Invisibilia Spells

21 2 0
                                    

"Saat sihir pertama mencoba digunakan, kegagalan dari tongkat sihirlah yang disalahkan."

•~•

[Warning : Typo berserakan, belum revisi✔]

Semalaman Anne tidak bisa tidur. Ia takut bila esok pagi dirinya masih terbangun di tubuh yang sama, tubuh Lorie. Bahkan lebih buruknya, dia bisa saja mati. Antara siap dan tidak siap, Anne berharap hari ini adalah mimpi buruknya. Ia ingin segera bangun dari tidurnya dan menyudahi segala kebingungan ini.

Terbaring di ranjangnya, mata Anne tak kunjung terpejam juga. Cahaya bulan menyoroti dirinya melalui jendela kayu yang terbuka. Anne merasakan sensasi panas pada kulit tangan tubuh Lorie. Ternyata sesuai dugaan, totem di kulit Lorie mengeluarkan cahaya kebiruan yang menyala. Sekilas Anne merabanya, kulitnya panas, sakit, dan serasa ingin terbakar. Dengan segera Anne menutupi tubuhnya dengan selimut.

Anne mulai menangis. Tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Emosinya kini campur aduk. Tanpa sadar, kedua matanya mulai lelah dan terpejam, membawa tanda tanya besar dalam mimpi Anne selanjutnya.

"Semoga esok baik-baik saja," gumamnya sebelum ia benar-benar hanyut dan hilang kesadaran.

•~•

Pagi hari yang agak mendung. Axel dan Lorie sudah bersiap-siap pergi menuju Kastil Archilop ditemani seorang pria asing, yang tidak lain adalah sahabat Axel.

Lorie tidak yakin apakah dirinya akan baik-baik saja di luar sana, lebih tepatnya ini soal tubuhnya. Dia kini mengenakan jubah biru kebesaran yang menutupi sekujur tubuhnya. Tidak lupa pula, Lorie membawa sebuah kantong kecil rajut—entahlah itu isinya apa—yang dia masukkan ke dalam saku jubahnya.

Tadi pagi saat terbangun, Anne masih tidak percaya jika ia akan berada di dalam tubuh Lorie lagi. Oleh karenanya pula, tidak biasanya tubuh ini ia gunakan di saat matahari masih bersinar begini. Anne hanya berharap semoga tubuh Lorie bisa beradaptasi dengan kondisi sekarang ini.

"Kau yakin tidak membawa apa-apa dalam perjalanan ini?" tanya Axel yang keheranan. Sebab, ia tidak melihat Lorie membawa satu barang pun saat keluar dari rumahnya.

Diam sejenak. "Memangnya apa yang harus kubawa?" Lorie malah balik bertanya.

"Ya ... apa saja. Kau bisa bawa apa pun. Senjata, makanan, beberapa pakaian, dan lain-lain mungkin," Axel pun membalas dengan ekspresi jengkelnya.

"Aku tidak pernah membawa apa-apa saat bertugas." Lorie memelototi Axel dengan tatapan dingin.

"Oke baiklah kalau begitu. Lebih baik kita segera pergi, sebelum hujan turun tentunya," pungkas Nevpix—sahabat Axel—dengan menunjuk langit sebagai isyaratnya, bahwa hujan mungkin akan segera menyirami bumi dengan derasnya jika mereka tidak lekas berangkat.

Lorie tidak mengira kalau akan ada orang lain yang ikut dalam ekspedisi ini. Pikir Lorie, ia akan melakukan perjalanan berdua saja dengan Axel. Tidak masalah baginya, jika bertambah satu personil dalam grup mereka. Hal itu tentu tidak akan membuat kecanggungan di antara keduanya. Apalagi Axel bilang jika Nevpix adalah sahabat terdekatnya. Menurut Lorie, Nevpix menunjukkan wajah bersahabat dan ramah, tentunya berbanding terbalik dengan sahabatnya yang angkuh dan sok pede ini. Mereka sempat berkenalan sebentar tadi, sebelum memutuskan untuk pergi.

Setelahnya, mereka bertiga akhirnya berangkat menggunakan mobil tua berwarna cokelat, dengan Nevpix sebagai sopirnya. Selama perjalanan, dua sahabat itu sesekali mengobrol masalah pekerjaan yang Lorie sendiri tidak pahami.

Lorie hanya bisa diam, duduk di kursi belakang sendirian sembari mengamati gerak-gerik dari kedua pria itu. Saat sudah bosan, dia ganti mengamati jalanan yang telah mobil mereka lewati. Sedari tadi hanya daerah hutan saja yang terus mereka lewati. Hutan yang sepertinya tidak dihuni manusia satu pun, bahkan tak terjamah.

HAMPIR MATI!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang