Nyaman sekali.
Memang apa yang bisa kukatakan selain kalimat itu? Demi apapun, Jim, pelukanmu nyaman sekali.
Kepalaku terbenam di dadamu, entah sudah berapa lama, leherku pegal, aku yakin kamu juga, tapi aku tidak mau lepas. Tahu tidak? Hal pertama yang terbesit dalam kepalaku sesaat setelah mendengar namamu adalah berlari memelukmu. Ya, sesederhana itu, memang. Kendati efek yang kamu timbulkan tidak pernah sederhana.
Buktinya malam ini, tepat pukul tiga setelah entah berapa lama kamu menemaniku menyaksikan pergantian hari, jantungku bertalu abnormal, menghentak cepat, mendebarkan, seperti ingin keluar dari tempatnya, rasanya—sama seperti pertama kali melihat Taehyung hari itu.
Tahu tidak kenapa?
Kurasa, mungkin, belakangan ini hanya kamu satu-satunya orang yang bisa mengalahkan Taehyung soal mempermainkan tempo jantungku. Kamu hebat, ya. Rasanya aku ingin memilikimu saja.
Setelah lama hening, kamu tertawa sembari tangan kananmu mengelus lembut puncak kepalaku. "Hei ... hahahaha ... nyaman sekali, ya? Aku pegal, Sei."
Aku mendongak menatapmu lama, lalu tersenyum. "Aku dapat apa kalau melepas pelukanmu?"
"Kamu mau apa?" Kamu terkekeh lagi, manis sekali, kedua matamu bahkan menyipit membentuk bulan sabit dan senyummu lebar sekali sampai menarik pipimu hingga menggembul di bawah mata.
"Kamu."
Kamu tertawa mendengarnya, aku juga, padahal aku jujur. Tapi kenapa ini begitu menggelitik, ya, Jim?
Aku terdengar begitu menjijikan.
Hahah, tapi kamu tetap suka. Kenapa, sih, Jim? Kenapa kamu tidak sekejam Taehyung saja? Aku takut ... jika saja rasa yang kumiliki luruh untuk Taehyung, mereka akan mendarat padamu.
Tahu tidak? Aku bisa membayangkan sesakit apa aku nanti tapi aku kepayahan untuk menghindarinya. Kata Namjoon, itu yang disebut takdir.
Dengan pelan-pelan, aku melepas pelukanmu, aku kasihan pada ekspresi wajahmu yang sudah tidak mampu lagi menahan rasa pegal itu. Tapi, kamu menatapku lurus, dengan tatapan sehangat malaikat seperti biasanya. Kadang aku heran, apa malaikat benar sebaik ini? Aku ragu, karena di pikiranku, kamu jauh lebih baik dari malaikat. Malaikat itu, kan, pelayan Tuhan, mereka mengikuti apapun perintah Tuhan, sedangkan kamu tidak, karena kamu baik padaku.
"Kenapa kamu tidak tidur lagi malam ini?" Sembari bertanya, kamu mengangkat sebelah lenganmu untuk merangkul bahuku, bersandar pada kepala kasur.
"Aku..." Menjeda sebentar, karena aku bahkan tidak tahu kenapa aku tidak tidur, lagi(?) Maksudku, sungguh? Apa kemarin aku tidak tidur? "Aku, kan, rindu padamu, hehe."
Jemarimu menari-nari di atas kepalaku lagi, Jimin, mengusaknya gemas sekali, seperti yang Taehyung lakukan pertama kali. "Wah, kekasihnya Jimin sudah pandai menggoda, ya?"
Aku tertawa. Sungguh?
"Jangan katakan itu," titahku, karena sekonyong-konyong hatiku perih sekali. Seolah kalimat yang sempat kudengar dulu mengiris lagi. "Taehyung dulu juga begitu, tapi akhirnya dia menikahi wanita lain. Jangan begitu, Jimin. Aku mohon, jangan begitu."
Kamu melawan jarak, mempertipisnya untuk mendekatkan bibirmu pada pelipisku, menciumnya, cukup lama, sampai rasanya kantuk mulai menyerang. Sepertinya sudah cukup lama terakhir kali aku merasa kantuk sehebat ini. Tapi aku belum mau tidur, Jim. Aku masih rindu padamu, dan akan selalu begitu.
"Maaf, ya, Jim," lirihku, memutar-mutar telinga boneka kelinciku, tidak berani menatapmu.
Kamu menciumku lagi. "Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi Bersamaan
FanfictionKata mereka, ibuku terluka. Tapi aku tidak paham. [] . . . . Publikasi: 23 Desember 2021 Selesai: 11 Februari 2022