Lima,

458 24 5
                                    

"Hana." Panggil salah satu laki-laki di dalam kerumunan pada sudut kantin.

"An kak reno kak reno." Nanda terlihat sangat bersemangat ketika melihatku dan reno.

"Hai." Sapa reno setelah duduk pada salah satu kursi di sampingku.

"Eh an aku bilang bibi mau nambah minum dulu ya." Aku menarik pergelangan tangan nanda dan menggeleng tanda tak ingin ditinggalkan dalam situasi ini. Sebaliknya, nanda malah melepaskan genggamanku dan mengangguk meyakinkan diriku. "Kak ngobrol aja sama hana ya, saya tinggal dulu." Katanya, lalu pergi meninggalkan kami berdua.

Suasana menjadi hening, jujur saja aku mulai merasa tak nyaman akan situasi ini. Biasanya aku leluasa untuk membicarakan apapun dengannya, seperti misalnya materi tentang ujian atau bahkan opini nya mengenai isu yang tengah marak dibicarakan. Namun kini situasinya jauh berbeda, ini sangat hening. Bahkan suara orang memesan makanan jauh disana terdengar lebih nyaring.

"Eh ren, tadi aku nggak dengerin materi bu diana tentang ini. Aku disuruh resume gitu, tapi aku belum terlalu faham sama materinya. Kamu bisa jelasin?" Tanyaku mencoba memecah keheningan diantara kita.

"Oh boleh, mana sini coba."

"Ini." Ucapku sambil menyodorkan buku histologi.

"Oh ini mudah kok an, aku ada catetannya. Nanti malem ada acara?"

"Hah? Nggak ada sih."

"Oke kalo gitu, di kafe biasa ya jam 7 malem. Sekalian aku bawain catetannya. See you an." Kata lelaki itu lalu melenggang pergi dari tempat duduk.

"Eh? I-iya." Jawabku kaku.

Nanda keluar dari kerumunan kedai ayam bakar. Ia tersenyum dengan sangat lebar, jika orang-orang melihatnya pasti mereka akan salah sangka tentang siapa yang sedang dilanda asmara. Lalu tiba-tiba dia mencengkram pundakku "Nanti malem terima kak reno! Harus!" Ucapnya sambil membelalakkan matanya.

...............

Aku membuka lemari pakaianku, musik jazz menggema di kamarku saat ini. Baju dengan warna apa yang harus ku gunakan nanti? Apakah biru? cokelat? Ungu? Atau malah pink? Kamarku terlihat sangat berantakan saat ini. Saat tak sengaja melihat pintu kamarku yang sedikit terbuka, aku melihat bunda yang sedang mengintip .

"Masuk bunda, setelah nguping masa mau jadi mata-mata juga sekarang?" Ucapku sarkas.

Bunda tersenyum dan membuka lebar pintu kamarku, "Anak bunda selalu cantik pake aaaapapun." Kata bunda sambil melebarkan tangannya kearah semua pakaian yang tergeletak di atas kasurku. "Mau ketemuan sama siapa sih?" Lanjutnya.

"Hari ini."

"Hm?" Tanya bunda yang terlihat tak menangkap maksudku.

"Aku mau jawab hari ini."

Bunda langsung mendekati ku, jiwa ingin taunya mendadak muncul. Aku tertawa kecil melihat kelakuan bunda yang menggemaskan.

"Yakin? Apa jawabannya coba?"

"Ih bunda." Rengekku. Tidak seperti biasanya, bunda benar-benar usil dengan urusanku akhir-akhir ini.

"Ana, masa bunda nggak boleh tau sih?"

Aku membalikkan badanku malu menatap mata bunda, "Aku bakal terima."

Rasa panas seolah mendadak menguasai tubuhku, "BUNDAA, GIMANA NIH? JAWAB BUNDA AJA AKU MALU NYA SELANGIT, GIMANA JAWAB RENO?"

Bunda cekikikan mendengarku, "Tenang nak, pelan-pelan. Semuanya bakal normal kok lama-lama. Hana memang harus belajar buat keluar dari zona nyaman, belajar peka dengan sekitar juga, termasuk perasaan orang lain. Masa kalah sama bunda? Bunda aja udah pacaran dari SMA." Ungkitnya tentang cerita kemarin malam, lalu tangan bunda terulur mengelus rambutku dengan lembut. Damai rasanya, hatiku seakan hangat seketika saat tangan bunda mengelus rambutku.

Aku pasti bisa mengatakan jawabannya. Benar kata bunda, aku harus keluar dari zona nyaman ku. Aku tidak boleh selalu menjadi hana yang memiliki sifat acuh dengan semua yang terjadi di sekitarku. "Bunda tau ngga? Bunda itu salah satu takdir Tuhan yang paling indah di hidup hana, hana sayang bunda." Ucapku menatap bunda dan memeluknya.

...............

Aku menunggu reno di dalam kafe, tak biasanya ia terlambat. Aku terus menatap kearah luar jendela, berharap akan kehadiran wujud lelaki itu.

"ITU DIA." Aku spontan keluar dari kafe dan menunggu reno di pelataran.

"Renoo, disini. Haii." Terlihat reno dengan setelan rapih nya, ia tersenyum, dan melambai kearahku.

Jalan penyebrangan terlihat sangat sepi. Reno menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah dengan muka tak sabarannya, ia sudah bersiap untuk menyebrang dan menghampiriku. Ia terus tersenyum kearahku. Senyumnya sangat cerah hari ini, ditangannya ia menggenggam buket bunga beserta buku dengan sampul coklat polos yang bisa kutebak adalah buku catatannya.

"Hana..." Panggilnya, ia tersenyum menatapku lalu mulai melangkahkan kakinya tepat kearahku.

BRAK.

To Be Continue.

TRAUMATIC LOVE (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang