Amarah Gus Idrish

73 7 0
                                    

"Peraturan bukan cara untuk melakukan pembodohan bagi tiap orang yang patuh pada aturan. Peraturan menjadikanmu lebih teratur."
____________________________________

Dimana kita berada kudu paham papan. Bermaksud jika aturan haruslah diikuti, bukan malah membangkang hingga memaksakan keinginan diri. Manusia hidup sebagai makhluk sosial. Bukan sebagai makhluk egois mementingkan diri.

Di ruangan sederhana, berjejerkan foto-foto setiap generasi penerus Pondok Al Makmun. Terpampang wajah keriput memakai sorban monochrome dan kemeja lengan pajang abu-abu yang tak lain Abah Gus Idrish, Kyai Bachrudin.

Di tengah ruangan itu, terdapat meja yang berbahan kayu yang diplitur terlihat mengkilap dihiasi kaca seukuran bagian atas meja. Kursi di belakangnya terbuat dari bahan sama dengan meja, kayu jati dan diplitur.

Ada yang menduduki kursi kayu itu, sosok rupawan setengah mbangir dan pesek hidungnya. Bermata belo dengan bulu mata yang "ndengkeng". Alisnya tebal, ia juga memiliki lesung pipit, jika tersenyum terlihat begitu manis. Sayangnya senyumnya tak pernah diperlihatkan oleh hampir seluruh warga pondok. Wajahnya selalu kaku. Tak ada ekspresi bahagia yang muncul.

Kali ini sosok dinginnya lebih menguar, sedari tadi ia membolak balikkan buku catatan pelanggaran dari salah satu santriwati di pondok abahnya.

Tangan kanannya mengepal lalu menggebrakkan ke meja.

'Brak!'

'tok tok tok!'

Suara ketukan pintu terdengar, ia menutup lagi buku yang dibukanya.

"Assalamualaikum," ucap dari suara yang lembut itu, dilihat dari jenis suaranya seseorang perempuan.

"Waalaikumussalam, masuk!" jawabnya tegas.

Munculah dari balik pintu perempuan yang menundukkan wajahnya, pelan-pelan berjalan menuju tempat duduk depan meja.

"Zakiya, sudah berapa kali kamu melanggar aturan? Hukuman dari asatidz dan ustadzah belum membuatmu jera?" Baru saja Zakiya yang namanya terpanggil duduk sudah disodori pertanyaan.

"Maaf, gus. Bukan bermaksud melanggar aturan. Tapi-"

"Bukan melanggar aturan bagaimana? Kamu bahkan kemarin malam dihukum karena bertengkar dengan santriwan saat di sekolah formal. Apakah itu bukan pelanggaran?!" tanya Gus Idrish sedikit menekan bagian pelanggaran di akhir kalimat.

"I-itu lain lagi, Gus. ... ehmm maaf saya tidak akan mengulanginya lagi," sesal Zakiya.
Apakah Zakiya benar menyesal? Entahlah💁

Gus Idrish menghela napasnya dalam-dalam berusah menetralisir amarahnya yang sudah memuncak, ia bahkan mengusap wajahnya kasar. Kembali ia membuka catatan pelanggaran santiwati di depannya Zakiya.

Berdiam sejenak lalu memulai menjelaskan hukuman yang tepat bagi pelanggar.

"Saya sudah putuskan untuk menelpon orang tuamu, sebentar lagi akan ke sini. Biar orang tuamu yang akan memutuskan hukuman yang tepat bagimu. Mungkin sebelumnya kamu menganggap aturan di sini adalah pembodohan. Tidak seperti itu, aturan ada agar hidup teratur, paham?" ucap Gus Idrish

Ia hampir lelah mengurus santriwati satu ini, selalu membangkang jika ia beritahu. Ada yang aneh hari ini dia sangat penurut. Padahal biasanya ketika bertemu dalam meja hijau ini dia akan menggeretak dirinya. Gus Idrish sampai salah sangka. Apakah santriwati ini salah obat karena diam dan menunduk saja.

Tak menggubrish perubahan Zakiya, Gus Idrish menyuruh Zakiya duduk di sofa berjarak satu meter dari hadapannya.

Zakiya menurut lalu duduk di sana, wajahnya ditundukkan. Sesekali ia melirik Gus Idrish. Sedang yang dilirik sibuk membaca buku catatannya. Zakiya memukul dahinya dengan telapak tangan kanannya, bodoh! Zakiya mengumpat pelan.

Setelah sepuluh menit menunggu, terdengar suara ketukan pintu bersamaan suara salam.

"Assalamualaikum," suara berat agak serak terdengar.

Gus Idrish berjalan ke arah pintu, membukakan pintu bagi tamunya itu.

"Monggo, Yai silakan masuk," ucap lembut sambil tersenyum sedikit.

"Nggih, Gus," Kyai Ahmad berujar, kemudian duduk di samping putrinya menatap tajam Zakiya. Yang ditatap hanya menunduk.

"Nduk, sampean ngopo maneh?"
(Nak, kamu berbuat apa lagi?)

"Mohon maaf menyela, Yai. Zakiya dihukum karena bertengkar dengan teman laki lakinya di sekolahan. Bukan bertengkar seperti biasa, lebih ke fisik, Yai."

Zakiya mengenggam tangannya erat merasa dirinya sudah di ujung tanduk. Keringat dingin sudah muncul di tangannya.

Mampus! gumamnya. Zakiya mengelus dadanya.

Zakiya sudah memikirkan apa yang akan abahnya bilang untuk hukuman yang akan dijalaninya. Apakah ATM nya bakal disita, uang saku bakal dikurangi? Atau pindah kamar? Pikirannya sudah melayang entah kemana.

"Nduk, sampean padu kaleh tiang jaler?" Kyai Ahmad bertanya.

"Enggeh, Bah."

"Sampean perempuan kok malah padu, pripun?"

"Ngapunten, Bah. Zakiya khilaf."

"Ya Allah, nduk." Kyai Ahmad mengelus dadanya. Putrinya beradu fisik dengan seorang laki-laki.

"Karena itu, Yai. Njenengan saya wuruki untuk memutuskan hukuman yang tepat bagi Zakiya."

"Gus, saya serahkan pada pengurus pondok saja. Gimana baiknya. Saya percaya hukuman Gus Idrish lebih manjur." Kyai menatap Zakiya garang.

Sudah dipastikan sudah marah. Benar-benar tamat riwayat Zakiya.

"Kalau menurut Yai begitu, nggeh monggo. Saya menurut saja." Terlihat mata Gus Idrish terlihat berbinar. Jelas saja dia bisa melakukan hal semena-mena untuk Zakiya. Ini lebih parah!

"Oh, ya gus. Ini sampean lagi liburan? Masih ikut DEMA juga? Aktif nggeh di kampus," Yai Ahmad bertanya.

"Enggeh niki liburan semester genap mau masuk semester 3. Bukan DEMA, Yai. Masih ikut HMJ. InsyaAllah mau ikut jika ada perekrutan."

Percakapan keduanya berlanjut, sedang Zakiya hanya diam. Diam berpikir untuk terlepas dari hukuman dari Gus Idrish.

Apes apes!

_____________
Salam hangat
Mya Veronica
______
Jangan lupa VOTE dan SHARE

REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang