Bahagia

3 0 0
                                    

Kamu terdengar seperti orang yang gampang dan sering tertawa, padahal kamu tahu bahwa sebenarnya kamu lebih sering berbohong. Kamu sama sepertiku, Jin. Sama-sama suka berbohong dan mengkhianati hidup yang lebih dulu mengkhianati kita.

Ini sudah senja, aku di dalam kamar, menatap matahari yang mulai tenggelam dari arah jendela kamar, tepat di mana pagi-pagi sekali menyaksikan fajar menyingsing bersama Taehyung. Tapi kali ini, aku bersamamu, Jin. Dan kurasa itu lebih baik.

"Bagaimana harimu?"

Kamu bertanya, tapi kamu sudah tahu jawabannya. Hari-hariku tak pernah lebih baik dari sebelumnya, apalagi saat Taehyung mengenalkan kekasih barunya, yang akan segera ia nikahi, pada dunia.

Senyum tipis terpatri di wajahku, kamu juga ikut tersenyum, kamu tahu aku akan berbohong lagi karena memang biasanya itu yang aku lakukan di depanmu.

"Baik. Baik sekali." Tak terdengar seperti kalimat kebohongan, tapi aku berbohong. Aku tidak pernah baik saja, apalagi baik sekali.

Kamu tertawa, tahu aku berbohong, tapi membiarkannya, karena kamu pun begitu, Jin. Kamu juga sering berbohong hanya karena ingin mempermainkan kehidupan. Berbohong padanya seolah kamu baik, seolah kehidupan itu bukan apa-apa, tapi kamu tersiksa.

Sekarang, mata serigalamu menatapku, tidak cukup lekat, nyatanya membuat hatiku menghangat, tempo jantungku melambat, tenang sekali. Dulu, saat bertemu kalian, bagaimana bisa ya aku lebih memilih Taehyung padahal kamu jauh lebih tampan? Bahkan kamu jauh lebih baik, Seokjin.

"Itu bagus," katamu. "Apa terjadi sesuatu? Kamu seperti banyak berpikir belakangan ini."

"Entahlah," jawabku, mengendikkan bahu. "Aku saja tidak tahu, bagaimana bisa aku mengatakannya padamu?"

Kamu mengangguk, mengerti perasaanku.

Hembusan angin senja membelai surai kehitaman milikku, juga milikmu, membuatmu terlihat seperti pangeran di dongeng-dongeng yang selalu menjadi karakter favorit pembacanya karena tampan, baik hati, dan pemberani. Hanya saja, kamu terlalu banyak berbohong. Jadi, apa pembaca itu akan tetap menyukai pangeran sepertimu? Kalau aku, sih, tidak masalah. Bagiku, kamu jauh lebih baik dari pangeran manapun, lebih dari Taehyung.

Hanya saja, sudah berkali-kali kucoba untuk menyukaimu, aku tetap tidak bisa.

Terlalu sulit melupakan Taehyung, Jin.

"Sudah mau hidup, Sei?"

Aku tersenyum. Aku tidak pernah marah jika kamu yang mengatakannya. Sejak awal bertemu, itu yang selalu ucapkan, berbeda dengan temanmu yang lain yang hanya fokus membahagiakanku sampai lupa mengajariku cara melepaskan seseorang pun mengarahkan jalan pulang. Aku sudah terbiasa denganmu. Saat aku bermain bersama temanmu, cuma kamu yang menyuruhku hidup, awalnya aku kesal, kesal sekali, tapi karena kamu kelewat sering memperingati, aku jadi terbiasa. Aku tidak bisa kesal padamu, Seokjin.

Aku menggeleng. "Bukan tidak mau, Jin. Aku tidak mengerti ucapanmu. Memangnya persepsi tentang 'hidup' yang selalu kamu bicarakan itu apa? Memangnya sangat penting untukku?"

"Iya." Kamu mengangguk. "Penting sekali."

"Lebih dari Taehyung?"

Kamu meledakkan tawa sekejap. "Iyaa ... Lebih dari Taehyung."

Tidak tahu apa-apa dan masih tidak paham, aku hanya ikut mengangguk. Seperti orang bodoh.

Matahari mulai benar-benar condong, gurat jingga menyembul dari balik kaki langit sebelah barat, burung-burung mulai berterbangan, angin yang diembuskan cukup kencang, aku sampai hendak menutup jendela, tapi enggan, sejuk sekali diterpa angin begini.

Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi BersamaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang