23 - Bidadari Pagi

485 60 21
                                    

Pemandangan kota Jakarta agak berbeda. Gedung-gedung tinggi, megah, berwarna dominan perak terang. Futuristik. Banyak benda-benda terbang—seperti taksi, tapi bisa terbang. Sepertinya aku berada berpuluh-puluh tahun jauhnya dari tahun 2020.

Namun, tempat di mana aku berada, masih sama seperti hari-hari lalu. Di sisiku ada Erika. Dia mengenakan gaun panjang berwarna putih, dengan potongan dada yang rendah. Rambutnya tergerai panjang. Ia tersenyum manis. Manis sekali.

Ah, apa ini? Aku tidak boleh melihatnya terlalu serius! Dia terlalu mirip bidadari. Bisa-bisa aku tak lagi bisa mengontrol diri.

Aku mengedarkan pandangan ke arah lain. Aku merasa berdosa karena melihat Erika di Jakarta pagi yang futuristik ini. Namun, tiba-tiba saja, Erika memelukku dari belakang. Jantungku berdegup kencang. Aku harus tahan diri. Harus!

"Ca... Panca. Lihat sini," bisik Erika di telingaku.

Pikiranku mengawang-awang. Aku berbalik dan kudapati Erika memandangiku dengan matanya yang membulat penuh harap. Dia hanya setinggi daguku, sehingga ia perlu mendongak hanya untuk memandangku.

Hanya hening yang ada di antara kami, selain degup jantungku yang mulai semakin tak beraturan.

"Aku harus pergi, Erika."

Namun, Erika hanya memandangiku. Ia menahanku pergi. Ditanggalkannya gaun putih itu dan ia mendekat padaku. Ia menarik wajahku pada wajahnya hingga aku terperanjat.

Nyaris saja Erika mengecup bibirku, jika saja atap gedung tempat kami berada ini tak terkena gempa bumi. Getarannya begitu dahsyat, sampai aku nyaris terlempar.

"Panca! Panca!" seru seorang wanita.

***

"Ca! Panca! Bangun, sudah jam tujuh nih!"

Panca langsung melotot. Gelagapan. Dia tengok arah suara, rupanya Tante Irma. "Kaget aku, Tan!"

"Kamu dibangunin kok susah banget. Sana ke dapur, bantu Erika dulu. Tante mau ke warung," lanjut Tante lagi.

Panca baru sepenuhnya sadar. Sejak tadi dia tak bisa bangun karena bermimpi. Setelah tante pergi, dia cek sekitar tempat dia tidur. Untunglah. Panca tak mimpi basah. Nyaris, tapi tidak.

Setelah membereskan tempat tidurnya di karpet, Panca bergegas cuci muka dan langsung mandi pagi dengan kilat. Dia tidak mau ada sisa-sisa pikiran kotor yang melekat di tubuh. Setelah merasa segar, Panca langsung menuju dapur.

Di sana, Bidadari Pagi sudah berdiri. Rambutnya dikuncir kuda. Ia memakai celemek dan sedang memotong entah apa.

"Ini gue bikin camilan pagi buat Ibu. Beliau lagi di depan," sapa Erika saat Panca bersandar di pintu dapur.

"Oh, Ibu sudah bangun?"

"Sudah. Tadi nyariin kamu," balas Erika lagi sambil tersenyum. Walau tak bisa melihat wajahnya dari dekat, Panca bisa menangkap nada senang dari jawaban Erika.

Lalu, Panca menuju beranda sebentar, di mana Ibu biasa menghabiskan waktu pagi dengan duduk dan memandangi kebun. Panca melihat Ibu tersenyum saat dirinya baru keluar pintu.

Diciumnya punggung tangan Ibu dan ia kemudian jongkok di sisi kursi yang Ibu duduki. "Pagi, Ibu."

"Pagi, Nak. Tadi Ibu mengobrol sama istrimu. Ibu senang," balas Ibu lagi.

Panca tentu saja terkejut. "Lho? Istri yang mana? Panca kan nggak punya istri," balas Panca sambil tersenyum pada Ibu.

Ibu terkikik geli, sambil menutup tangannya. Beliau sepertinya senang sama Erika. Walau Ibu kadang tak ingat apa-apa, beliau tak pernah bohong dan perasaannya adalah yang paling jujur.

Di sisi lain, Panca juga merasa senang. Apa jadinya ya kalau setiap pagi Erika menyambutnya seperti ini?

Dia jadi ingat mimpi tadi pagi. Apa jadinya ya kalau Tante tak membangunkan Panca?

***

"Kamu mau camilannya juga? Masih ada di piring ini, gue tutup tudung saji," jelas Erika sambil melepas celemek dan menggantungkannya di gantungan dekat lemari dapur.

"Kamu mau balik?"

"Iya. Baju-baju kan ada di Kalibata. Nggak mungkin dong ke kantor pakai baju tidur gini. Cuma mungkin gue ke kantor agak siang deh, mau mengurus soal apartemen yang kebobolan dulu, setelah itu baru ngantor."

"Mau gue antar pulang?"

"Nggak usah, Ca. Nggak apa-apa kok beneran. Hari ini kan ada rapat buat update soal integrasi sistem WANG, kalau kamu sebagai developer inti nggak datang, nanti bisa-bisa dimarahi Lando."

Panca tidak ingin memaksa Erika, jadi saat Tante Irma kembali dari warung dan Erika pamit, dia hanya mengantar Erika sampai gerbang.

"Panca, makasih banyak udah boleh numpang bermalam. It means a lot. Gue utang deh kalau gitu. Lain waktu, mungkin bisa gue traktir kopi?"

"Nggak usah, Ka. Gue sudah senang kok bisa membantu. Hati-hati di jalan ya, dan semoga urusannya segera beres," jawab Panca lagi.

Erika lalu menyodorkan tangan untuk bersalaman. Dengan segera, Panca menjabat tangannya. Erika pun berlalu, menuju stasiun kereta.

Beberapa langkah sebelum Erika berbelok dan menghilang dari pandangan, Panca memutuskan untuk mengejar gadis itu.

Panca berteriak, memanggil nama gadis itu, "Erika!"

Bidadari itu berhenti. Panca segera menghampirinya.

"Ada apa, Ca?"

"Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi gue. Berapa nomor handphone kamu, biar gue misscall," kata Panca cepat.

"Nomor gue?" Erika agak terkejut, sekaligus malu-malu tapi senang. Dia langsung memberitahukan nomor ponselnya. Panca pun menelepon nomor itu dan Erika tersenyum. Pipinya yang merona di pagi hari, membuat jantung Panca berdegup kencang sekali.

"Wah, provider seluler kita sama. Bisa telepon-teleponan gratis dong," canda Erika, bidadari pagi.

Panca tak ingin melepasnya. Panca benar-benar ingin bersama bidadari itu. Namun, dia tak bisa berkata-kata romantis yang mungkin membuat perempuan senang mendengarnya. Jadi, dia hanya bisa berkata, "Mengenai utang tadi, apa kamu bisa bayar dengan temani gue menonton event musik?"

"Apa itu?"

"Kamu suka band The Adams?"

Erika melotot dan tentu saja tersenyum lebar. "Suka! Suka banget."

"Kalau gitu, hari Sabtu jam dua siang. Ketemu di Stasiun Pasar Minggu?"

"Oke!" Erika pamit, dan berjalan menuju stasiun. Wajahnya bersemu merah, dia pasti bisa mati karena malu kalau tadi Panca sempat melihatnya.

Dan hanya itu saja yang Panca lakukan. Lelaki yang hidup lurus itu tak berani mengungkapkan rasa suka pada Erika, karena ia takut membuat gadis itu kecewa. Dia hanya bisa mengajaknya nonton band, lalu masing-masing dari mereka, pulang ke rumah. Dia sudah cukup bahagia bisa membingkai momen-momen kecil dengan Erika, mulai saat ini.

Panca Pramana Putra yang dikenal anti sosial dan pendiam, mulai membuka diri. Demi sang bidadari pagi.

Not for IT Folks! | ✔ (TERBIT GPU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang