebelum akhirnya mengganti lagi ke halaman lain dan mengulang kegiatannya lagi seperti itu. Setelah beberapa kali mencari, akhirnya Alvana menemukan halaman yang tepat.
"Sebuah bunga sihir legendaris, Archyna Chryssan, tumbuh di tanah lembab bekas pengorbanan sihir hitam yang telah beratus tahun terjadi, darah pengorbanan dari sihir hitam terurai menjadi kekuatan sihir yang suci. Kekuatan sihir suci adalah kekuatan yang besar, ini akan sangat berguna. Ini pasti bisa!"
"Ah, kurasa aku tahu dimana harus mencarinya. Aku harap bunga itu ada di sana, aku harus segera mencarinya."
Alvana segera meraih mantel hitam yang terpajang dan mengenakannya. Ia pun meraih sebuah keranjang, siap untuk pergi keluar. Namun Alvana terhenti saat tangannya hendak membuka pintu dan keluar.
"Bagaimana kalau aku belum pulang setelah pagi?" gumam Alvana berpikir. "Aku tidak boleh membiarkan tamuku memasak di dapurku. Setidaknya, aku akan meninggalkan sarapan untuk mereka."
Alvana akhirnya berbalik mempersiapkan makanan. Setelah selesai, ia menulis catatan dan meninggalkannya di meja ruang tamu. Dan Alvana pun pergi keluar, menyusuri hutan ke arah tempat terlarang yang hanya dia yang tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Chance
Fantasi"Kau yakin begitu?" "Tentu." "Ta ... tapi ... mana mungkin?" "Sama sekali tidak mustahil untuk terjadi. Hanya kita yang belum tahu apa yang sebetulnya selama ini telah mereka sembunyikan. Kerajaan ini, tak mungkin diserang tiba-tiba, tanpa sebuah...