Kumenangis (1)

204 22 2
                                    

#Menikahi_Dokter_Pemalu
By Eva Liana
Bab 14 Kumenangis (1)

Ujian praktik klinik keperawatan kulalui dengan lancar, meski sempat ada insiden pergantian pasien. Beruntung aku menyukai ilmu keperawatan jiwa dan senang sekali mempraktikkan keterampilan komunikasi terapeutik terhadap pasien selama magang di D3 keperawatan dulu.

Aku memang fobia melihat darah, serta enggan berurusan dengan yang namanya jahit-menjahit luka. Akan tetapi, gara-gara pernah diomelin Ners Susan--perawat CI (Clinical Instruktur=pembimbing klinik mahasiswa keperawatan)--aku tersadar. Memang butuh waktu untuk menyembuhkan fobia ini. Namun, setidaknya aku mesti kuat mental. Kenapa demikian?

Waktu itu, saat kami masih magang tingkat dua di D3 Keperawatan, Nayla mendadak minta gantikan aku menjaga pasien khusus di ruang ICU. Sebab, papanya mendadak sesak napas di rumah, dan dibawa ke IGD.

Terpaksalah kusanggupi amanah itu. Bagaimanapun enggannya, demi rasa setia kawan, aku tak mungkin menolaknya. Apa yang kusaksikan di ruangan menakutkan itu, sesuai dugaanku. Beberapa pasien kritis diantar ke ruangan tersebut. Rata-rata mengalami penurunan kesadaran.

Ada yang terkena serangan stroke perdarahan. Sebuah penyakit, yang disebabkan tekanan darah tinggi kronis, yang kemudian mengakibatkan pecah pembuluh darah otak. Pasiennya langsung koma dan mengorok. Aku sangat terganggu mendengar suara ngoroknya. Namun, ketika pasien stroke itu menemui ajalnya, aku merasa bersalah karena sempat berharap ngoroknya berhenti. Tak sampai tiga jam setelah aku mengeluh tak senang, ngoroknya beneran berhenti, bahkan selama-lamanya.

Oh Ya Tuhan, bukankah itu sama saja dengan aku mengharapkan pasien itu mati? Demikian rasa bersalahku.

Pasien berikutnya, awalnya masuk dalam keadaan delirium alias setengah tak sadar. Tahu-tahu, tanda-tanda vitalnya memburuk. Pasien itu kejang-kejang dengan mulut berbusa paska kecelakaan. Bukan hanya busa yang keluar, tapi juga isi perutnya. Aku sampai muntah-muntah ketika tanpa sengaja melihat cairan kuning kehijauan bercampur darah segar, menyembur keluar dari mulut pasien tersebut. Pasien itu pun hanya bertahan dua jam di ICU.

Satunya lagi, pasien paskaoperasi luka robek akibat kecelakaan kerja. Pasien ini mengalami perdarahan hebat, dan belum sadar karena pengaruh bius general sehabis operasi.

Aku nyaris pingsan menyaksikan dua kematian berturut-turut, ditambah pasien-pasien gawat lainnya.

Saat itulah Ners Susan menasehatiku panjang lebar. Namun yang menempel di benakku hanya satu kalimat. Perawat itu harus kuat mental. Maka kupikir, aku mesti mendalami ilmu psikologi serta belajar agama sedikit demi sedikit untuk memperkuat mental menghadapi pasien dan berbagai tantangan di dunia medis.

Lama-lama aku jadi menyukai ilmu keperawatan jiwa, meski teorinya tak terlalu hapal. Aku cenderung suka mempraktikkan keterampilan mengamati pasien dan berkomunikasi dengan mereka.

Nah, itulah sebabnya, aku cukup lancar menjawab pertanyaan dalam post konference, mengenai ibu yang mengalami depresi post partum, yang lebih dikenal dengan sebutan babby blues syndrome.

Seminggu kemudian, nilai ujian praktikku keluar. Alangkah bahagianya hatiku, bisa lulus dengan nilai gemilang.

"Ish ish, mahasiswi gesrek macam kamu, kok, bisa dapet nilai A di uji kompetensi praktik, ya?" Satu suara sinis mampir ke telingaku saat memperhatikan list nilai praktik di papan pengumuman dekat kantor administrasi dosen kampus.

Aku melirik, lalu melengos tak acuh. Ada Dea, sainganku dulu, dalam soal gonta-ganti pacar. Sekarang tidak lagi. Sebab aku udah tobat.

"Yang ngatain gesrek, sebenernya lebih gesrek," balasku, pedas.

Hati ini agak heran, mengapa tahu-tahu ia berkomentar julid begitu. Meskipun kami tidak bermusuhan, tapi ada semacam perjanjian tak tertulis di antara kami untuk tidak saling mengusik. Jadi, aku dan Dea cenderung menghindari perdebatan.

Lagipula, Dea adalah senior satu tingkat di atasku. Aku tak mau cari penyakit sama kakak tingkat, terutama yang punya geng kayak Dea. Bisa gawat nanti kalau dia mengajak gengnya mem-bully-ku. Sebab jelas aku yang salah kalo nyari gara-gara duluan.

Meskipun demikian, aku tak akan tinggal diam kalau ditekan. Prinsipku, tidak mau cari masalah, tapi jika masalah datang, aku hadapi. Kalau di-bully, aku balas mem-bully. Nayla pernah bilang, kita harus membela diri jika ada yang mem-bully. Hanya saja, cara membalasnya mesti elegan. Eh, caraku elegan, nggak, sih?

Uh, bo** amat. Elegan nggak elegan, pokoknya aku nggak sudi direndahkan si Dea. Dagu kuangkat agak tinggi, dengan tatapan meremehkan.

"Oke, dulu aku emang gesrek karena males belajar. Tapi gini-gini aku selalu lulus ujian dan nggak pernah ngatain orang. Soalnya, aku pernah denger hadist nabi. Barang siapa yang mengejek, ejekannya bakal balik ke dirinya sendiri."

Tampak Dea memelototkan matanya yang mirip panda saking tebelnya maskara di atas dan bawah mata. Mulutnya maju dua senti, mirip ikan mas koki nelan umpan.

Uhuk. Ternyata dia jelek kalo marah-marah. Aku menahan tawa. Eh, dia kelihatan tambah marah. Wajahnya merah dan cuping hidung kembang kempis, mengingatkanku pada banteng yang ketemu kain merah. Hup laaa!

"Kamu ngerayu Pak Rizal, kaan?" tudingnya tiba-tiba. "Dasar cewek g***el!"

***

Bersambung

Lanjutannya bisa dibaca di KBM App yaaa 😍 Mohon dukungannya dengan berkenan baca di situ 😘

Sweet DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang