Perempuan itu Erika. Bukan dengan C, tapi dengan K. Mungkin sekilas membacanya, orang akan menganggap ia perempuan Jepang, seperti Erika Sawajiri, Erika Toda, atau Erika Karata. Namun, tentu saja bukan. Kulitnya tidak kuning langsat kemerah-merahan seperti mereka. Tidak juga bercahaya dan mulus, tapi cenderung berminyak. Orang akan kecewa saat tahu namanya Erika, tapi ia orang Asia hitam, bukan Asia putih kemerah-merahan.
Mungkin orang menyebutnya berparas ayu, sedikit manis, sawo matang siap petik. Tapi, dia tidak pernah merasa seperti itu. Dia lebih sering berpikir kalau kulit sawo matang berminyak dan cenderung bau asap knalpot seperti lebih pantas disebut kulit kernet Metromini. Oh ya, ada tambahan juga, matanya sering seperti panda. Lengkaplah sudah, macam kernet Metromini, doyan begadang dengan kopi bergelas-gelas sambil main judi di sudut-sudut gelap Terminal Senen.
Kalau ditanya usia, dia bilang dua puluhan, tepatnya dua puluh delapan. Namun, entah kenapa orang sering bergidik ngeri sambil mundur selangkah dua langkah. Setelah itu, mereka—khususnya para pria akan lari seribu langkah karena menganggap Erika sudah tiga puluhan. Padahal, masih dua tahun lagi dan itu kan lama. Usia tiga puluh memangnya semenakutkan itu apa?
Erika hampir tidak pernah punya beban hidup. Ia selalu santai, menerima pekerjaan dengan senang hati, bahkan mencuri pekerjaan teman yang keteteran karena bos gilanya. Semua sukses kantornya, tentu juga berkat kontribusi Erika. Tapi, entah kenapa selalu bosnya yang diingat. Bosnya juga yang masuk surat kabar. Biar begitu, Erika tidak pernah protes. Bisa dapat gaji besar dan cuti panjang setelah hari sebelumnya begadang lebih dari dua-tiga hari, sudah membahagiakan dirinya. Semua masalah apa saja bisa Erika selesaikan asal mood-nya baik.
Sebagaimana perempuan seusianya, Erika juga punya banyak mimpi-mimpi besar. Berkarir, sukses di usia muda, punya keluarga harmonis dan bahagia, hingga akhirnya ia bisa pensiun dengan melihat anak-anak yang dilahirkannya tumbuh besar mengikuti kesuksesannya. Namun, sebagaimana pula rencana manusia, Tuhan selalu ada di atasnya. Sukses satu hal, bisa jadi kegagalan untuk hal lain. Dan gagal satu itu, hanya karena hari-hari lajang Erika yang bagai kotoran mata di pandangan orang lain. Ingin segera dienyahkan, tapi lekat terus di ujung mata.
Bukan sekali dua kali, dunia kantornya yang sungguh timpang, membuat ia kerap kali berang. Ada beberapa orang yang serius menerima keberadaan tokoh seperti Erika dalam kehidupan kantor yang didominasi laki-laki. Tapi, ada juga yang seperti melihat kotoran kuping setiap melihat perempuan sukses. Ingin dienyahkan dan dicuci bersih dengan keran. Terlebih lagi—dan sekali lagi—karena dunia kesuksesan itu didominasi laki-laki. Sudah sexist, misoginis pula.
Tapi jelas bukan Erika namanya kalau gangguan seperti itu saja membuatnya mundur. Ia sudah kepalang bangga dengan semua hasil pekerjaannya. Maka inilah saatnya ia berkontribusi lebih. Banyak ide-ide di kepalanya yang muncul dan ingin ia kembangkan lagi di kantor. Erika bahkan tak lagi peduli kalau mulut-mulut makhluk misoginis di kantornya, mengatainya macam-macam. Ia sudah punya banyak tangan kanan dan kiri yang setia membantunya menghajar pria-pria macam teman kantor rumpinya.
Dan bukan Erika namanya kalau berhenti di situ saja. Kisah ini, ceracau ini, menjadi pembuka kisah Erika selanjutnya. Dunia yang Erika tak pernah tahu, bahwa hidup dengan berbagi, bisa menggandakan kebahagiaannya berjuta kali lipat. Dunia yang Erika tahu telah jauh darinya sebab bertahun-tahun ada di hutan belantara penuh tumpukan dokumen, tumpukan rancangan teknis, dan tumpukan berkas-berkas analisis atas pekerjaannya yang selalu diklaim bos besar hanya untuk mejeng di surat kabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not for IT Folks! | ✔ (TERBIT GPU)
ChickLit[COMPLETED] [Karya Pilihan @WattpadChicklitID: Reading List November 2021] Erika Pramudia: 28 tahun, DevOps Engineer, doyan lembur, malas punya hubungan cinta (apalagi dengan kolega kerja). Panca Pramana Putra: 31 tahun, Full Stack Engineer, sering...