#Menikahi_Dokter_Pemalu
Spin off #Romantic_Nurse
By Eva Liana
Bab 3 Hati yang Potek (2)"Kayak ada pasien gawat darurat aja," omel Nayla sambil duduk di bangku taman dan mengeluarkan kipas sakti, eh, kipas tangan andalannya dari saku baju dinas.
Cuaca siang itu memang lumayan terik, seterik hatiku yang panas, hangus, terbakar, nyaris gosong melihat kenyataan pahit di depan mata satu jam lalu. Gara-gara itulah aku bela-belain menculik Nayla dari kantin. Aku butuh teman curhat demi keselamatan mentalku.
"Emang gawat darurat, Nay. Kalo kamu gak bantu, fraktur hepatika bisa bikin aku koma!"
"Fraktur hepatika? Bisa disemprot Dokter Aris, Sp.PD, lho, bikin diagnosis sembarangan gitu." Nayla memonyongkan bibir.
"Kan sama ajaaa artinya ama patah hati, Nay. Kamu pernah ngerasain kan kan waktu ditinggal Ryu yang kalo namanya disebut berulang mirip sirene ambulans."
"Etdah, kamu ngorek luka lama. Gosah sebut-sebut dia. Rumah sakit ini bertelinga! Kalo sampe ke telinga paksu, kamu bakal disuntik euthanasia!" Nayla melotot.
Aku terkikik. Tampang khawatir Nayla, sempat membuatku lupa kalo lagi potek. Suami Nayla emang terkenal posesif. Galaknya juga ampun-ampunan dah. Tak ada mahasiswa magang yang berani berpapasan sama dokter galak itu di rumah sakit ini.
Entah kesambet apa pak dokter itu, jadi naksir ama Nayla, si belo yang kadang nggak tau malu.
"Sekarang kamu mau ngomong apa? Tengah hari bolong gini ampe mau hujan air mata buaya."
"Kamu masih nggak percaya kalo aku patah hati?"
Nayla tampak memutar bola matanya dengan malas.
"Hello, Magda Chantika yang cantiknya ngalahin kucing angora. Kalo bener hatimu potek, kok, sempat-sempatnya ngikik kayak kucing kejepit?"
Mood-ku langsung terjun bebas, seperti lompat dari lantai tiga rumah sakit sampai ke basement.
"Iiih, Nayla nyebelin! Huwaaa!" Air mataku sontak berderai. Sampai beringus.
"Lho, beneran hujan air mata?" Nayla menatap takjub. Bukannya menghibur, atau ngasi sapu tangan, gadis itu malah tepuk tangan penuh kebahagiaan.
"Hebat, akhirnya kamu berhasil bikin aku percaya. Oke, oke, kamu beneran patah hati. Fraktur hepatika. Potek. Atau apalah apalah. Trus aku bisa apa, Da, bisa apaaa?"
"Huhu." Aku masih sesenggukan saking sedihnya.
"Kayaknya butuh operasi penyambungan hati ini. Aku bawa ke Oka, ya."
"Naylaaa, orang lagi serius kok dibecandain mulu? Teganya teganya...."
"Ish, masih untung aku masih di sini. Sekalian kuputerin lagi 'kumenangiiiis'. Mau?"
"Ciyus, nih. Aku beneran cinta, Nay ama dia. Gak maen-maen. Dulu, sih, biasa aja. Tapi kenapa kok waktu ketemu lagi tahun ini, ada rasa yang berbeda."
"Cie ciee...."
"Tuh, kan, becanda lagi."
"Baeklah, baeklah." Akhirnya kulihat wajah Nayla berubah serius dan penuh perhatian. Mimik yang kudamba dan sangat menghiburku kali ini. "Ayo cerita yang runut. Aku mau dengerin. Meski rasanya aneh aja. Kupingku jadi geli-geli gimana gitu."
"Begini ceritanya, Nay. Tiga tahun lalu, waktu kita masih di akademi, aku tuh nggak begitu tertarik ama dia. Nggak begitu memperhatikan dia. Lagian kita juga jarang ketemu, kan. Mata kuliahnya cuma dua jam seminggu, satu semester aja pula. Paling-paling papasan di jalan."
"Aduuh, sepertinya ceritamu bakal panjang kayak naga. Bisa disingkat, nggak, ke bagian konfliknya?" celetuk Nayla tak sabar.
Mulutku meruncing dua senti. Benar-benar, ya, si Nayla ini sahabat sejati, nggak pernah dia pake basa basi. Senang bilang senang. Kalo dia lagi males dengerin, dia juga bakal terbuka ngungkapin. Jujur sejujur-jujurnya.
Untunglah diriku ini berhati kebal nyaris bebal. Persis kulit yang dianestesi lokal, udah nggak ngerasa sakit apa pun lagi, senyelekit apa pun omongan Nayla. Karena aku pun sering cuek kwek kwek blas apa adanya ke dia. Intinya, kami saling memahami. Melebihi sodara kandung.
"Pada intinya, aku nggak nyangka ketemu dia lagi di kampus Fkep ini. Aku nggak nyangkaaa kalo dia sekarang tambah ganteeng, kelihatan macho, pinter, elegan, cool kayak Ji Chang Wook!"
Nayla melempar tatapan ilfeel ke arahku yang histeris sendiri.
"Entah kenapa, ya. Mungkin gegara kamu nikah duluan. Nikahnya ama pak dokter songong lagi. Mungkin akhirnya hatiku jadi tergoda melirik duplikatnya. Nggak mirip-mirip amat, sih. Cakepnya beda. Tapi cakep. Aduh, gimana sih ngegambarinnya. Pokoknya, nggak ngalahin pak doktermu. Guanteeng...."
Mata Nayla kulihat menyipit.
"Magda."
"Aku cinta, aku jatuh cinta beneran."
"Magda."
"Senyumnya, tatapannya, suaranya. Aku.... Pokoknya aku tobat pacaran, deh, tepat di hari pertama kuliah kita di FKep." Kuletakkan sepasang tangan di dada, sambil membayangkan wajah Dokter Rizal yang tampan.
"Magda?"
"Beneran, Nay, aku tobat jadi playgirl. Udah sebulan ini kosongan. Gak ada gebetan lain!" jelasku, tergesa.
"Magda, aku curiga ...." Nayla tampak prihatin.
"Jangan curigai diriku, Nay. Plis. Aku udah jatuh ke kubangan cintanyaaa...."
"Magdaaa!"
"What?"
"Kayaknya kamu butuh diruqyah." Nayla menempelkan telapak tangannya ke ubun-ubunku. "Besok kita ke Ustazah Messy, ya? Beliau psikiater merangkap peruqyah. Nggak usah malu. Nanti aku yang mintakan ruqyah sekalian terapi jiwa buat kamu."
"Naylaaaa!"
Niat curhatku gagal total seketika siang itu.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Doctor
ChickLitMarrying the Bashful Doctor (Menikahi Dokter Pemalu) Cerita ini spin off dari novel #Romantic_Nurse Aku tahu, cewek ngejar cowok itu malu-maluin. Etapi, tunggu dulu. Gaya ngejarku nggak kayak cewek kebanyakan, lho. Aku pilih jalan yang masih ngejaga...