Angan

559 16 9
                                    

Penulis: sarinirmalaa
Genre: Young Adult

Apa yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kata 25 tahun? Hidup yang mapan? Seperti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kata 25 tahun? Hidup yang mapan? Seperti ... punya pekerjaan tetap, keuangan stabil, punya rumah, punya mobil, atau bahkan menikah dan punya anak. Apakah begitu?

Jika kalian bertanya apa yang aku pikirkan saat mendengar kata 25 tahun, maka itu adalah ... aku sudah menikah dengan Riki dan mungkin sedang berbulan madu keliling Indonesia. Aku menjadi ibu rumah tangga dan Riki akan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pekerjaan yang menjadi impian sejuta umat.

Aku membayangkan di usia 25 tahun aku dan Riki tinggal di perumahan elit berlokasi strategis di ibu kota. Kami juga punya satu mobil dan satu motor. Setiap pagi aku membuatkan Riki secangkir kopi hitam kesukaannya dan sepiring sarapan.

Aku akan menyiapkan bekal untuk makan siangnya di kantor, aku juga akan menyiapkan seragam dan sepatu untuk dia bekerja. Lalu saat dia pulang kantor, aku akan menyambut Riki di depan pintu rumah dan menyiapkan makan malam untuknya.

Iya. Itu semua adalah impianku saat berusia dua puluh tahun. Masa-masa awal aku berpacaran dengan Riki. Masa-masa saat aku yakin dengan masa depan karena aku berhasil kuliah di universitas negeri impianku. Masa-masa saat aku belum tau ternyata hidup tidak pernah mudah.

"Happy birthday, Sisy!"

"Selamat ulang tahun, Sayang."

"Met ultah."

Ah, ya. Hari ini hari ulang tahunku yang ke-25 tahun. Barusan kalian bisa mendengar ucapan selamat ulang tahun dari Mama, abang, dan adikku.

Kue tar kesukaanku dari gerai Bread Talk terlihat sangat menggoda di genggaman Mama. Lilin panjang warna-warni sebanyak lima buah tertancap di atasnya dengan api yang sudah berkobar membakar sumbu di ujung lilin tersebut.

Aku tersenyum tipis mendapati mereka bertiga memasuki kamarku dengan kue ulang tahun ini. Memang sudah menjadi kebiasaan kami untuk merayakan ulang tahun satu sama lain bersama-sama. Terlebih setelah kepergian Papa.

"Tiup lilinya dulu, dong, Sy." Mama menyodorkan kue tar itu padaku.

Aku memejamkan mata. Katanya, merapal doa sebelum meniup lilin saat ulang tahun bisa membuat doamu dikabulkan Tuhan dengan mudah. Jadi, aku mengajukan beberapa permohonanan pada Tuhan.

Aku ingin Papa bahagia di surga, aku ingin Mama, Abang Seto, dan Sias—adikku—bahagia selalu, dan ... aku ingin segera mendapat pekerjaan tetap, agar Mama dan abang tidak perlu memikirkan kebutuhanku. Aku juga ingin ... melupakan Riki.

"Dek, buruan tiup lilinnya nanti meleleh, terus kena kue," ucap Bang Seto. Abangku yang penyayang, tapi cerewet.

Aku tidak menjawab ucapannya, tetapi segera meniup lilin karena sudah selesai berdoa. Tepuk tangan terdengar seiring asap yang mengepul setelah api di lilin tersebut padam.

AMBISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang