"Aku benci kamu."
Kamu malah tersenyum, Jung. Aku heran. Padahal aku jujur.
Yang semakin tidak masuk akal, sekarang kamu malah tertawa, gigi-gigi kelincimu yang persis sepertiku jadi terlihat begitu menggemaskan.
Kamu menatapku sebentar dengan dwimanik legam dan besar, yang lagi-lagi persis seperti milikku, lalu tanganmu terangkat, mengacak suraiku gemas membuatku berdecak karena riasanku hancur oleh tangan jahilmu.
"Aku berkata jujur, Jung, sungguh. Sejak pertama kali kamu menyelamatkanku bersama keenam temanmu yang lain, aku sudah lebih dulu membencimu." Aku mendesah, benar-benar tidak tahu alasannya. "Mungkin ... kamu terlalu sempurna? Entahlah, tapi aku tidak menyukaimu. Namun sekarang, aku senang karena kamu adalah orang yang kubenci."
Tawamu semakin keras terdengar, merdu sekali, menatapku lekat. "Kenapa?"
"Karena biasanya aku akan mulai mencintai sesuatu yang kubenci." Aku tersenyum seolah tanpa dosa.
Kamu tertawa lagi, tapi seperti biasa, tanganmu jahil, mencubit kedua pipiku keras-keras, sepertinya memerah. Harusnya pria menggemaskan sepertimu tidak boleh gemas pada wanita sepertiku, Jungkook.
"Jadi setelah ditinggal oleh Taehyung, kamu mau mencintaiku?" Kamu menggodaku. Dasar sialan! Setiap bertemu, pasti selalu ingin diumpati. Kamu itu mengesalkan, Jungkook. Tapi aku menyayangimu, juga membencimu dalam waktu bersamaan.
Senyap merebut keadaan, menemani waktu yang terus berjalan, menyakiti orang-orang yang memiliki masa lalu kelam, mengejek orang-orang yang tidak punya hal sepadan, lalu sombong pada orang-orang yang terlalu mengagungkan masa depan.
Tiba-tiba lidahku kelu, Jung.
Aku bahkan tidak punya jawaban untuk pertanyaanmu barusan.
"Jangan mencintaiku, Sei. Aku bisa lebih menyakitimu dari Taehyung."
Aku terkejut, seketika membalikkan badan untuk menghadapmu sepenuhnya. "Kenapa?"
Tapi kamu tersenyum, indah sekali. "Kamu itu jelek. Aku tidak suka wanita jelek."
Aku memukulmu. Kamu selalu mengesalkan, Jung. Padahal, yang kamu katakan itu sebuah kebohongan. Kamu bukan orang yang melihat seorang wanita dari wajahnya, kamu bukan Taehyung. Tapi kalimatmu membuatku benar-benar berpikir. Karena, Jung, tiba-tiba saja aku takut kehilangan.
Kamu ikut diam, membawa kepalamu mendarat di bahu kananku, memeluk lenganku. Sepertinya nyaman sekali, ya. Membuatku pegal saja!
"Sei, sampai kapan kamu akan terus begini?"
Aku mengernyit, kedua alisku menjorok dalam, menukik sama-sama. "Apanya?"
Kamu mendongak, ingin menatap wajahku kendati itu membuat wajahmu begitu dekat dengan daguku, kamu bahkan nyaris mengecupnya. "Ibumu pasti marah, Sei."
Ah, aku mengerti. Ibu memang tidak suka dengan teman-teman yang baru kumiliki sekitar dua tahun belakangan. Padahal mereka yang menyelamatkanku dari hal yang membuatku ingin membunuh diriku sendiri. Tapi, ibu lebih membenci Taehyung lebih dari apapun. Mungkin, karena Taehyung membatalkan rencana pernikahan kami tiba-tiba.
"Jangan bahas itu." Sekonyong-konyong, di bawah terik matahari pagi, di depan rumah dengan duduk bersandar di kursi taman, aku menunduk dalam, getir dan perih masih bergumul untuk membuat perasaanku porak-poranda. "Pagi sekali Taehyung ke sini, dia mengatakan hal yang sama."
Kamu semakin mengeratkan pelukanmu pada lengan kananku, Jungkook. "Taehyung benar, Sei. Kamu harus memikirkan ibumu, jangan seperti ini. Lupakan Taehyung, ya? Lupakan kami juga."
Bagaimana mungkin, entitas terbaik yang kusesap belakangan harus kulupakan dalam sekejap? Bagaimana mungkin, presensi yang kerap kali kujumpai saat di masa-masa sulit harus kugantikan? Atau mungkin, jika bisa terganti, dengan apa, barangkali?
Lalu, bagaimana caraku menangis nanti? Siapa yang mau mendengar cerita murahan dari kehidupan sehari-hari yang tidak penting seperti milikku?
Pikiranmu terlalu pendek, Jung. Aku nyaris tertawa.
"Aku tidak mengerti, Jungkook."
Pergerakan kecil di tubuh bagian kananku mengirim sinyal bahwa kamu sedang mencari posisi yang lebih nyaman untuk bersandar dan mematri senyuman yang kelewat tipis.
Kamu malah mengusap-usap telapak dan punggung tanganku.
"Kamu mengerti, Sei." Kamu berdeham, tatapanku lurus menembus pagar yang terbuka dan melihat jalanan yang kosong tanpa kendaraan berlalu lalang. "Kamu hanya harus menerima. Demi ibumu, Sei. Kumohon. Biarkan dia hidup tenang, tidak terluka seperti ini. Dia ingin kamu hidup, Sei."
Hening.
Pernyataanmu perlahan menguap disambar angin musim panas. Terik sekali mataharinya, runguku sampai berdengung, apalagi kalimatmu yang rumit itu kian membuatnya semakin tuli, mengirim sinyal ke amigdala sampai membuat kepalaku pening.
Satu-dua kendaraan mulai terlihat di jalanan kecil dekat rumah, beberapa orang mulai berhambur keluar untuk beraktivitas, tapi kamu di sini, Jung, menemaniku. Hanya saja kamu menyuruhku hal yang sudah terlalu sering kudengar sampai hafal di luar kepala, sampai aku muak dan tiba-tiba ingin tuli saja.
"Aku hidup, Jungkook!" seruku cukup kencang. Karena kamu harus tahu, Jungkook, aku ini normal—bisa bicara, melihat, mendengar, menyesap, bahkan bekerja. Ya, kendati akhir-akhir ini memang aku sedang tidak punya pekerjaan dan kesehatanku kurang baik. Mungkin itu sebabnya aku dikeluarkan dari pekerjaanku tempo hari: karena aku kurang sehat. "Aku berbicara padamu, mendengarmu, bahkan merasakan sentuhanmu. Apa yang membuatmu berpikir kalau aku mati?!"
Mungkin rungumu lelah mendengar suara tak merduku ini, jadi yang kamu lakukan hanya mendongak, menatapku lamat-lamat kendati yang kutatap adalah jalanan yang mulai kosong lagi. Perlahan, kendati dwimanikku tak menatapmu, aku tahu kalau yang kamu lakukan adalah mendekatkan bibirmu pada daguku yang awalnya memang sudah krisis jarak.
Kamu mengecupnya.
"Kamu benar." Kamu tersenyum, manis sekali, terlihat tulus sampai aku tak mampu mengalihkan pandang. "Kamu bisa merasakan kecupanku. Tapi, Sei ... masuk ke rumah, ya? Orang-orang mulai ramai melihat ke arah sini."
Aku tertawa. "Itu karena kamu seorang idola, Jung. Kamu sudah terkenal di seluruh dunia. Mereka pasti ingin mendekatimu."
Kamu tersenyum lagi, menyampirkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga yang sempat malang-melintang ke sembarang arah akibat sapaan angin musim panas. Kamu menggenggam tanganku, erat sekali seperti tidak mau lepas. "Mereka memperhatikanmu, Sei. Ayo, masuk, ya? Nanti ibumu marah lagi seperti kemarin."
Kamu benar. Jika tahu orang-orang mulai ramai memperhatikanku, ibu pasti langsung keluar rumah dan meneriakiku untuk tidak keluar-keluar. Aku tidak mengerti, Jung, apa yang terjadi pada Ibu. Dia membencimu, kalian semua, tapi seolah tidak bisa mencegahmu untuk selalu berada di sisiku.
Akhirnya kamu mengantarku hingga ambang pintu, kamu takut ibu akan mengusirmu jika dia tahu. "Janji padaku, ya, Sei. Janji untuk benar-benar hidup. Tujuan itu banyak, perjalanan hidupmu masih panjang. Jaga ibumu."
Aku masih tidak mengerti.
"Aku harap kamu paham, Sei." Kamu mengacak suraiku sekali lagi, menepuk bahuku dua kali, lantas tersenyum tipis tapi cukup manis untuk dikatakan sebuah senyuman singkat. Tanganmu melambai setelah aku mulai masuk dan hendak menutup pintu—orang-orang yang tadi kamu bicarakan malah tambah semakin ramai. "Aku pamit, ya."
Pagi itu, harusnya kamu melihatku, Jung. Ibu kembali marah, kali ini sebuah piring keramik dibanting ibu hingga pecahannya berserakan dan mengenai kakinya sampai mengeluarkan darah.
Kamu benar, Jung. Ibuku terluka.
Dan aku masih tidak paham. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi Bersamaan
FanfictionKata mereka, ibuku terluka. Tapi aku tidak paham. [] . . . . Publikasi: 23 Desember 2021 Selesai: 11 Februari 2022