Penulis: pujanggaberkuda
Genre: ActionGemericik air dari wastafel membasahi sela-sela jari yang telah dilumuri cairan antiseptik. Ceroboh sekali. Harusnya aku memperhitungkan apa yang mungkin terjadi jika seniman kanvas dari Pondok Gede itu mengajakku bertemu dengan kondisi yang semerawut dan penuh luka. Tampaknya dia mengalami hari yang berat, tetapi tidak apa. Hari berat memang berjodoh dengan orang hebat.
Ahmad Sodri. Pertama kali nama itu menggaung pada perhelatan anak bontot salah satu Warek di kampusku sebagai mahasiswa dengan bakat visual terapik se-Jawa Barat. Baru-baru ini, dari salah satu artikel favoritku, dia mendapat penghargaan desain grafis terbaik dengan kanvas di Kota Hamburg dan menjadi tamu khusus dalam pameran internasional yang diadakan para seniman lukis dunia di Berlin, Jerman.
Bagaimana aku bisa mengenalnya bisa dibilang sangat kebetulan. Akan tetapi yang ingin aku katakan tentang Sodri; dia adalah pria malang yang kehausan respon satu orang di tengah-tengah gemuruh kemenangan.
Pria dengan busana serba hitam itu menarik kursi, lalu duduk dan melipat kedua lengannya di meja. Sungguh jika aku boleh menarasikan rupanya, dia tak lebih mirip dengan pemulung botol bekas di semenanjung Mangun sampai Babelan Timur. Bahkan aku melihat peramu saji meletakkan dua cangkir kopi hitam di meja kami tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
"Jadi, apa yang ingin kau ceritakan, Sodri? Perihal luka itu, kah?" tanyaku membuka percakapan.
Sodri menyembunyikan tangannya di balik meja dan berkata, "Tidak apa. Ini hanya luka ringan." Seketika wajahnya mendekat, lalu membisikkan sesuatu padaku. "Aku punya masalah serius dengan seseorang. Kuharap kau tidak buru-buru beranjak dari sini. Nikmati dulu kopinya, Alvi."
Nada bicaranya membuatku penasaran. Kalau dia memintaku mengonsumsi kafein lebih dulu, kemungkinan obrolan kami akan menguras isi kepalaku. Naasnya dalam hitungan detik, rasa penasaranku dibuat kelojotan saat menyentuh cangkir minuman kami.
"Loh, kopinya tidak panas?!"
"Kita tidak punya banyak waktu. Cepat habiskan!" Sodri meneguk kopi itu seperti meminum segelas air. Tidak, tidak. Perutku bisa mulas kalau mengikutinya.
"Melihat tingkah anehmu ini, membuatku jadi gelisah, Sodri." Bibirku refleks menyeruput kopi tak romantis itu, lalu menaruh kembali cangkirnya di meja.
Sodri menggeser kursinya lalu berdehem.
"Orang yang aku maksud adalah mentornya Hana, kekasihku. Besok pagi dia akan datang ke rumah Hana untuk melamarnya," jelas Sodri tertekuk lesu.
"Belum genap setahun kau berkarier di negeri orang, belahan jiwamu sudah dipepet oleh orang dalam," ketusku, berdecak iba.
"Benar sekali, Alvi, dan kita harus membatalkan acara lamaran itu."
Aku langsung bangkit dari kursi dengan mengangkat kedua tangan seraya mengibarkan bendera putih tanda menyerah. "Oke cukup. Aku sudah paham arah pembicaraan kita, tapi aku sudah berjanji tidak ikut campur urusan internal orang lain--lagi. Berapa pun bayaran yang kau tawarkan. Permisi."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBISI
Short Story"Terkadang ambisi terlalu tinggi dapat menjatuhkanmu ke jurang yang paling dalam." Pasti kalian pernah atau sedang ingin mencapai sesuatu. Bagaimana pun caranya kalian harus mendapatkan itu. Sama seperti tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita ini. Na...