#Menikahi_Dokter_Pemalu
By Eva Liana
Bab 13 Narsis Tingkat Profesor (2)Aku tak jadi jatuh. Ada yang menyelamatkanku! Alhamdulillah. Gegas aku berbalik untuk berterima kasih pada malaikat penolongku. Namun, lidahku bagai dikepang begitu menyaksikan orang yang baru saja menopang punggungku.
Aaa, Dokter Rizal kenapa tau-tau ada di sini, siiih?
"Ehem." Suara deham canggungnya mengusik gendang telingaku.
"Pa-Pak Dok, a-ada di sini, ya?" Aku terbata-bata sambil blingsatan membenahi kerudung. Jantungku berdegup kencang. Aih, aih, setelah seminggu tak ketemu, sejak kejadian nahas di kantin itu, rinduku kian menggebu. "Maaf nggak melihat Bapak. Ituuu, Dokter Angga yang dorong saya."
"Eeh, jangan sembarangan nuduh! Siapa yang ngedorong kamu? Kamunya yang jatuh sendiri!" Dokter Angga berdecak kesal di akhir kalimatnya.
"Ngga, udahlah," tegur Dokter Rizal, lunak. Ada jejak putus asa dalam nada suaranya
Kulihat tampang ganteng dokter cintaku seperti dokter yang gagal menangani pasiennya, dan terpaksa menghadapi kematian sang pasien. Penuh penderitaan.
"Magda, saya dapat pesan dari .... Ah, gimana ya ngomongnya. Pokoknya kamu nggak boleh menangani pasien cowok. Tadi saya udah ngomong ke dosen koordinator ujian praktik keperawatan dan kepala ruangan ini." Dokter Rizal berbicara pelan sambil menunduk. Tidak mau memandang mukanya. Suaranya rendah macam orang ditagih utang.
"Siapa siapa--"
"Dah, jangan nanya-nanya! Gosah sok gesrek atau rese. Tadi aku udah pilihin pasienku yang baru diantar dari IGD ke ruangan ini. Ibu-ibu muda, dengan gastritis sebagai diagnosa sementara. Ada gejala depresi," potong Dokter Angga, arogan sekali.
"Eh, emangnya Dokter siapa, pake ngatur-ngatur pasien buatku? Sejak kapan Dokter Angga bertransformasi jadi pengawas ujianku?" bantahku, tidak kalah sok kuasa.
"Sejak kamu nyebar hoaks sampai terdengar ama grup mamah-mamah sosialita! Cukup! Males nyeritainnya, bikin auto gondokan."
"Ih ish, Dokter, kok, jutek gini ama aku? Kita, kan, udah clear? Jangan dipanjangin, dong, masalahnya. Mentang-mentang aku cuma mahasiswi ekstensi." Aku mencak-mencak.
"Bukan manjangin. Kamunya aja yang suka cari masalah sama aku."
"Sembarangan. Dokter aja kaliii yang sensi. Hati-hati, lho, Dok. Terlalu benci bisa jadi cinta." Kuruncingkan bibir ini, persis emak-emak julid.
Aneh, Dokter Angga mendadak terdiam, macam habis disuntik anti kejang. Ia terkesima dengan tatapan fokus ke ....
Apa? Apa dia masih waras? Masa' dia melototin bibirku, siiih? Dadaku sontak mendesir. Ada rasa tidak rela dipandangi begitu oleh orang yang tak kusuka. Cepat-cepat kukulum bibir, sehingga cemberutnya sirna dari permukaan.
Dokter Angga refleks membuang pandang ke arah kiri. Aku tidak tahu apakah dia sengaja menghindar setelah tertangkap basah memandangi wajahku, atau berubah fokus ke arah Ners Ishana yang tahu-tahu muncul di sebelah kiriku.
"Barusan dapat chat dari kepala ruangan. Magda diminta ganti pasien, atas instruksi koordinator ujian praktik klinik keperawatan." Wajah Ners Ishana tampak keruh.
Huhu, aku selamat dari pasien gaje barusan. Saat hendak berterima kasih pada Dokter Rizal, tahu-tahu ia sudah memutar tubuh dan pergi tanpa berpamitan. Dokter Angga menyusul langkahnya.
Bener-bener nggak sopan. Gerutuku dalam hati. Kesal campur gemas hati ini gara-gara diabaikan. Sekaligus ada rasa penasaran, mengapa duo dokter jomlo idola satu kampus keperawatan dan rumah sakit itu, sampai bela-belain terjun bebas mengintervensi ujianku?
Akan kuselidiki nanti.
Aku ganti pasien untuk ujian praktik, dalam hitungan menit. Pasienku kali ini seorang ibu muda belia yang mengeluh nyeri lambung. Ada infus D5% terpasang di lengan kirinya.
Berhubung injeksi analgetik (penahan nyeri), antivomit (anti muntah), dan penetral asam lambung, telah diberikan perawat IGD, sesaat sebelum pasien diantar ke ruangan ini, maka tak ada tindakan lain yang perlu kuberikan. Ners Ishana menyuruhku melakukan pengkajian dan pemeriksaan fisik dasar, lalu mencatatnya di rekam medik.
Dengan senang hati, kulakukan tugas mudah itu. Kubilang mudah, karena hanya mengandalkan keterampilan berkomunikasi saja. Aku juga melakukan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi (melihat), auskultasi (mendengar lewat stetoskop), perkusi (mengetuk), dan palpasi (meraba).
Sayang sekali aku kecele. Pasien tak mau menjawab sepatah kata pun apa yang kutanyakan. Bahkan dia tidak mengeluh sakit atau apa ketika kutekan sedikit bagian ulu hati dan perut di sekitar pusat. Padahal, biasanya pasien gastritis atau maag, akan mengeluh lambungnya nyeri kala ditekan atau bagian itu.
Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Menurut keluarganya, ibu muda itu baru seminggu melahirkan. Tiba-tiba terlihat diam dan menarik diri, serta tidak sudi mengurus bayinya.
"Menurutmu, dia kenapa?" tanya Ners Ishana, mengujiku.
"Kemungkinan menderita babby blues, Ners." Kujawab mantap.
Ner Ishana hanya mengangguk. Ia memberi isyarat agar aku menyudahi proses pengkajian yang hanya berujung bungkamnya pasien.
"Kamu ke ruang perawatan, ya. Gabung dengan teman satu timmu yang ujian di ruangan sini juga. Kalian mesti presentasi di post konference antar mahasiswi."
"Siap, Ners," sahutku semringah.
Horee, akhirnya satu tahap ujian terlampaui. Aye aye senangnyaaa .... Bentar lagi, ujian berakhir. Saatnya menagih janji pada Papi Mami. Uhuyy .... Aku tak peduli bagaimana cara mereka memenuhi impianku yang satu ini. Pokoknya aku tau beres.
Pak Dokter, tunggulaaah ....
Aku bersorak dalam hati dengan kenarsisan tingkat profesor.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Doctor
ChickLitMarrying the Bashful Doctor (Menikahi Dokter Pemalu) Cerita ini spin off dari novel #Romantic_Nurse Aku tahu, cewek ngejar cowok itu malu-maluin. Etapi, tunggu dulu. Gaya ngejarku nggak kayak cewek kebanyakan, lho. Aku pilih jalan yang masih ngejaga...