Prolog

266 22 2
                                    

Dengan tangan dan kakinya yang terikat di kursi yang di dudukinya, ia tak bisa-bisa apa. Apalagi dengan kain yang memenuhi mulutnya, membuatnya merasa sesak. Tapi, dia hanya bisa pasrah, dengan ditemani kegelapan dan juga suara hujan berpetir yang semakin membuatnya merasa takut.

Tiba-tiba saja ada suara pintu terbuka yang membuatnya terkejut dan semakin takut, tapi, begitu ia melihat bahwa sang Bunda yang berada dibalik pintu, membuatnya lega dan senang.

Bunda menghampiri gadis kecil kesayangannya dengan wajah khawatir yang sangat kentara di wajahnya.

"Are you okay, sweety? Bunda minta maaf yaa, apa Bunda terlambat? Now, take a breath, Bunda ada disini. Bunda juga sudah memberitahu Ayah. Kita akan selamat kok. Pasti! Bunda ambil ini ya, sakit gak?(mengambil kain di mulut Rachel dengan sangat hati-hati)" –Bunda

Dengan pelan-pelan, Bunda mengambil kain dimulut Rachel, lalu melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki Rachel.

Kedua nya begitu fokus untuk melepaskan ikatan Rachel, hingga keduanya tak menyadari kehadiran seseorang lagi dalam ruang itu.

Dor!!
Dor!!

Dua tembakan itu, tepat mengenai kepala bagian belakang Bunda yang membuatnya membelalakkan mata terkejut dan langsung tak bisa berbuat apa-apa.

"BUNDAAA!!!"

Jerit Rachel, terbangun dengan keringat yang bercucuran dari kening dan lehernya.

Mimpi itu, LAGI.

Rachel langsung memeluk lututnya, ketakutan dan bergeser ke arah pojok ranjang kasurnya sambil menangis.

"Bun, jangan hukum Ara kaya ginii.. Ara gak bisa. Merindukan Bunda ajah itu udah hal yang paling susah untuk Ara. Ara kangen sama bunda, Ara takut. Dulu, Ara punya bunda buat nguatin Ara. Sekarang Ara gak tau apa yang bisa buat Ara bertahan kuat sampe sekarang, selain dengan mengingat bunda. Cuma bunda yang Ara jadiin panutan. Please, jangan hantuin Ara dengan rasa ini.. karena Ara belum tau cara untuk bertahan dari rasa ini dari bunda. Selama ini Ara bisa bertahan dengan semua masalah Ara itu pelajaran dari bunda. Tapi, untuk ini Ara harus belajar dari mana? Ara gak tau, Ara gak bisa. Bunda udah gak ada, bunda pergi, bunda belum ada ngajarin Ara bertahan, untuk bertahan dari kehilangan. Bisa-bisanya bunda pergi tanpa ngajarin Ara untuk bertahan dari rasa inii.. hiks.. Araa..aa butuh bunda."

"Ara minta maaf.. harusnya Ara dari dulu nurut sama Bunda. Ara nyesel udah ikutin orang gak di kenal itu. Harusnya Ara yang matt—

"Araa!!" Panggil Royce dari pintu penghubung antar kamar keduanya.

Royce berjalan cepat ke arah adiknya. Royce menarik Rachel dari pojok kasurnya, langsung memeluk sambil mengusapkan tangan besarnya di belakang punggung adik kesayangannya.

Awalnya Rachel tetap menangis tanpa suara di pelukan Royce. Lama kelamaan, tangisan Rachel semakin keras dan bersuara. Lalu Rachel membalas pelukan Royce dengan kencang, seolah dia tak kan bisa kembali memeluk Royce besok.

Royce hanya terdiam. Dia tak berani berucap apapun saat ini. Karena dia tahu, Rachel hanya butuh sedikit ketenangan. Dia hanya mencoba menenangkan Rachel dengan pelukan hangatnya. Dia akan berbicara, ketika Rachel sudah berbicara nanti. Dia sudah biasa dengan keadaan ini. Apalagi jika sudah mendekati bulan kelahirannya, yang juga menjadi tanggal kematian sosok kesayangan yang sudah lama pergi dengan meninggalkan banyak trauma bagi adiknya.

"Abaang.." panggil Rachel dengan suara khas orang habis menangis.

"Aku mimpi in itu lagi.. huhuhuuu.. hiks hiks.. suara tembakan itu keras banget.. aku takut, bang." Tangis Rachel semakin keras dalam pelukan sang kakak.

Royce masih belum bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya mengusap kepala adiknya bermaksud menenangkan.

Perlahan, Rachel mengangkat kepalanya, menatap Royce dengan air mata yang masih berjatuhan sedikit demi sedikit.

"Hiks.. bang.. hiks.."

"Hmm?"

"Ayah mana?" Tanya Rachel.

"Ayah? Di kamar nya. Napa?"

"Nggak, abang gak tidur?"

"Lagi ngerjain tugas ajah. Terus kedengaran suara kamu nangis." Jawab Royce yang tak sepenuhnya bohong. Sebenarnya, dia tengah tertidur di meja belajarnya saat tengah belajar, mungkin karena hubungan batin, Royce tiba-tiba terbangun dan mendengar suara tangisan Rachel.

"Are you lieing?" Sinis Rachel curiga (kamu bohong ya?)

"Sejak kapan juga abang pinter boong ama Ara." Jawab Royce santai.

"Udah berhenti nih nangis nya?" Tanya Royce dengan wajah menyebalkan.

"Maunya sih lanjut, tapi ada abang, malu-maluin diri namanya. Pergi gih." Usir Rachel sambil mengibaskan tangannya dan melepaskan pelukannya.

"Dih, ngusir? Gak tau diri amat buset. Udah di temenin juga. Apus dulu tuh air mata. Sini abang apusin." Royce mengusap wajah Rachel dengan kaus yang dipakainya. Lalu memeluk jahil adik yang ada dalam kurungannya.

"Abaaanggg!! Asem iiihh kaosnyaaa!! Kotor nanti muka Araa.. mahal tauu muka nya Araaa.." teriak Rachel dalam kungkungan kakaknya, mencoba melepaskan diri.

"Ssttt.. udah malem, gue ingetin yaa kalo lu lupa!" Royce menghentian teriakan Rachel dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir kecil sang adik.

Rachel yang terdiam, mengerucutkan mulutnya kesal menatap sang kakak. Sedangkan Royce hanya tertawa tanpa suara menahan gemas terhadap adik kesayangannya.

"Udah udah, cini abang peyuk." Makasih udah bertahan, maafin abang yang belum bisa ngertiin Ara. Abang belum jadi kakak yang baik. Walau abang tahu, Ara bertahan bukan bertahan karena abang, abang harap Ara bisa tetap bertahan dengan apapun yang udah terjadi. Abang harap, Ara bisa nemuin hal lain yang bisa buat Ara bisa jauh lebih kuat lagi. Aaminn..

*Pengen banget gak sih punya abang modelan babang Royce.. yang keliatannya jahil, ngeselin, tukang marah-marah, tapi di balik itu dia ngelindungin kita dengan tameng transparannya.*

Mohon maaf bila ada typo atau sebagainya. Tolong jangan lupa tekan bintang dan juga komentar yaa. And Thank you for reading..

NEXT?

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang