dan

1 0 0
                                    

Wajahku sudah merah, kedua mataku bahkan jauh lebih menyeramkan dari itu. Baru kurasakan kalau ternyata tubuhku jauh lebih kurus dari beberapa bulan terakhir. Tidak, tidak. Aku kurus sekali. Payah sekali aku baru sadar setelah membanjiri kedua belah pipiku malam ini kendati sebenarnya aku selalu menangis setiap waktu.

Tapi, Hoseok, air mata itu tidak mau berhenti  keluar.

Kamu tersenyum, satu hati kamu bentuk dari lekukan bibirmu dan menghangatkanku. Namun, senyuman tulus itu semakin membuat hatiku teriris. Aku tidak tahu kenapa, tapi melihatnya membuatku merasa bahwa aku tidak cukup pantas untuk menangis dan menjadi semenyedihkan ini. Karena kamu tahu, Hoseok, masih lebih banyak orang di luar sana yang lebih pantas menangis dibanding wanita tidak jelas sepertiku.

Aku tahu tapi, sekali lagi, aku bahkan sulit mengontrol diriku untuk tidak mengeluarkan cairan sialan itu.

Memangnya di mana aku meletakkan samudera sampai rasanya malam ini seluruh air yang membentuk samudera itu luruh melalui mataku?

Malam ini begitu menyedihkan, ya, Hoseok, dan membosankan, tentu saja. Siapa yang tidak bosan memerhatikan wanita yang selalu menangis setiap kali bertemu?

Pada kenyataannya, memang begitu. Aku memang selalu menangis—benar-benar menangis—di depanmu. Tanpa perlu alasan, tanpa perlu luka. Karena saat aku melihat wajahmu, aku tahu aku aman untuk menangis. Seolah kamu adalah muara yang kucari selama ini, seolah kamu adalah tempat paling tepat untuk membentuk samudera dari yang ditumpahkan kedua mataku.

Sebelah tanganmu merangkul bahuku di atas tempat duduk yang siang tadi di tempati diriku dan Yoongi, matamu menerawang ke atas, barangkali mengabsen bintang apa saja yang mengorbit pada binar yang juga berada jelas di matamu, atau barangkali juga menemukan satu rasi baru untuk kamu tunjukan padaku karena kamu tahu aku suka bintang.

Andai, ya, Hoseok. Andai saja aku lebih menyukai bintang daripada Taehyung. Daripada kamu. Daripada kalian.

Obsidian yang tampak sangat lembut itu membidikku, lagi-lagi kamu tersenyum. "Kenapa berhenti?"

Kamu tahu aku memang payah menghentikan tangis. Kamu sudah terbiasa, tapi aku merasa bersalah. "Kamu selalu ingin aku menangis?"

"Aku tidak ingin kamu terluka, Sei." Ketulusanmu lagi-lagi membuat lukaku seolah menganga. Perih sekali. "Jadi aku lebih lega saat kamu menangis."

Aku diam sebentar, memandangi wajahmu yang kelewat indah dengan segala afeksi yang kamu tunjukan terang-terangan.

"Terkadang, tangisan itu bukan berarti kamu sedang terluka. Bisa jadi tangisan juga sedang membilas luka." Sebelah tanganmu mengusak suraiku pelan, sinar obsidianmu seramai bintang di langit malam. "Kendati aku tidak tahu, aku harap, tangisanmu ada sebagai pembilas luka, ya, Sei."

Kalau bisa kugambarkan malam lebih indah dari kata-kata, mungkin aku akan melakukannya. Bagaimana bintang-bintang begitu banyak dan terang malam ini, di musim panas. Bagaimana angin ikut membelai pelan presensi kita. Bagaimana terkadang dedaunan ikut bergerak kesana-kemari mengikuti irama dari yang diciptakan angin. Bagaimana lampu jalan menerangi kita dengan temaram. Bagaimana wajahmu menjadi satu-satunya objek yang lebih indah dari pemandangan yang kusebutkan sebelumnya.

Sekali lagi, aku heran, Hoseok. Bagaimana mungkin aku bisa lebih memilih Taehyung padahal kamu lebih baik?

"Tidak mungkin kamu akan terus menangis seperti ini." Suaramu membuatku semakin terpaku. Kamu begitu indah. Sayang aku tidak bisa goyah. "Kurang tidur, sedikit makan, pola hidupmu berantakan, Sei."

Aku mengulum bibir, menunduk, untuk pertama kalinya takut melihat wajah kelewat indah milikmu. Kadang aku bertanya-tanya, pemahat seperti apa yang bisa menciptakan lekukan sesempurna itu pada wajahmu?

"Bagaimana kalau ... kita bermain? Mungkin permainan akan membuat suasana hatimu membaik."

Itu bukan ide bagus. Aku tidak pernah suka permainan. Itu mengesalkan. Lagipula, aku berkali-kali menjadi objek permainan dari beberapa orang. Apalagi hatiku. Mereka bilang, "Ini hanya pemainan, Sei." Namun sepertinya mereka lupa siapa yang mereka jadikan objek permainan. Contohnya Taehyung, dia bilang, aku istrinya, hari itu saat pertama kali kami bertemu, saat yang sama ketika dia, mereka, datang padaku untuk menyelamatkanku. Lalu beberapa bulan yang lalu, Taehyung datang lagi, dengan seorang wanita yang pinggangnya ia peluk erat-erat, dia bilang aku temannya, hanya teman, katanya, "Yang dulu itu hanya gurauan, Sei. Kamu tidak tahu permainan seperti itu, ya?"

Wah, seru sekali, ya, hidupku sampai semua orang tertarik memainkannya.

"Aku tidak bermain," jawabku ketus.

"Kamu, kan, belum tahu—"

"Tidak!" Aku memotong ucapanmu. "Aku tidak suka permainan! Aku tidak akan bermain! Terserah seru atau tidak, aku tidak mau! Aku takut bahagia, Hoseok! Aku takut jika aku senang nanti Taehyung datang lagi! Aku tidak mau main!"

Dadaku naik-turun, kembang-kempis, kesal, dan lagi, aku menangis karena kamu tersenyum.

Senyuman kamu itu terlalu tulus, jika saja aku harus jujur, mungkin itu alasannya kenapa aku menangis. Karena saat itu aku merasa bahwa sekeras apapun hatiku, senyuman bak mentari yang kelewat hangat milikmu itu meluluhkannya.

Dan aku benci karena sebenarnya aku tidak mau menangis. Kita kan harus bersenang-senang, ya, setidaknya jika saja aku mau, tapi aku malah menangis, buruknya adalah setiap kali melihat ketulusanmu yang terlalu lembut.

Tanganmu terangkat lagi, tentunya bersama senyum secerah mentari pagi kendati ini malam yang gulita, mengusap suraiku kelewat lembut sampai rasanya aku ingin tidur di bahumu. "Kalau begitu berjanji satu hal padaku, ya, Sei?"

Oh, tidak. Janji? Yang benar saja!

Aku sudah muak dengan yang satu itu. Lagipula orang-orang yang membuat janji denganku selalu mengingkarinya lebih dulu. Tidak peduli apa yang mereka janjikan seolah, "Tidak apa-apa mengingkari, lagipula Sei akan mengerti."

Kamu belum melepas senyummu, dan aku tidak masalah dengan itu, aku suka senyummu kendati air dari mataku terus bergulir hingga menganak-sungai dan bisa saja rerumputan ini banjir karenanya.

"Hidup, ya, Sei." Senyummu mengembang lebih lebar. "Janji padaku untuk hidup setelah ini. Aku tahu kamu bisa."

Baru saja aku mau mendampratmu dengan ribuan kosakata yang sekonyong-konyong tersusun rapi di otakku, tapi suara ibu lebih dulu menyela.

"Sei, Sayang, ini sudah malam. Waktunya tidur."

Aku melihat presensimu sebentar lalu menoleh pada ibu lagi. Aneh, Hoseok. Tubuh ibu juga semakin kurus. Apakah ibu sedang diet? Untuk apa? Kurasa Ayah selalu menerima ibu apa adanya, aku juga. Jadi kenapa ibu kurus, ya, Hoseok? Apa ibu juga sama sepertiku?

"Ibumu memanggil, Sei," tegurmu, dan kamu tersenyum lagi.

Aku bingung. Semuanya kenapa terasa tidak enak, ya? Tiba-tiba perasaanku sulit diungkapkan.

"Kamu ... kamu tidak akan meninggalkanku seperti yang lain, kan?"

Kukira ada jawab yang akan kamu keluarkan dari mulutmu, setidaknya, kendati sakit, aku hanya harus memastikan, namun ternyata kamu hanya melengkungkan satu senyuman.

"Sei!" Ibu memanggilku lagi, kali ini suaranya lebih kencang, menarikku, membawaku menjauh darimu.

Ini aneh, Hoseok. Karena aku malah merasa bahwa aku yang menjauh dari ibu. Padahal, kan, aku sedang di sampingnya. []







Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi BersamaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang