Halo kawan-kawan jangan lupa mampir dan vote ceritaku. Masih labil dalam menulis amatir pula. Jika ada typo segera kasih tahu aku.Terima kasih sudah mampir di lapak aku.
_______________________________________________________________________________
Melihat Ning Afida dari kejauhan dan berusaha memanggilnya, memberikan semangat kepada Zakiya. Pasalnya sahabat yang ditemui saat pertama kalinya datang di pondok ini membuat kakinya yang kesakitan tak terasa. Antara Ning Afida dan Zakiya adalah duo maut yang tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Mereka adalah pasangan yang memiliki frekuensi sama. Sungguh menyenangkan bagi Zakiya ketika Ning Afida kembali lagi, namun apa yang membuat Ning Afida kembali perlu dipertanyakan sebabnya ia seharusnya menuntut ilmu di pondok Al Falah, Mojokerto.
Ning Afida berjalan menghampiri Zakiya dengan muka berseri-seri. Ia pun begitu senang menemui sahabatnya ini.
"Zak, kakimu bengkak! Kenapa?" tanya Ning Afida tatkala menatap kaki Zakiya.
Menggaruk-garuk kepala, Zakiya pun berkata, " Hehe, kesrimpet trus jatuh .. eh! Kesleo deh! Lumayan linu, ning."
Mendengar penuturan Zakiya, Ning Afida menonyor dahi Zakiya. Ia gemas dengan tingkah Zakiya yang selalu teledor sampai menyebabkan dirinya celaka sendiri. Teledornya Zakiya sudah melebihi tingkat teledor Ning Afida. Meski jika dilihat dari sisi keduanya mereka sama saja, suka teledor dan berujung pada imbasnya diri sendiri.
"Kok bisa, sih Zak? Kamu jalannya gimana? Udah besar masak jalan sampe kesrimpet?" tanya Ning Afida heran.
"Pokoknya, gitulah. Namanya musibah gimana lagi. Capek habis dapet hukuman nggak selesai-selesai!" keluh Zakiya pada Ning Afida.
Buru-buru mendengar keluh Zakiya, Ning Afida berlari ke peralatan bersih-bersih. Segera saja ia mengambil sapu dan menemani Zakiya untuk menyapu lapangan bersama. Di hati Ning Afida, jika sahabatnya kesusahan ia pun membantunya.
"Loh, Ning! Nggak usah repot-repot nanti malah cepet selesai," Zakiya nyengir.
"Heleh, kamu mah seneng kan jadinya?" ledek Ning Afida.
"Ya, jelas itu."
Mengakhiri percakapan mereka bersama menyapu halaman, sambil bergurau kadang malah mereka saling melempar dedaunan di antara keduanya. Kemudian tertawa bersama. Berusaha menikmati hukuman yang diberikan Gus Idrishan. Mereka saling memandang kemudian tertawa begitu saja, seakan di dalam pikiran mereka sudah berbicara dan memahami satu sama lain.
Setengah jam mereka menyapu bersama sambil bermain, akhirnya hukuman itu terselesaikan sudah. Agak lama, karena mereka tak hanya menyapu saja, juga sambil bermain-main. Tidak jauh dari tempat ini terdapat seseorang yang mengawasi keduanya. Tampaknya ia sedang tersenyum meski hanya sekilas saja. Kemudian pergi meninggalkan tempat yang dirasa sudah cukup untuk dilihatnya.
Keduanya duduk di bawah pohon setelah merasa lelah dari bermain-mainnya.
"Ning, kok bisa sudah di rumah aja?" tanya Zakiya penasaran.
"Mau tau alasannya?" Ning Afida balik bertanya.
"Iya, penasaran aku. Nggak mungkin kan? Kalau gara-gara buat masalah lagi?" selidik Zakiya.
"Hahaha, nggak lah. Mau alasan baik dulu atau buruk dulu?" tanya Ning Afida.
"Dua-duanya aja biar cepet. Penasaran aku, Ning!" Zakiya sudah kelewat penasan ia merengek pada Ning Afida untuk menjelaskan kepadanya.
"Aku emang udah nggak mondok di sana, aku-"
"Loh! Kenapa, Ning? Dikeluarkan? Atau -" Zakiya kaget langsung memotong pembicaraan ning Afida.
"Stt! Dengerin dulu makanya, kebiasaanmu motong pembicaraan orang harus dikurangi ,Zak!" Ning Afida memperingati serta menutup mulutnya dengan jari telunjuknya.
"Hehe ... iya. Maaf, Ning. Lanjut!" Zakiya berhenti berbicara berusaha mendengarkan apa yang dikatakan Ning Afida. Kebiasaan yang terlalu kaget dan banyak tanya ini memang harus dihindari. Dalam adab berbicara pun tidak boleh kita memotong pembicaraan orang. Itu termasuk tindakan yang tidak sopan. Apalagi sampai membuat marah si empu yang berbicara itu.
"Dengarkan dulu, oke? Aku nggak mondok lagi bukan dikeluarkan, tapi untuk menghindari sifat berontakku ini. Jadi, biar lebih diawasi juga oleh abangku sendiri. Gus Idrishan. Karena beliau bakal lama juga di sini. Bukan cuma abangku saja, sebab bakal ada ustad baru temen Gus Idrish yang disuruh mendampingi Gus Idrish dalam menertibkan santri bandel. Kaya kamu, Zak. Bahkan ada Ustadzah juga yang katanya cukup killer. Dia adalah seorang Ning pondok anak sahabat Abah."
Mendengar cerita itu Zakiya termenung, siapa ning dan ustaz baru yang akan menjadi sie pendisiplin santri. Ini bencana bagi Zakiya, tidak mungkin ia bisa bebas seperti dulu. Namun apakah dia sudah bebas dari dulu? Bahkan masih ada sie pendisiplinan yang selalu mendisiplinkan dirinya. Memikirkan siapa yang akan datang di pondok ini hanya membuat kepala Zakiya cekot-cekot.
"Ah! Pusing aku kalau mikirin para sie pendisiplinan santri ini!" keluh Zakiya.
"Sudahlah, Zak! Emang waktunya kita nurut. Capek juga meminta kebebasan yang menurut kita benar." Hibur Ning Afida.
"Tapi, Ning ... masih jadi sahabat aku kan?" Zakiiya bertanya takut jika ia akan kehilangan sahabat yang paling sefrekuensi dengannya.
"Tentulah, kita ini sahabat selamanya. Ya, masak gegara masalah sepele bakal membuat pertemanan kita hancur, nggak lah!" Ning Afida menepuk bahu Zakiya pelan. Meyakinkan Zakiya jika mereka akan menjadi sahabat selamanya.
Keduanya berpelukan lalu, melingkarkan jari kelingking untuk berjanji saling memahami satu sama lain ketika ada permasalahan yang dihadapi keduanya. Mereka dipertemukan dengan kesamaan, dan tak mau jika dipisahkan hanya sebabnya ada perbedaan. Karena sejatinya sahabat itu saling menerima kekurangan dan kelibahan.
Usai menciptakan suasana haru biru, keduanya berjalan menuju pondok. Waktu zuhur sudah datang dan saatnya untuk shalat berjamaah. Tak mau mendapat hukuman karena terlambat keduanya bergegas untuk sampai dan membersihkan diri. Di perjalanan itu, Ning Afida kembali ke dalem sedang Zakiya kembali ke kamarnya.
Di sana ia sudah disambut oleh sahabat santrinya, Shela dan Putri. Mereka sudah bersiap mewancarai Zakiya tentang hukuman yang ia jalani.
"Zak! Gimana tadi? Eh! Kenapa jalanmu kayak nggak seperti biasanya?" tanya Putri penasaran.
"Iya, Zak. Eh tau nggak? Ning Afida sudah balik ke sini, loh?" kata Shella.
"Kesleo, lah kalian nggak ada yang muncul. Udah tau Ning Afida balik, kan tadi malah ketemu." Zakiya kesal dengan kedua sahabatnya yang tak membantu dirinya. Atau setidaknya menyemangatinya saat menjalankan hukuman.
"Kami juga dihukum, kok. Jadi nggak bisa bantu Zak."
"Kalian dihukum karena apa? Kok aku nggak tau?"
"Biasa gegera mereka, genk-nya Nella. Bikin masalah trus mereka."
"Ya Allah mereka nggak kapok, cari gara-gara trus. Sini aku bikin peritungan." Zakiya kesal dengan tingkah laku Nella segengnya itu.
"Heh! Nggak usah!" teriak Shella dan Putri.
Hampir saja mereka mendapatkan hukuman lagi jika Zakiya ngamuk lagi. Pekerjaan mereka baru saja selesai. Tidak mungkin harus ditambah lagi. Mengetahui Zakiya yang masih marah menyrunya segera mandi karena tidak lama lagi waktunya shalat zuhur berjamaah. Agar tidak terlambat, bukankah sebaiknya di awali.
Untungnya Zakiya menurut dan bergegas mandi, menyamber semua peralatan mandi. Zakiya berlari ke kamar mandi. Badannya sudah terlampau kotor karena bermain dengan Ning Afida. Ia sudah cukup kumal dan kotor. Langsung saja, ia mandi. Ia pun tak sabar bercerita kepada sahabat sekamarnya tentang akan ada kemunculan ustaz dan ustazah yang akan memperketat peraturan di pondok ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
REGRET
Spiritual"Zakiya nanti diadili lagi!" seru Nella. "Iya, tuh! Tukang buat onar, sih!" Mega mengimbuhi. " Rasain! Semoga dihukum berat sama Gus Idris! Ih ... aku nggak sabar lihat muka beliau yang super adem itu!" Nella hampir saja memekik emngungkapkan kekagu...