Satu

30 3 7
                                    

Langit malu-malu memancarkan cahaya merah muda. Kamu dan aku selalu sama, Taehyung. Sama-sama suka fajar yang samar-samar terlihat di kaki langit sebelah timur, sama-sama suka menyaksikannya dari balik tirai yang disingkap, dari balik jendela kamar yang kadang dipeluk rinai selepas hujan malam-malam.

Sekilas dwimanikmu menatap milikku, tak sengaja. Atau mungkin kau hanya risih saja karena aku tidak berhenti membidik sempurnanya presensimu melalui manik mataku.

Tapi, Taehyung, aku mencintaimu, dan kamu tahu.

"Aku tidak akan tinggal lama, Sei," katamu, telapak tangan besarmu itu meraih milikku, menggenggamnya. "Aku tidak mau ibumu marah lagi."

Aku menggeleng, meraih tanganmu yang lain dan ikut menggenggamnya. Kamu tahu aku tidak pernah siap kamu tinggalkan. "Tidak, Tae. Ibuku tidak akan tahu, lagipula ini masih terlalu pagi. Tinggallah lebih lama lagi."

Kamu mengangguk, tapi iris selegam jelaga milikmu tampak tak kosong sebagaimana yang biasa kulihat. Kali ini tampak lebih berisi, kamu tampak sedang memikirkan sesuatu dan terlihat tidak cukup nyaman didekatku.

"Ada apa, Tae?"

Kamu tersenyum tipis, tipis sekali sehingga aku sulit untuk menyebutkan hal itu sebagai sebuah senyuman, lalu menggeleng lagi.

Ini tidak seperti biasanya, Tae. Karena biasanya resonansi menggelegar yang menjejal runguku itu suaramu, bukan desau ringan milik Tuan Pagi tatkala ia mulai menggeliat, yang artinya, cahaya merah muda itu akan segera memudar, digantikan dengan matahari yang begitu terik menyengat.

Sangat sunyi.

Bahkan debu-debu yang tak sengaja disapu angin yang masuk tanpa etika dari arah jendela yang kubukakan sedikit, terdengar runguku, menyapanya dengan sedikit payau.

Aneh, ya, Tae. Tidak biasanya seperti ini, padahal, hari pernikahan kita sudah dekat. Benar, kan?

Tidak ada percakapan tambahan, kamu masih diam, Taehyung. Aku yang tak pandai bicara tidak tahu harus memulai pembahasan seperti apa. Alasannya tentu saja, kamu pemilih topik yang istimewa, sepertimu, yang bisa dibahas panjang-lebar hingga aku lelah mendengar, selalu menarik hingga kedua sudut bibirku tak berhenti ditarik.

Kamu istimewa, Taehyung. Istimewa sekali sampai aku tidak bisa jauh darimu.

Aku sangat mencintaimu.

"Tentang pernikahan kita..."

"Tidak, Sei." Kamu memotong ucapanku. Kenapa? Bukankah dulu kamu sangat senang jika aku yang lebih dulu membahasnya? "Kamu tahu kita tidak akan menikah."

Tidak, Taehyung. Jangan katakan itu. Kita akan menikah, kita pasti menikah.

"Kenapa katakan itu?"

Aku sedih, Taehyung. Kamu tahu aku mencintaimu lebih dari apapun dalam hidupku, jadi kumohon, jangan katakan tidak.

"Sei, kumohon jangan begini."

Kenapa kamu berkata seperti itu, Tae?

"Aku akan menikahi wanitaku, Sei, kumohon, jangan mencintai aku lagi."

Demi Tuhan, itu menyakitkan, Taehyung. Selama ini, setiap hari, setiap detik, yang kupikirkan adalah tentang pernikahan kita yang seharusnya sudah semakin dekat, tentang bagaimana wajahmu adalah objek paling indah yang akan pertama kali kulihat saat bangun dari tidur, pun saat siap terlelap menjemput mimpi. Kamu tahu kamu adalah euforiaku, lalu kenapa kamu katakan itu?

"Kamu bilang kita akan menikah, Taehyung." Lirih, Tae. Lirih sekali aku mengucapkannya. Lirih saja sudah membuatku kepayahan menahan sakit yang sekonyong-konyong mengoyak sebagian hatiku, jadi manakala aku mengucap lebih keras, mungkin hatiku tak akan tersisa.

Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi BersamaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang