Kecelakaan

30 3 8
                                    

"Harus sekarang banget, Pa? Aku habis ini ada acara OSIS"

"Ya, cepet anter ke kantor Papa sekarang!"

"Hmm yaudah, Aku ke ka---"

Tut tut tut---

Salman memutar bola matanya jengah. Belum sempat Ia menyelesaikan kalimatnya, seseorang diseberang sana sudah mematikan telfon dengan sepihak. Dengan terpaksa Ia harus melakukan kemauan dari orang itu. Sudah menjadi hal biasa jika Ayahnya melupakan barang-barang pentingnya. Seperti yang terjadi saat ini, dokumen penting yang harus ditanda tangani oleh kliennya saat meeting nanti siang tertinggal di rumah. Dan siapa lagi jika bukan Salman yang harus mengantarkannya, Ia juga tidak bisa membantah kemauan dari Ayahnya itu.

"Halo?"

"Woi, lo dimana? Ini udah hampir mulai latihannya, lo ga lupa kan? Ini anak-anak yang lain udah pada nyariin lo."

"Gue belom ngomong apa-apa loh ini, lo main terobos aja"

"Hehe... Lo dimana, Man?"

"Gue izin telat ada urusan sama bokap, tolong lo handle dulu ya bro"

Tut tut tut---

Tanpa menunggu lawannya berkomentar, Salman segera mematikan telfonnya. Jika tidak, ia harus mendengarkan beragam macam omelan yang dilontarkan oleh Iqbal. Sebagai wakil ketua OSIS, tentunya Salman dapat memercayai Iqbal, apalagi hanya urusan seperti ini. Bisalah.

Tanpa membuang waktu lebih lama, Salman segera menyiapkan dokumen yang Ayahnya minta dan bergegas menuju mobil kesayangannya.

Setelah Salman pergi, keadaan rumah megah itu kembali sepi. Hanya ada lima pembantu yang bekerja disana termasuk satpam di bagian depan. Ya, Salman adalah anak tunggal dari keluarga yang kaya raya. Ia tidak pernah merasa kekurangan apapun dalam hidupnya. Ayahnya sosok pekerja keras, Ibunya juga tak kalah kerasnya dalam bekerja. Kedua orang tuanya memang sibuk bergelut di dunia mereka, bahkan sampai seperti lupa anak sendiri. Tapi Salman yakin mereka melakukan itu demi kebahagiaannya, demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena itu, Salman tidak ingin mengecewakan mereka, Ia melakukan apapun demi membuat orang tuanya bangga, seperti saat menjadi Ketua OSIS seperti sekarang. Sejauh yang Salman tahu, kedua orang tuanya adalah sosok yang saling mencintai satu sama lain. Mereka selalu bersama dalam keadaan apapun. Suatu saat nanti, Salman ingin memiliki pendamping hidup yang mencintainya, seperti cinta Ibunya pada Ayahnya, pun sebaliknya.






*****
120 km/jam.

Jalanan cukup sepi untuk melakukan hal gila seperti yang dilakukan Salman sekarang. Setelah dari kantor Ayahnya, Salman berupaya mengejar waktu yang tersisa untuk pergi latihan bersama teman-temannya. Ia tidak ingin ada persiapan yang terlewat sedikitpun, mengingat tenggat pelaksanaan lomba drama yang sudah di depan mata. Ia harus memastikan bahwa persiapan untuk lomba itu sudah benar-benar matang. Harus perfeksionis. Seharusnya sih, Ia tidak perlu khawatir, mengingat saat latihan kemarin semua temannya sudah sangat bagus memerankan tokoh-tokoh di dramanya, meski sementara tanpa kehadiran sosok si Penyihir.

Drtttt drtttt drttt...

Handphone Salman berdering. Ia berusaha mengambil handphone miliknya di saku celana yang lumayan ketat itu. Fokusnya teralihkan pada sebuah benda berukuran persegi panjang berwarna silver dengan layar bertuliskan nama "Iqbal".

"Iya tunggu, bentar lagi gue --------"

CRIIIITTTTTTT

Benda yang beberapa detik lalu digenggamnya kini terlempar. Salman membelalak kaget. Jantungnya 10 kali berdetak lebih cepat, nafasnya memburu naik turun. Untung saja, jika Ia tidak sigap meginjak rem. Ia tidak bisa membayangkan nasib dari seseorang yang hampir Ia tabrak saat ini. Eh bukan hampir, sudah sedikit diseruduk oleh moncong mobilnya.

"SIAL" Batinnya.

Ia bergegas keluar dari mobil. Terlihat seorang perempuan yang tengah terduduk sambil memegangi lututnya yang berdarah.

"Sorry, gue gak sengaja,"

".........."

"Lo gak papa?"

"Lo bisa nyetir gak sih?"

DEG. Mata Salman tak percaya melihat sosok didepannya saat ini. Hampir saja Ia membuat calon "Si Penyihir" di pelengkap dramanya celaka.

"Adindara? Mm, lo gak papa?"

"Kalo gak bisa nyetir, gak usah sok-sok an pake mobil," Jawab Ara ketus. Ia berusaha bangkit dari posisinya.

"Biar gue bantu,"

Ara membiarkan Salman membantunya berdiri. Sesaat ia meringis. Kaki dan lututnya terasa perih terkena goresan aspal dan sedikit benturan dari mobil sialan itu.

"Duduk sini bentar, gue mau ambil P3K" Ucap Salman.

Tak lama, Salman kembali membawa kotak berisi P3K dan mengobati luka di lutut Ara dengan telaten.

"Arrgh pelan-pelan dong. Sakit,"

"Tahan bentar,"

Sebenarnya Ara cukup risih dengan perlakuan cowok didepannya ini. Selama ini, Ia tidak pernah mengizinkan ada cowok yang menyentuhnya bahkan dengan jarak sedekat ini. Tapi saat ini berbeda, Ia merasa seperti ada yang melindunginya. Tanpa Ia sadari, Ia tersenyum singkat.

"Udah selesai," ucap Salman membuyarkan pandangat Ara.

"Thanks," balas Ara singkat.

"Memangnya lo mau kemana?"

"Kerja kelompok KWU,"

"Oh yang tugas buat baju itu ya?"

"Hm,"

"Biar gue anter," ucap Salman menawarkan diri.

"Hah?"

"Lo kerja kelompok dimana? Biar gue anter kesana. Kaki lo pasti masih sakit. Atau, lo mau gue anter pulang aja?"

"Iya,"

"Hah?"

"Apa?"

"Jadi, lo mau gue anter ke tempat lo kerja kelompok atau mau gue anter pulang?"

"Anter gue pulang aja,"

"Hmm oke,"

Salman mengernyitkan dahinya. Baru kali ini Ia dihadapkan dengan cewek dingin seperti Ara. Jika dipikir-pikir, Ara memang pilihan yang tepat untuk menggantikan tokoh Si Penyihir. Sangat pas dengan wajahnya. Judes dan menyeramkan. Tapi disisi lain cantik.



*****

Mobil yang dikendarai oleh Salman dan Ara kini masuk ke sebuah perumahan. Salman meminggirkan mobilnya sesuai dengan instruksi Ara. Tepat di samping kiri mobil itu, terdapat sebuah rumah minimalis bernuansa putih abu-abu. Kemudian Ara langsung keluar dari mobil tanpa memberikan sepatah dua patah kata pada Salman yang kini sedang menatapnya bingung.

"Gak mau ngucapin makasih nih?!" Ucap Salman sedikit berteriak agar suaranya terdengar oleh Ara yang mulai menjauh. Ara yang tertatih-tatih menoleh sejenak ke sumber suara dengan tatapan datarnya. Kemudian melanjutkan langkahnya tanpa berminat membalas pertanyaan basa-basi cowok sialan itu.

"Tuh cewek ada masalah apa sih sebenernya?" Batin Salman dengan mata masih memerhatikan seseorang yang dimaksud. Salman menghembuskan nafas beratnya. Benar-benar cewek aneh. Ditengah pikirannya tentang Ara, Ia menyadari ada sesuatu yang sepertinya..........

DEG.

"ASTAGA!! Latihan gue!"

*****

Bersambung...

Halo gimana nih kabarnya?
Kira-kira gimana ya antara Salman dan Ara kedepannya?
Sabar...
Pantengin terus yaa❤️

Akhir yang SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang