Percakapan-Percakapan Frustrasi

382 13 10
                                    

Penulis: megakata
Genre: Romance


Kota malam dengan hujan adalah kenangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kota malam dengan hujan adalah kenangan. Aromanya seakan tak pernah habis mengantarkan manusia pada kenangan-kenangan di masa lampau yang sudah tak lagi bisa dijangkau. Sebab akhirnya kenangan itu hanya bisa membuat seorang pria yang sedang mengepulkan asap rokok juga ikut tersudut, ikut terpojok oleh kenangan yang tiba-tiba menyergapnya tentang kehilangan.

"Wanginya malam masih sama seperti aroma milik Mega, menenangkan," ujarnya sambil kembali menghisap batang rokok dan melepaskannya dengan pelan.

"Kamu tergila-gila dengan Mega, tetapi kamu tidak pernah mengusahakannya!" sahut manusia lain disebelahnya.

"Aku bahkan sudah menjelma seperti Majnun untuk Mega, Dar. Namun gadis itu tidak pernah bisa membantah orang tuanya. Orang tua macam mana yang mau membiarkan anak gadisnya bersanding dengan seorang penyair yang mirip orang gila ini?" dengan lesu Prava menanggapi, pemuda yang berumur 24 tahun itu nampaknya begitu lelah memikirkan bagaimana cara meruntuhkan kerasnya sikap orang tua sang gadis.

Darya yang ikut menemani Prava, diam-diam menipiskan bibirnya, sepertinya tak patut jika mengatakan bahwa Prava tidak memperjuangkan gadisnya. Lelaki yang dianggap tidak pantas bersanding dengan Mega itu padahal telah mengubah dirinya. Mulai dari rambut panjang khasnya yang sudah ia pangkas agar tidak ada lagi perkataan "Rambut dah kaya gembel gitu kok," dari keluarga sang gadis, mengubah cara berpakaiannya lebih rapi, atau sudah mulai meninggalkan pementasan-pementasan jalanan yang biasanya ia lakukan. Namun tetap saja, ujung-ujungnya dia akan dikalahkan dengan sebuah pertanyaan yang membuatnya tak berdaya untuk kembali membantah.

"Hidup jadi penyair itu masa depannya gimana? Tidak jelas arah tujuannnya!"

Maka Prava tidak bisa lagi membuang identitasnya, sebab puisi dan dirinya tidak bisa dilepaskan. Kehidupannya sudah menjadi bait puisi bagi dirinya sendiri, maka setelah pertanyaan keluarga gadisnya itu, Prava justru kembali menyepi. Kembali menjadi Majnun yang mencintai Layla dengan bait-bait gila puisinya.

"Kamu ingin memperjuangkannya lagi bukan?" tanya Darya sambil ikut menyulutkan rokok. Sesekali pemuda itu melirik Prava, kemudian dengan diam-diam Darya pun ikut menghembuskan nafasnya dengan kasar pertanda lelah.

"Harus, sejatinya Qois pun memperjuangkan Layla. Hanya saja tidak ada yang pernah melihat perjuangannya. Orang-orang hanya tahu bahwa Qois justru berubah menjadi majnun dengan puisinya. Yang orang ketahui bahwa itu adalah proses keputusasaan Majnun bukan?" ujar Prava dengan menggebu. Seperti menahan kesal yang dalam.

"Lah, orang Majnun cuma mengembara sambil bersyair kok. Dia gak ada perjuangan apapun toh? Manusia yang tidak punya harapan kan?" elak Darya yang tidak sepakat.

"Bagaimana bisa manusia biasa mengerti hakikat cinta Majnun pada Layla?" tanya Prava tenang, lelaki itu menaikan kakinya agar bersila dan kemudian menatap hujan yang sudah tak sederas tadi.

AMBISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang