POV 3
Rizal terkejut setengah mati, tatkala gadis mungil di depannya tahu-tahu limbung. Naluri kemanusiaan mendorongnya maju untuk menangkap tubuh perawat kecil itu sebelum jatuh terhempas ke lantai.
Dokter Angga yang sudah bersiap menuju ruang triase (ruang tindakan gawat darurat) terkesiap. Sementara, perawat perempuan yang bertugas mendampingi Magda, otomatis terpekik kaget. Termasuk pasien yang tumornya baru saja di-insisi (disayat) untuk diangkat.
Rizal cepat-cepat membopong Magda ke atas emergency bed (ranjang gawat darurat) di sebelah pasien.
"Zal, tolong dia, ya! Aku mau menangani pasien kecelakaan dulu!" teriak Dokter Angga sambil terburu-buru keluar dari bilik tersebut.
"Oh, i-iya ...." Rizal mengusap peluh dingin yang tahu-tahu menitik di dahinya.
"Mba, apa ada perawat dan dokter lain yang standby?" tanyanya pada perawat yang sudah kembali fokus ke pasien."
"Duh, sepertinya semua sibuk, Dok. Ada beberapa pasien kecelakaan, dan pasien lain yang mendesak pula ditangani," jawab si perawat usai melongok dari tirai tebal bilik IGD. "Semuanya ngumpul di ruang triase dan ruang operasi IGD."
"Ya sudah, kalo gitu tolong tangani adek ini. Biar saya yang melanjutkan tindakan bedah minor (tindakan bedah ringan atau operasi kecil)."
Perawat itu terlihat ragu-ragu. Ia sudah siap melakukan proses pengangkatan tumor. Tentu akan sangat merepotkan jika beralih posisi.
Beruntung, Magda lekas tersadar kembali. Gadis itu mengerjapkan kelopak mata berkali-kali. Lalu, bangkit cepat saat teringat tugasnya.
"Dokter Angga, jangan paksa saya menginsisi tumor," ratap Magda spontan.
"Kamu udah siuman?"
Magda terkesima begitu menyadari siapa yang berada di dekat bed-nya.
"Pak Dokter ...," desahnya dengan tatapan memuja.
Rizal melangkah mundur. Ia risih ditatap seorang gadis selekat itu.
"Dokter yang menolong saya, ya?" Senyum manis Magda mengembang. Matanya sampai tinggal segaris, mirip bulan sabit. Paras secantik boneka Jepang tampak semringah.
Rizal mengangguk.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Iya. Makasih, Dok." Magda ingin berkata banyak, tapi hanya tiga kata itu yang sanggup meluncur dari mulutnya. Sebab ia mendadak gugup menerima setitik perhatian dari sorot mata hitam sang dokter.
"Magda, banyak pasien gawat di luar. Kalo kamu udah nggak apa-apa, sebaiknya segera keluar membantu!" perintah kakak perawat, membuyarkan kesenangan Magda.
Dokter Rizal menjauh. Ia juga bermaksud menbantu walau tidak bertugas di sini. Hari itu ia datang ke rumah sakit, karena ada keperluan dengan Dokter Rayhan.
Magda sebenarnya enggan, tetapi melihat Rizal keluar, ia tak ingin melepas kesempatan. Gadis ini memutuskan membuang segenap rasa rikuh, lalu bergegas mengejar. Sebab, kapan lagi ia bisa berjumpa dokter pujaannya? Sudahlah di kampus jarang ketemu. Apalagi di rumah sakit. Jadi, ini kesempatan langka baginya.
"Pak Dok!" serunya riang, menepis sungkan.
Rizal terkejut karena boneka Jepang itu tahu-tahu sudah berada di sisinya. Sesaat ia terpana, mendapati sepasang dekik langka di kiri dan kanan pipi bening mahasiswinya. Namun, secepat kilat, dipalingkannya pandangan lurus ke depan.
Langkah Rizal cepat menuju ruang sentral triase. Magda berlari-lari kecil mengiringi. Gadis itu mengingatkannya pada kelinci putih imut milik adiknya. Cici kelinci juga hobi lompat-lompat seperti Magda. Atau Magda yang serupa kelinci?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Doctor
ChickLitMarrying the Bashful Doctor (Menikahi Dokter Pemalu) Cerita ini spin off dari novel #Romantic_Nurse Aku tahu, cewek ngejar cowok itu malu-maluin. Etapi, tunggu dulu. Gaya ngejarku nggak kayak cewek kebanyakan, lho. Aku pilih jalan yang masih ngejaga...