Chapter 5 : Seorang Gadis

25 5 0
                                    

Sesampainya aku di rumah sakit, tim medis membawa kakek itu kedalam ruangan darurat. Aku menunggu di lobby rumah sakit, tentu aku tidak bisa meninggalkan kakek itu disini. 

"Apa tuan yang mengenal kakek tadi?", seorang suster bertanya kepadaku. Wajar saja karena dirikulah yang membawa kakek itu ke rumah sakit ini. 

"Tidak...aku tidak mengenal kakek itu, aku hanya membawanya kesini." Jawab diriku.

Malam itu karena keluarga sang kakek tidak kunjung datang, akulah yang harus membayar tagihan rumah sakit itu untuk biaya pengobatan sang kakek. Jika tidak dibayar maka sang kakek mungkin tidak akan mendapatkan penolongan medis. Salahku membawanya ke rumah sakit, bukan ke klinik/puskesmas. Tapi mau bagaimana lagi, hanya rumah sakit inilah yang terdekat.

Karena tidak ada BPJS, uang hasil panenku habis dalam satu malam. Setelah dipikir-pikir,aku rela membuang uangku untuk menyelamatkan satu nyawa dari pada membuangnya untuk berpesta di bar,meminum bir dan memakan daging. Batinku.

Sekitar satu jam aku menunggu, akhirnya datang kabar dari seorang suster bahwa sang kakek sudah sadar. Setelahnya aku diperbolehkan masuk untuk melihat kondisinya. Kami mengobrol, kakek itu mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pendeta di Evenheim, karena dirasa pekerjaannya sudah selesai hari itu, akhirnya sang kakek memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Tapi disaat dijalan, kakek itu pingsan karena penyakit jantung yang dideritanya. Jika aku tidak menolongnya, mungkin kakek itu sudah tidak dapat tertolong.

Setelah mendengar bahwa akulah yang membayar biaya pengobatan rumah sakit, sang kakek sangat berterima kasih dan merasa sangat berhutang budi kepada padaku. Keesokan harinya, aku dan sang kakek pergi meninggalkan rumah sakit, lalu kakek mengajakku ke rumahnya sebagai ucapan terima kasih.

Kami pergi menuju rumah sang kakek menggunakan kereta kuda. Dari kejauhan aku melihat rumah yang sangat mewah, dikelilingi oleh kebun anggur dan sungai yang mengalir di seberangnya. Tak disangka itu adalah tempat tinggal sang kakek. Kami memasuki rumah tersebut. Kurasa ini bukan rumah. Ini Mansion. Singkat cerita sang kakek memintaku untuk makan siang bersama. 

Jika aku menolak, mungkin sang kakek akan terus memaksaku. Jadi aku terima saja hehe. 

Di ruang makan yang cukup besar, aku duduk dikursi yang sedikit diujung. Siapa sebenarnya kakek ini? tidak mungkin hanya seorang pendeta, tanya batinku. Sang kakek berjalan kearah ruang makan, dibelakangnya terlihat seorang gadis dengan rambut berwarna platinum, mata berwarna biru cerah dengan wajah yang sangat cantik. Kakek dan gadis itu kemudian duduk bersama denganku di meja makan. Kakek mengatakan bahwa gadis itu adalah cucunya.

"Namaku Airisviel Camelot..panggil saja Airis." Ucap gadis itu memperkenalkan diri. 

"Asca von Zuberg." Aku memperkenalkan diri. Sial, aku gugup. Mengapa ada seorang gadis secantik itu di tempat terpencil seperti ini. 

Ketika sang kakek menceritakan kepada Airis bahwa akulah yang menyelamatkan nyawa kakeknya, Airis terkejut dan kemudian berterima kasih padaku. Kemudian kami makan makanan yang nampak lezat di meja makan.

Setelah makan siang selesai, aku, kakek, dan Airis duduk di bangku taman belakang. Disitu kakek mengatakan bahwa diriku boleh menginap disini selama beberapa hari dan meninggalkan pekerjaannya sementara. Hitung-hitung untuk membalas budi, kata sang kakek. Aku mengatakan bahwa aku akan memikirkan itu. Kemudian sang kakek pergi masuk kedalam rumah dan meminta Airis untuk mengobrol denganku. 

Ya ampun.

Sembari mengobrol berdua, Airis memotong buah apel yang dipegangnya. Airis mengatakan bahwa dirinya hanya tinggal berdua dengan sang kakek, jadi Airis sangat berterima kasih kepadaku karena telah menyelamatkan keluarganya. Tidak lama setelah itu, pisau yang Airis gunakan untuk memotong apel tidak sengaja menggores jari telunjuknya. 

EssentialsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang