12 - Nona Erika

515 71 8
                                    

Sembari menunggu kemacetan terurai, Panca mendengarkan Butiran Angin dengan tenang. Sesekali dia memandangi spion tengah. Sesekali ia mencuri pandang pada senyum Erika yang manis. Panca ikut melamun bersama lagu dan senyum Nona Erika. Hanya beberapa saat mengantar Erika di mobil, dengan kondisi teman Erika yang lelap tertidur, bisa membuat Erika tenang. Walau kecewa, tapi Panca jelas harus berpisah dengan gadis bersenyum manis itu, karena mereka telah sampai di Kalibata City.

"Makasih ya, Panca," ujar Erika, lalu menyodorkan telapak tangannya.

"Ah... Tangan gue, kotor banget," ujar Panca sambil memandang telapak tangan dan juga kukunya yang penuh debu. Dia malu menjabat Erika, tapi gadis itu menarik tangannya.

Izza mengucap terima kasih juga, kemudian diam seribu bahasa sampai Panca menghilang dari lobi.

Lalu, Erika dan Izza masuk ke apartemen sementara Panca kembali ke parkiran. Panca tidak jadi mengantar hanya sampai u-turn tapi malah sampai lobi Kalibata City.

***

Sesampainya di rumah, Panca mengecek kondisi ibunya, lalu pergi mandi. Setelah selesai mandi, ia menggosok rambutnya yang agak panjang dengan sehelai handuk. Ibunya sudah lelap tertidur dan Mbok Juminem beristirahat. Panca pun membuka tutup gelas kopinya. Disulutnya rokok perlahan untuk ia nikmati sendiri dalam keheningan. Diputarnya lagi Butiran Angin dari ponsel. Ia nikmati setiap alunannya.

"Tuhan, kenapa masih ada perempuan seperti Erika? Kenapa ada orang di Jakarta ini, yang peduli pada ibu-ibu tua dan hilang arah," pikir Panca. Sebatang rokok pertama diisapnya. Kopi hitam pun disesapnya. Ia kembali mengembuskan asap perlahan dan bersandar nyaman di kursi beranda rumah peninggalan almarhum ayahnya. Rumah itulah yang Panca dan ibunya tinggali berdua selama ini sejak SMP. Sebagai anak satu-satunya yang pernah jadi berandal, Panca kini menjadi pengganti ayahnya, menjadi kepala keluarga.

Burung malam melintas. Suara cicitnya menambah suasana malam hening. Suara kendaraan yang berada jauh, terdengar bersahutan. Sepertinya, kemacetan di depan Kota Kasablanka masih panjang. Para pekerja Jakarta, banyak yang baru pulang.

Panca pun menyeruput kopi, lalu berpikir lagi. Dia tersenyum sendiri. Potongan kumis dan janggutnya yang tak rapi, turut menghiasi senyum Panca. Dalam khidmat kopi, musik, dan sebatang rokok, Panca kembali berpikir, "Tuhan, dia tidak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah kutemui. Yang dengan terang-terangan mengatakan ibuku gila, padahal hanya kondisi alzheimer. Aku bisa apa? Aku sebagai anak ibu satu-satunya... Hanya aku yang bisa menemani ibu dan berbuat semampuku. Tapi... Setelah aku mendapati gadis itu menemani ibuku, rasanya hatiku jadi hangat. Perasaan apa ini, Tuhan..."

Entah apa yang terjadi pada kekeringan hati Panca. Dia terus tersenyum tipis. Beberapa bulir air mata hendak meluncur dari ujung matanya dengan bola mata barwarna cokelat terang. Apakah lelaki bisa dramatis dan melankolis seperti ini? Seperti sosok Iwan Fals yang menyanyikan lagu-lagu cinta tulus, Panca seperti itu.

Panca sungguh ingin menarik kata-kata yang sering dilontarkannya. Ia memang pernah mengaku bahwa dia tak mendamba apa pun. Ia sering punya hubungan dengan perempuan, tapi selalu kandas karena mantan pacar-pacarnya itu selalu tak menerima kondisi ibunya. Panca bisa apa kalau itu terjadi karena penyakit? Akhirnya, Panca mendeklarasikan diri hanya untuk pekerjaan yang menyibukkan dan menikah dengan diri sendiri. Ya. Persis sama seperti gadis manis bernama Erika.

Panca tak butuh apa-apa lagi, selain hanya uang dan gajian untuk menghidupi dia dan ibunya—satu-satunya keluarga yang ia punya. Namun, Panca ingin menarik kata-katanya dan kembali jujur kepada Tuhan sekali lagi.

Jika boleh sekali saja mendambakan sesuatu dengan sangat memaksa, jika memang Tuhan mengizinkan Panca untuk sekali saja menginginkan suatu hal dalam hidup, Panca ingin meneriakkan hal itu sekali saja.

"Tuhan, jika masih ada kesempatan bagiku untuk mendamba, maka, oh Tuhan, izinkan lah aku mendambanya. Nona Erika. Kabulkanlah, Tuhanku. Aku tak pernah ingin apa-apa lagi," ungkap Panca sembari menatap bulan yang terang dan asap rokok mengepul di antaranya.

Ia matikan rokok dan ia hancurkan rokok itu dalam asbak. Setelah itu ia buang bungkus rokok di meja yang masih tersisa beberapa batang lagi. Panca yang mantan pemain band, mantan berandal dan punya tindik kanan-kiri, berhenti merokok total. Dia ingin terlahir baru.

Not for IT Folks! | ✔ (TERBIT GPU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang