Bersamaan

7 0 0
                                    

"Dia tidak gila!"

Belum sampai dua puluh empat jam sejak bentakan ibu yang pertama setelah mengetahui Taehyung datang pagi-pagi sekali kemarin, kali ini ibu kembali membentak, pagi-pagi sekali, dengan Ayah, di kamar sebelah.

Jimin baru saja pergi setelah berpamitan kalau dia tidak akan kembali lagi karena katanya, aku harus hidup. Iya, tidak ada satupun yang akan kembali untuk hari ini, kata mereka.

"Sekarang katakan padaku, apa salahnya?!" Suara ibu semakin kencang, kudengar isakannya semakin banyak. Ibu pasti tidak tidur, ibu jadi banyak kesal dan menangis akhir-akhir ini. "Dia menjadi korban pelecehan seksual mantan kekasihnya, lalu dirundung teman-teman sekolahnya karena berasumsi anak itu menjijikan sedangkan pelakunya tidak mendapat hukuman setimpal! Dia penderita cherophobia sejak kecil, dia takut bahagia, itu sebabnya dia tidak ingin bahagia—dia tidak pernah bahagia."

Helaan napas ibu berat sekali terdengar, aku memeluk diriku sendiri di pojok kamar, menutup diriku dengan selimut, tidak ingin mendengar. Kendati kenyataannya resonansinya semakin jelas merambat rungu.

"Kau tahu setelah itu kita memanggil psikiater, memindahkan sekolahnya, tapi dia mengurung diri, semuanya gagal!" Ibu menjerit. "Lalu entah bagaimana dia tiba-tiba jadi banyak mendengar lagu, mengenal mereka semua, dan mencintai pria-pria sialan itu melebihi dirinya sendiri."

Kurasa, setelah semua itu, Ayah tetap bungkam. Tidak satupun suara Ayah tertangkap rungu.

"Aku pikir, pria-pria itu membantu menyembuhkannya, karena setelah itu dia sembuh. Dia kembali bersekolah, memperbaiki hidupnya, menyelesaikan pendidikannya, bekerja, dan hidup seperti orang-orang sebayanya. Sampai akhirnya beberapa bulan lalu, atasannya memecatnya karena dia tidak sehat." Setelah berkali-kali ibu marah dengan menaikan oktaf suaranya, kali ini ibu melirih, sepertinya dia kelelahan. "Dan ya, suamiku, dia hanya tidak sehat. Dia tidak gila! Semuanya begitu tidak adil untuknya! Jadi, sekali lagi, aku ingin tahu, apa salahnya?! Apa salahnya sehingga untuk bahagia pun sulit sekali rasanya?"

Aku beranjak, menemukan tubuh ringkih ibu yang semakin kurus direngkuh Ayah. Celah kecil pintu yang terbuka membuatku melihat bagaimana hancurnya keadaan mereka berdua. Aku tidak paham kenapa.

"Atau paling tidak, apa salahku?! Apa salah kita berdua?! Apa salah kedua orang tua dan mertuaku sampai dia harus menanggungnya?!" Ibu terisak, baju Ayah basah karena ibu menangis di bahunya. "Tetangga-tetangga sialan itu sibuk memperhatikan dia yang selalu berbicara di taman depan. Katanya dia akan menikahi Taehyung, dia tengah berkelahi dengan Jungkook, memeluk Jimin, bercerita kepada Namjoon, menangis di depan Hoseok, merasa hidup dengan Seokjin, dia bahkan melakukan self-harm di depan Yoongi!"

Ayah mematung, mengerti perasaan ibu. Tapi aku masih tidak paham.

"Kau dengar aku?! Aku bahkan hafal semua nama pria itu! Aku bahkan tahu siapa saja, kapan saja putriku menyebut nama mereka! Aku paham! Aku mendengarnya! Dan itu menyakitiku!" Kali ini oktaf itu kembali dinaikan, ibu kembali marah, memukuli Ayah, dan menangis kencang. "Dia pernah sembuh dan bukan karena psikiater itu. Dia tidak gila, suamiku! Jadi kumohon, jangan perlakukan dia seperti orang gila. Jangan panggil psikiater sialan itu lagi."

Sejemang aku mematung, otakku bekerja lebih keras untuk menyimpulkan satu hal tentang percakapan, air mata, dan pukulan yang ibu berikan di depan mata Ayah. Sejemang lagi aku menutup mulutku, karena tiba-tiba aku sadar.

Dia yang ibu bicarakan adalah aku.

Aku menatap lamat-lamat seutas tali tambang yang cukup panjang setelah kugantungkan di atas. Entah kenapa, aku membiarkan pintu tetap terbuka, aku tidak tahu lagi yang ibu bicarakan. Tapi dari nada bicara dan apa yang mereka bicarakan, sepertinya mereka tidak suka teman-temanku. Jadi kali ini, aku menaiki sebuah kursi untuk membuatku kepalaku sejajar dengan tali memanjang yang melingkar kuat setelah disimpul di bagian bawahnya. Diameternya lebih lebar dari diameter kepalaku, tapi saat aku mengalungkan tali tambang itu pada leherku, aku memperkecil ukuran diameternya, sampai mencekikku.

Karena itu yang aku mau.

Selagi kakiku menapak di atas kursi kayu kecil yang sama ringkihnya seperti jiwaku dan milik ibu, aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan kalau tidak ada yang akan datang, tapi berharap Taehyung ke sini, mungkin saja dia ingin menertawakanku yang kelewat banyak mengharapkannya.

Tapi ternyata tidak, tetap tidak ada bahkan seorangpun.

Tidak apa-apa.

Aku menggantung, kepalaku pusing, leherku terasa seperti dicekik, dan semuanya terlihat sedikit gelap.

Sekilas, aku menatap Namjoon, Hoseok, dan Seokjin mengguncang tubuhku, menampar kedua pipiku agar kembali terbangun, aku juga melihat bagaimana Jimin, Yoongi, dan Jungkook menatapku dengan amarah yang begitu besar mengepul di mata mereka, dan Taehyung, di ujung sana, bersidekap sambil mengamati kamarku.

Aku lupa, lusa adalah hari pernikahannya.

Maaf, ya, Tae. Aku tidak bisa datang ke pernikahanmu. Kau tahu? Aku mati lebih dulu.

Beberapa detik sebelum kesadaranku hilang, aku melihat ibu dan ayah masuk kamar, menangis dan mencoba membangunkanku. Tapi nihil, Namjoon bahkan mencoba yang lebih keras dari itu.

Ibu, jangan menangis lagi, ya.

Ayah, tolong lebih kuat dari ibu, jaga dia, jangan biarkan dia lemah sepertiku, pastikan dia makan teratur, dan tidur dengan cukup.

Ibu, maafkan Sei, ya, karena telah merepotkan kalian.

Ayah, tepati janji Sei, ya? Ibu dan Ayah harus tetap hidup.

"Sei, aku minta maaf."

Aku tersenyum. Iya, aku memaafkan kamu, Tae.

Aku adalah orang yang gagal, banyak sekali gagalnya. Aku gagal dalam menjaga diriku sendiri dari si bajingan yang telah melecehkanku, aku gagal menjaga diriku dari perundungan menjijikan dari orang-orang di sekolahku, aku gagal bahagia, gagal merawat diriku karena pada akhirnya aku adalah satu-satunya orang yang menyakitiku, aku gagal mencintai diriku sendiri, dan kegagalan-kegagalan lainnya yang tidak ingin aku sebutkan.

Tapi paling tidak, untuk yang satu ini, aku berhasil.

Aku berhasil membawa diriku pergi. []












Fin.









***

Masih gak paham ini nulis apa sebenernya???

But finally it's a final!

🎉 Kamu telah selesai membaca Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi Bersamaan 🎉
Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi BersamaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang