Perjanjian Gokil (2)

225 24 4
                                    

#Menikahi_Dokter_Pemalu
By Eva Liana
Bab 9 Perjanjian Gokil (2)

Hari ini, jadwal dinas pagi. Aku melompat bangun, menuju kamar mandi sambil bersenandung riang. Di bawah kucuran air dari shower, otak yang jarang kugunakan, kini berpikir keras. Langkah apa yang bisa dilakukan agar Dokter Rizal mau memandangku, sebentar saja?

Bayangan Dokter Arum yang cemberut dengan sinar mata penuh permusuhan, membuatku menggigil. Beranikah perawat kecil ini bersaing dengan dokter spesialis anestesi sejenius Dokter Arum? Aaah nyaliku langsung ciut.

Aku keluar kamar mandi dengan air mata berderai. Apakah mesti kubenamkan segala upaya? Bolehkah aku jadi perebut tunangan orang? Huhu

Saat mengenakan jas putih perawat, terdengar ketukan di pintu kamar disertai suara panggilan mama.

"Udah bangun, Da?"

"Udah, Maa." Bergegas kubukakan pintu untuk Mama.

"Tumben udah siap?" celetuk Mama sambil memandangiku dari atas sampai bawah, bikin ilfeel. "Biasanya abis subuh ngelingker lagi kayak ular ampe jam delapan. Trus telat dinas atau kuliah pagi. Ini baru jam tujuh, malah udah pake seragam."

Aku terkesiap. Baru tersadar kalau sehabis Subuh, lupa tidur lagi, saking kepikiran Dokter Rizal. Perlu disesali nggak, ya, bangun pagi-pagi begini tanpa ketiduran kayak biasa?

"Bener juga, ya? Magda ngerasa rugi, nih. Ya udah bobok lagi, ah."

"Eeeh, jangan, jangan! Mama bangga ngeliat kamu nggak tidur pagi. Btw itu mata kenapa? Putri Mama nangis, ya?"

Aku mengangguk sambil menggigit bibir menahan mewek.

"Magdakuuu, kok, nangis? Putri mama jarang nangiiis, diiih, bikin Mama sedih ...."

Mama langsung memelukku sambil sesenggukan. Lho, kok, Mama yang nangis duluan, sih? Air mataku jadi batal keluar, deh. Alih-alih sedih, aku malah jadi sibuk membujuk Mama supaya tenang.

"Mama jangan nangis gitu, dong, ah. Mestinya Magda yang mewek. Lha, ini malah Mama. Gimana, sih?" Bibirku mengerucut. "Udah diem, Ma. Magda gak jadi curhat, nih."

"Waduh, iya, iya, nih, Mama berhenti nangis." Mama nyedot ingus cukup nyaring, bikin aku merinding jijik. Halah, Mama, Mama .... Lebay.

"Mama nggak pernah tega lihat kamu sedih. Kenapa kenapa kenapa, Nak? Pagi-pagi udah buat Mama mewek."

Kugosok-gosok mata yang mengembun agar batal mengalirkan tetes bening.

"Magda lagi patah hati, Ma."

"What? Mama gak salah denger, nih? Putri mama yang cantiknya ngalah-ngalahin Miss world patah hati? Siapa yang berani nolak gadis Mama?" Mama langsung naik pitam.

"Mamaaa, ternyata cantik aja nggak cukup."

"Berarti itu cowok songong banget." Mama tambah emosi jiwa.

"Nggaklaaah. Dia nggak suka Magda karena Magda petakilan, rada sengklek, mager, ama idiot. Huhu ...."

"Apaah? Siapa yang bilang gitu?" Mata Mama melebar dan bola matanya menonjol sampe nyaris lompat. Mungkin saking gusarnya. Aku jadi ngeri.

"Magda sendiri, Ma."

"Maksudnya gimana, nih? Anak Mama ngejelekin diri sendiri?"

"Iya, Ma. Magda insekyur berhadapan ama cowok yang Magda suka." Kupasang wajah teraniaya. "Sedihnya itu, dia udah tunangan. Tunangannya pinteeeer banget."

"Etapi tu cowok belum nikah ama cewek lain, kan?" sambar Mamaku yang gaul abis. Maklum, pergaulannya di dunia sosial media lumayan aktif. Mamiku selebgram. Ngalah-ngalahin putrinya.

"Belum, sih."

"Bagus. Masih bisa dipelet." Mata Mama berbinar-binar jahat. "Asal bukan laki orang, masih bisa diperjuangkan, Da. Mama nggak bisa tolerir kalo tu cowok dah nikah. Pantang gadis Mama jadi pelakor! Reminded that!"

"Ciee sok english." Aku menjebi.

"Kamu, tuh, ya, IQ cerdas, tapi EQ jongkok!" banting Mama.

Aku hanya bisa cengengesan. Demikianlah Mamaku. Bangganya kelewatan sama anaknya. Namun, tak segan-segan juga membanting-banting harga diri anak sendiri kalo emang si anak salah.

Aku pun pasrah, jarang ngebantah, asalkan mauku diturutin. Halah, lagian kapan, sih, kemauan Magda Chantika nggak dikasi ama Papa Mama?

Apalagi hal sebesar ini. Harapan mulai menyala di hatiku. Mungkinkah aku bisa menggunakan pengaruh Mama di dunia entertainment untuk mengejar dokter cintaku?

"Baidewe, bentar, Ma, tadi aku dengar Mama mau maen pelet. Ealah, ampun, deh, Maaa, zaman milenial gini, kok, masih jadul gitu?"

"Pelet bukan sembarang pelet." Mama terkikik licik. "Zaman now peletnya bukan ke dukun. Tapi ke pejabat. Papamu, kan, aktor ganteng yang tersesat jadi pejabat. Bilang sama Mama, cowok itu kuliah dimana?"

"Nggak kuliah, Ma."

"Waks, gak kuliah? No no, delete jadi calon mantu!"

"Ish, Mamaa, maksudnya dia udah nggak kuloah lagi karena udah luluuuus jadi dokter!"

"Uwuwuuw, dokter, ya? Boleh juga."

"Dosen di kampus Magda, Ma. Tapi dia cuek banget." Kutampakkan wajah memelas. "Udah punya tunangan."

"Ck, gampang. Mana biodatanya?" Mama menengadahkan tangan.

Aku menatap takjub.

"Beneran Mama Papa bisa ngurusin Magda ama Pak Dokter?"

"Harusnya Mama yang nanyain kamu. Beneran udah siap nikah? Surprise, deh, Mama, kalo anak Mama yang malasnya minta ampun ini siap nikah!" Mama tampak antusias, ngalah-ngalahin Army ketemu BTS.

"Siap kalo ama Dokter Rizal," sahutku mantap. Entah angin apa yang ngerusak isi kepalaku kini. Usiaku belum genap 21 tahun, tapi udah kebelet nikah ama pak dokter. Ada dorongan ingin dilindungi, dididik, dan diimami oleh Dokter Rizal. Aku terdorong jadi anak baik dan rajin di hadapannya.

"Aiiih, ini keajaiban dunia kesembilan namanya setelah kota kuno Petra!" seru Mama gegap gempita. "Mama Papa bakal gelar jalan tol buat perjodohan kalian! Tapi ada satu syarat dari Mama! Mutlak, lho!"

"Apa syaratnya, Ma?" Aku berdebar tegang campur senang. Bunga-bunga harapan kian bermekaran di hati ini. Aku percaya, Mama Papa pasti berhasil memenuhi keinginanku. Mereka belum pernah mengecewakanku. Jadi aku yakin, mereka tak bakalan gagal. Kalo gagal, aku bakal nangis sambil guling-guling dan garuk-garuk lantai.

"Syaratnya, pertama, Mama pengen kamu belajar yang rajin, dan IP jangan di bawah 2,5 seperti biasanya. Kedua, menuju detik-detik perjodohan, mesti latihan jadi cewek sejati."

"Hah? Nggak fair, dong. Hasilnya belum jelas. Gimana kalo gagal? Rugi, dong, Magda jadi anak rajin," ungkapku, dongkol.

"Berarti cinta palsu, nggak siap nikah beneran. Ya udah tutup buku, case closed." Mama memutar langkah, sok jual mahal.

"E, e, eh, bukan gituu, Maa. Ya udah, oke deh. Magda sanggupin syarat itu!"

"Deal!" Mama tertawa girang. "Mulai besok, buktikan cintamu itu! Kamu ujian final semester genap 3 bulan lagi, kan? Mama pengen lihat hasil kerjamu. Kalo oke, siap-siap akad nikah sebulan abis nilai IPK-mu keluar!"

"Huhu, syaratnya berat bangeet." Kugaruk kepala yang tak gatal. "Baiklaaah," ungkapku, dengan nada seperti orang disuruh ngangkat karung satu kwintal.

Aaah, Mama gokil banget, siiih.

****

Bersambung

Sweet DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang