Salahkah Jatuh Cinta (2)

214 25 5
                                    

"Kok, cuma salim-salim doang ama uwak, om, tante, dan sepupu? Ayo, duduk ke luar, ngobrol bareng."

"Capek, Ma, baru dari kampus."

"Lha, capek apanya? Kamu cuma lihat nilai, kan? Trus, nilaimu juga bagus banget. Mama bangga. Mama nunggu-nunggu nilai IP mu, moga ada peningkatan dari semester lalu."

"Iya, Maa. Semoga," sahutku pendek dan dengan nada malas.

"Tampangmu mendung. Ada apa?"

Mama mulai menampakkan mode panik. Gawat, nih. Aku bergegas bangkit. Hatiku mulai menimbang-nimbang. Apakah jujur saja dan merengek seperti biasa agar Mama meluluskan segala keinginanku? Atau belajar jadi gadis dewasa, seperti yang sering Nayla bilang?

Huhu, Nay, jadi dewasa itu susah. Plakk! Kutampar diri sendiri dalam imajinasi.

Magda, ini memalukan. Usiamu sudah 21 tahun. Tidak pantas merepotkan orang tua dengan air mata buaya. Meski Mama Papa udah janji bakal mengupayakan jodoh yang kamu mau, tak semestinya kamu bertingkah kolokan!

Kunasehati diri sendiri dengan pilu. Menahan keinginan berguling-guling di depan Mama. Ya Alloh, apa yang mesti kulakukan? Nangis dikit boleh, nggak? Kemana lagi kulabuhkan perasaan nelangsa ini kalau bukan kepada mama sendiri?

"Mama, Magda lagi patah hati."

"What? Siapa cowok yang berani mati bikin gadisku patah hati?" Mama berseru kaget, lalu spontan memelukku. "Duh, kasian anak Mama."

Tuh, kan, Mamaku selalu begini. Di matanya, aku tak pernah tumbuh jadi gadis dewasa. Aku tetaplah gadis kecilnya. Ia selalu mengeluhkan tubuhku yang berat hingga tak bisa lagi digendongnya.

Bikin malu saja. Untung tidak ada yang tahu kelakuan Mama Papaku.

"Dokter itu, ya?"

Aku mengangguk kuat. Air mata kembali membasahi pipi ini.

"Keterlaluan! Akan mama kasi pelajaran--"

"Mamaaa, jangan bikin Magda tambah malu!" sambarku cepat. "Kemaren-kemaren, Magda semangat banget denger janji Mama. Tapi, kenyataannya, Pak Dokter nggak suka ama Magda. Magda nggak bisa maksa orang, kan." Aku terisak.

"Haduuh, tersayat hati Mama dengernya. Kamu yakin dia nggak suka ama putri Mama yang cantik ini?"

"Yakin, Ma." Aku mengangguk kuat hingga tetes-tetes air mata kian deras dari pipi ke dagu, lalu berjatuhan ke atas pangkuan.

"Udah diem. Magda tenang aja. Mama bakal bikin perhitungan--"

"Mama jangaaan! Magda bakal ngambek dan mogok makan, nih, kalo Mama macem-macem ama Pak Dokter. Magda yang salah, Ma. Jangan sampai dia tambah marah ke Magda gara-gara Mama."

"Lah, kamu salah apa? Apa salahnya jatuh cinta?" Mata Mama terbelalak lebar, mengandung protes.

"Iiih, bukan itu masalahnya." Aku jadi sedikit kikuk. Duh, apa mesti kuceritakan keusilanku pada Mama? Tapi, kalo nggak cerita, Mama bisa salah paham. Lagian, sejak kapan aku malu ama Mama sendiri? Biasanya, kan, malu-maluin, eh.

"Gini, Ma ...." Aku pun bertutur kronologis kejadian, sampai akhirnya Dokter Rizal jutek kepadaku.

Dua menit kemudian, Mama menggeleng-geleng sambil tersenyum-senyum. Apakah Mama sedang menertawakanku dalam hatinya? Halah, ini menyebalkan sekali.

"Mama pikir ini lucu?"

"Iya." Mama menutup mulut. Tapi hanya dua detik. Selanjutnya, Mamaku tersedak gara-gara menahan tawa.

"Nggak usah ditahan-tahan. Kalo mau ketawa, ketawa aja!" ketusku, jengkel. Mode sedih di wajahku, berubah jadi mode ilfeel.

Tawa Mama pun tersembur tak bisa ditahan-tahan.

"Mama tega banget ngetawain anak sendiri." Bibirku meruncing dua senti.

"Gimana, nggak? Hahaha, dasar polos! Pake karantina segala! Baru kali ini Mama denger ada cewek ngejar cowok pake teknik hoaks!"

Aku menutupi muka dengan sepasang telapak tangan. Aku heran dan tak habis pikir. Mamaku ini sangat penyayang, tapi tak segan-segan menertawakan anak sendiri. Begitu cepat sikapnya berubah. Dari kasihan, jadi tertawa geli begini.

"Sini, sini, Mama mau lihat mukanya." Mama menarik tanganku, lalu tertawa lagi.

"Aaah, Mama, kok, ketawa melulu? Apanya yang lucu? Anak lagi patah hati begini malah ditindas."

"Lha, lucu aja. Pantes kamu dijutekin pak dokter. Hadeh. Magda, Magda. Emang bisa memproteksi orang dengan cara nyebar hoaks begitu? Mana mempan. Pake logika, dong. Jelas itu mudah sekali ketahuan! Iiih, kamu ngegemesin, deh!"

Aku melayangkan pandangan ke langit-langit ruangan. Ya Tuhan, lengkaplah sudah penderitaanku hari ini. Ratapku dalam hati. Kupikir Mama bakal mengelus-elus kepala sambil menghibur. Kenyataannya, beliau malah ngakak nggak kira-kira.

Oke fix, aku harus ngobrol sama Nayla.

***

Bersambung
Di KBM App update lebih cepat ya 😍

Sweet DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang