Hari mulai terik, dan sekarang aku sedang di halaman belakang rumah bersamamu, Yoon. Kamu tidak ingin aku duduk-duduk di halaman depan karena kamu juga tidak ingin banyak diperhatikan orang-orang seperti yang biasa Jungkook dapatkan. Kamu selalu ingin sepi, kan, Yoon?
Astaga, ini pukul dua siang, Yoon!
Mentang-mentang kulitmu tidak bisa hitam bukan berarti siang-siang begini kamu mengajakku bertemu. Seperti biasa, hanya saja, aku tidak membawa pisau hari ini.
"Kamu berjanji padahal." Kamu membuka suara.
Aku yang sibuk memerhatikan tanaman milik ibu yang diterpa angin jadi menoleh padamu.
"Kamu tidak ingin teman-temanku tahu, menyembunyikan semua lukamu, berjanji kamu akan sembuh dan tidak menyakiti dirimu lagi." Kamu menatapku, Yoon. Lekat sekali. Seolah kamu takut jika memalingkan wajahmu aku akan hilang. Tanganmu lantas meraih lengan sebelah kiriku, menarik kaus bagian lengan kiri itu hingga atas siku. Dan tanda yang semalam kubuat bisa kamu lihat. "Lalu ini apa, Sei? Ini terlihat baru."
Intuisimu tajam sekali ya, Yoon. Padahal lenganku kututup rapat-rapat, tapi kamu bisa tahu kalau aku menyakiti diriku. Lagi.
Kamu menghela napas, sedikit terlihat gusar tapi kamu tidak bisa benar-benar marah padaku. "Kamu bilang akan menyakiti dirimu di depanku." Dwimanikmu tepat menusuk milikku, Yoongi. Aku terpaku. Irismu hitam sekali, lebih dari Taehyung. "Tapi kenapa kamu melakukannya sendiri? Kamu juga sudah berjanji tentang itu, Sei."
Aku tersenyum tipis, getir. Lidahku tiba-tiba kelu, Yoon. Aku merasa aku salah hanya saja tidak tahu caranya meminta maaf. Padahal kamu satu-satunya orang yang mengizinkanku melakukan apapun pada diriku sendiri.
Hanya kamu, Yoongi. Hanya kamu yang selalu melihatku dengan lihai menggoreskan ujung pisau pada tanganku, dekat nadi, ingin mati. Karena kamu pikir, kalau kamu melakukan itu di depanmu, saat di mana aku akan menusuk diriku sendiri bahkan menghentikan denyut nadi itu, kamu siap menahannya, kamu siap menyelamatkanku lagi, agar aku hidup.
Karena yang kamu lakukan adalah diam, melihatku yang meringis kesakitan manakala ujung pisau itu benar-benar menjadi pena yang menari dan memberikan bekas serta mengucurkan darah.
Hingga darah itu mengering, dan goresan selanjutnya kubuat lagi.
Kamu tidak ingin aku terluka, Yoon, tidak seperti Taehyung. Tapi kamu mengizinkanku menyakiti diriku sendiri beberapa kali karena kamu tidak ingin menyaksikan aku mati tergantung di sebuah tali. Kamu pernah mendapatiku dalam posisi seperti itu dua kali dan berhasil menyelamatkanku. Jadi pilihanmu hanya membiarkan aku mati atau membiarkanku menyakiti diriku sendiri.
Aku juga melarangmu untuk memberitahu temanmu, dua orang akan marah sampai tidak mau bicara denganku, dan tiga orangnya lagi akan memarahiku sampai mati. Kecuali Taehyung, dia hanya akan diam, atau malah, bertepuk tangan (?)
Benar begitu, kan, Yoon?
Tanganmu mengambil gitar yang kamu letakkan di bawah bangku taman. Senar-senar jenjang dan kaku itu perlahan kamu petik, jemarimu yang hangat digenggam itu menyentuh senar kurus kerontang tak bernyawa dengan afeksi, membawa nada surgawi, runguku tak mau berhenti mendengar.
Kamu selalu pandai memainkannya, Yoongi.
"Maaf, ya, Yoon." Aku menunduk, membawa kaus bagian lenganku turun agar luka yang masih menganga itu tertutup dan tidak ibu ketahui. "Aku mengingkari janjiku."
Kamu tidak menatap dwimanikku, Yoon. Tapi bibirmu bergerak, menghasilkan suara, "Percuma, Sei. Percuma kamu minta maaf jika kamu akan mengulanginya. Kamu tahu aku cemas. Membiarkanmu menyakiti dirimu sendiri itu juga mencekikku. Jika saja aku punya pilihan lain..."
Jemarimu berhenti di udara, tepat di depan senar kurus itu, kamu menghentikan permainanmu yang begitu indah. Kamu tersenyum, Yoon. Tapi senyummu kentara sedih sekali. Padahal senyuman milikmu itu senyuman paling manis yang pernah kulihat.
Kamu menaruh gitar itu di tempat semula, melirikku lantas kembali membawa tanganku untuk kamu genggam. Kamu mengelap bibir, menatapku lekat, lamat-lamat. "Hidup, ya, Sei. Jangan seperti ini."
Lagi. Kukira kamu tidak akan menyuruhku hidup seperti Taehyung dan Jungkook. Aku, kan, tidak tahu artinya, Yoon. Tapi kenapa kamu memaksa? Kenapa kalian memaksa?
"Untuk kali ini, Sei, sungguh. Jangan menyakiti dirimu sendiri lagi," katamu lagi, netramu masih enggan dialihkan ke objek lain—mataku adalah satu-satunya objek yang kamu lihat. "Kenapa, sih, kamu tidak mau mendengarku? Kenapa, sih, kamu masih menyakiti dirimu sendiri? Padahal, sejak awal, kami ada untukmu agar kamu mencintai dirimu sendiri."
Mencintai diri sendiri itu apa, Yoon? Apa itu nama sebuah hidangan dari restoran mahal? Ataukah nama perhiasaan? Apakah itu enak? Mewah? Berkelas? Populer? Bagaimana bisa aku tidak bisa memilikinya? Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya?
Aku menggeleng, menunduk dalam, tiba-tiba matahari jadi kelewat terik menyengat tubuhku.
"Aku ... Aku suka, Yoon." Dengan gerak cepat wajahku menoleh, memposisikannya tepat di depan wajahmu agar kamu bisa melihatku, Yoon. Agar kamu tahu betapa menyedihkannya aku. "Aku suka menyakiti diriku sendiri karena ... aku bisa terluka—sebagaimana Taehyung melakukannya."
Taehyung selalu melukaiku, Yoon.
Itu menyakitkan. Sunguh.
"Kenapa, sih?!" Kamu tidak pernah berteriak, Yoon. Tapi kali ini kamu melakukannya. Mungkin kamu sudah lelah, ya, Yoon, menghadapi gadis sepertiku—yang tidak mau menurut, yang bodoh, yang payah. "Kenapa, sih, kamu suka sekali sama Taehyung?!"
Bak belati yang datang dari antah-berantah, terbang jauh mengawang-awang, luntang-lantung dibawa angin musim panas, bertemu serangga dan menyapa suhu panas, lantas menyambar dadaku, menusuk tepat area jantungku.
Perih, Yoongi.
Perih sekali.
Pertanyaanmu itu terlahir tanpa jawab, Tuhan membuatnya tanpa sebab. Aku menemukan Taehyung dan mencintainya, lantas tidak pernah mengerti kenapa itu bisa terjadi. Aku ini bonekanya Tuhan, Yoon. Hidupku tergantung apa yang Dia tuliskan, kendati biasanya itu kelewat menyakitkan.
Tuhan itu jahat sekali, kan, Yoon.
Ada miliaran manusia di dunia ini, di bumi ini, aku tidak pernah meminta Tuhan untuk membawaku pada sebuah cinta yang Taehyung miliki untuk orang lain. Di saat seharusnya aku bisa mencintai pria lain, aku malah terjebak.
Gelap, Yoon.
Hati milik Taehyung itu gulita sekali.
"Aku mohon padamu, Sei." Iya, kamu memohon. Sinar di matamu menandakan kamu sungguh-sungguh memohon. "Tolong. Tolong sekali. Jangan cintai Taehyung lagi. Jangan cintai kami. Cintai pria lain. Kamu pasti bisa."
Aku membeku.
Tanpa kamu memohon, aku juga ingin melakukannya, Yoongi—jika saja kamu tahu kalau aku tidak mampu.
Kamu menggenggam tanganku tatkala aku mulai terguncang. "Sei, kamu pasti bisa hidup tanpa Taehyung." Aku tidak yakin dengan yang satu itu. "Jadi ... hidup, ya. Demi ibumu."
"Sei!" Itu suara ibu, datang dari ambang pintu belakang yang semula tertutup rapat. "Ayo, masuk! Kamu belum makan!"
Wajah ibu itu sulit sekali ditebak, Yoon. Dia sangat perhatian padaku tapi dia sering marah-marah. Gurat kekecewaan dan sedih mendominasi ekspresinya siang-siang begini. Kira-kira ibu kenapa, ya, Yoon?
Yoon?
Yoongi?
Ah, tidak. Kamu bahkan sudah pergi. Pantas ibu tidak melihat. []
***
Catatan:
Apasi? Aku tu nulis apa? ㅠ_ㅠ
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi Bersamaan
FanfictionKata mereka, ibuku terluka. Tapi aku tidak paham. [] . . . . Publikasi: 23 Desember 2021 Selesai: 11 Februari 2022