Di kereta rel listrik pagi itu, seorang gadis bersandar dekat pintu sebelah kanan arah kereta melaju. Ia mengenakan kemeja hitam dan celana jins warna biru tua. Di kanan dan kiri telinga, terpasang earphone tanpa kabel. Matanya melirik berkali-kali sambil tersenyum, sebab di dekat pintu keluar yang satunya—sebelah kiri arah kereta melaju—seorang kenalannya dari start up "sebelah" tengah memandangi si gadis. Mulutnya komat-kamit, entah bicara apa. Sejak social gathering para pekerja Teknologi Informasi (IT) yang dia datangi ketika tahun baru, kenalannya sudah sering menghubungi. Orangnya cukup humoris dan suka bercanda. Ya, tapi hanya sebatas itu saja. Bagi gadis muda yang rambutnya panjang dan suka dikuncir kuda itu, hidup rasanya sudah terlalu rumit jika harus ditambah lagi dengan cinta monyet.
Namun, kalau kenalannya yang mirip Rivers Cuomo dari band Weezer itu tidak dipedulikan, nanti penumpang lain malah jadi curiga. Bagaimana kalau sampai ada yang menganggap Dion—nama lelaki itu—orang mesum di dalam kereta? Karirnya sebagai full stack engineer atau pengembang aplikasi di salah satu start up IT bisa rusak karena dikeroyok massa. Akhirnya, si gadis berkuncir kuda yang bernama Erika, membuka earphone dan membalas Dion dengan senyum.
Kereta yang keduanya tumpangi, telah sampai di Stasiun Manggarai. Dion lalu berjalan melawan arah orang-orang yang hendak keluar. Lelaki berkacamata itu lantas menghampiri Erika.
"Aduh, minggir dong, Mas!" seru seorang perempuan pekerja berwajah lelah. Tangan kanannya menyandang tas kerja dan tangan kirinya memegangi paper bag—mungkin isi makan siang dan air minum.
"Jangan ngalangin dong. Minggir, Mas!" seru penumpang lainnya.
Dan beberapa orang lain yang hendak turun memaki-maki Dion sampai cowok berkemeja flannel itu menunduk hormat berkali-kali. Setelah bersusah payah, akhirnya ia sampai juga di hadapan Erika.
"Kamu maksa sih. Padahal bisa nunggu orang-orang pada turun dulu kan?" sapa Erika.
"Takut susah turun kalau nggak pindah sekarang. Habis ini kan Stasiun Sudirman. Nanti banyak orang yang naik dari sini, terus aku malah susah ke pintu ini," balasnya sembari menunjuk pintu yang sejak tadi disandari Erika.
Kemudian, Dion melepaskan earphone untuk berbicara dengan leluasa. Sejenak, suara musik langsung terdengar, walau tak terlalu keras. Rupanya, Dion cukup hobi menjadi tuli. Volume musiknya saja sekeras itu di sini, apalagi kalau earphone-nya dia pasang di telinga?
"Gila kamu. Nanti budeg lho!" seru Erika sambil tersenyum. Ada lesung pipi yang membuat gadis itu semakin imut. Bibirnya yang tersaput lipstik tipis warna merah muda, menambah manis senyum Erika.
Walau beda bidang, kantor Erika dan Dion sering bekerja sama karena kebutuhan pemasaran saat ini juga didukung oleh distribusi produk. Kebetulan Dion bekerja di perusahaan distribusi itu. Selain karena social gathering yang sering diadakan sebulan sekali oleh IT Worker Union (ITWU), mereka memang sudah cukup sering berkomunikasi walau hanya sebatas pekerjaan. Tapi, Erika tidak pernah punya alasan lebih personal saat mengobrol dengan Dion.
"Jadi, kuartal pertama di tahun ini, JajanYuk udah mulai bakal pasang fitur sama beberapa fintech ya?" tanya Dion pada Erika saat kereta sudah melaju kembali dari Manggarai dan telah diisi kembali oleh pekerja yang transit dari berbagai KRL lain seperti dari Bekasi, Jatinegara, Cikarang, dan lainnya.
Erika mengangguk pelan, lalu hanya menjawab pelan sembari mengecilkan volume musik dari ponsel. "Iya nih. Soalnya ini fitur integrasi yang pertama. Kami di JajanYuk harus kerja ekstra keras kayaknya."
Fintech yang dimaksud Dion adalah sebutan teknologi gerbang pembayaran yang telah diakui oleh OJK dan sudah beroperasi secara fungsional serta legal. Saat ini, banyak orang telah menggunakannya. Hanya tinggal pindai kode QR dari ponsel, atau metode masukkan nomor ponsel, dan jumlah yang harus dibayar akan muncul di aplikasi ponsel. Tinggal tap-tap, masukkan PIN, dan uang pun akan terpotong dari rekening fintech milik si pengguna. Nah, seperti itulah tren pembayaran yang saat ini sedang menjamur di Indonesia. Erika jadi sedikit nostalgia. Dia memang pernah bekerja di salah satu start up seperti itu, walau hanya empat bulan karena tak kuat dengan ritme kerjanya yang gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not for IT Folks! | ✔ (TERBIT GPU)
ChickLit[COMPLETED] [Karya Pilihan @WattpadChicklitID: Reading List November 2021] Erika Pramudia: 28 tahun, DevOps Engineer, doyan lembur, malas punya hubungan cinta (apalagi dengan kolega kerja). Panca Pramana Putra: 31 tahun, Full Stack Engineer, sering...