Akal

2 0 0
                                    

Aku punya satu hari di mana mata telanjangku menatap jutaan, atau miliaran bintang—mungkin, entahlah, aku tidak menghitung malam itu—dan aku kesepian.

Tidak, bukan karena aku sendiri, melainkan ternyata, jutaan bintang yang kutatap itu hanya delusi semata. Bintang itu tidak nyata.

Dan aku masih menemukan diriku baik-baik saja—jika luka-luka di tubuhku yang kuciptakan dan aliran air di pipiku yang mengering tidak dihitung sebagai sesuatu yang terlihat menyedihkan. Hari itu, aku masih ingat, bagaimana aku memeluk diriku sendiri setelah banyak berbicara denganmu, Namjoon. Dan foto Taehyung yang kugenggam, kamu bilang, aku harus membakarnya, atau ibu yang akan melakukannya.

"Sei."

Aku menoleh, bukan padamu, melainkan pada ibu yang tersenyum getir di ambang pintu, berjalan mendekat, meraih tanganku.

Tapi aku menatapmu lamat-lamat. Kali ini saja, Joon, aku mohon, bantu aku supaya ibu tidak membawaku pergi karena aku tidak ingin menyelesaikan konversasi denganmu. Berbicara denganmu itu menyenangkan. Kamu seolah solusi yang datang hanya ketika aku mulai bercerita.

Lesung pipimu menyembul, manis sekali. Tapi kamu cuma diam, tidak bergerak sedikitpun.

"Ini pukul dua belas malam, Sei. Udara di luar tidak baik, Sayang. Kamu harus memerhatikan kesehatanmu."

Joon, kenapa kamu tidak bicara?

"Sei..." Ibu melirih, aku tidak paham kenapa lagi-lagi air mata sialan itu membasahi pipi ibuku. Aku benci mereka, Joon. Aku benci pada kelompok air mata yang sibuk berlomba membasahi wajah ibuku.

Aku menggeleng, kali ini aku menolak. "Tidak, Bu. Aku mau di sini, bersama Namjoon. Sekali saja, sebentar lagi, kumohon."

Ibu diam, dia menutup mulutnya sebelum akhirnya mengusap suraiku lembut. Air matanya kian deras, tapi dia berlari masuk ke rumah, sepertinya mau menangis.

Kenapa, ya, Joon? Kok Ibu sering menangis?

Aku kembali berbaring di atas rerumputan di depan rumah, di sampingmu, sambil menatap bintang. Tidak, kali ini bintangnya sungguhan. Malam ini cukup cerah dan bintang bersinar cukup terang, cukup banyak, cukup untuk menemaniku dan kamu.

Perlahan, yang bisa kurasakan selain sapuan angin malam adalah bagaimana pergelangan tanganmu merayap meraih telapak tanganku untuk digenggam. Rasanya masih sama, hangat dan tulus, afeksimu bisa kurasakan.

"Aku sayang pada ibumu, Sei," katamu, melirikku sekilas, membuatku juga menatap manik naga milikmu seolah terbuai dengan satu pesona. "Aku juga sayang padamu."

Aku menautkan kedua alis.

"Jangan seperti ini, ini menyakitiku."

Aku tidak mengerti. Entah karena kamu yang terlalu jenius atau aku yang bodoh, tapi kata-katamu tak mampu aku proses untuk kumengerti.

Aku tetap tidak paham, Namjoon.

Posisimu sekarang menghadapku sepenuhnya kendati aku tetap menatap bintang. Aku takut dengan sinar matamu, Joon.

"Kamu ingat tidak awal kita semua bertemu?"

Aku tersenyum, mengangguk, mataku rasanya sampai ikut berbinar. Kenangan itu manis sekali, aku tidak mungkin melupakannya.

"Lalu kamu ingat berapa kali menolak kami?"

Kamu terkekeh, dan aku tertawa. Sungguh, ini hal lucu. Lucu sekali. Sampai rasanya hanya dengan mengingatnya aku akan mati.

"Hari itu, tiga tahun sebelum kamu meraih tanganku, dan tangan teman-temanku, atau ... sekitar ... lima tahun lalu, kamu menangis sampai tertabrak mobil, kamu bilang, pacarmu berkhianat dan dia macam-macam padamu. Detik-detik sebelum kesadaranmu hilang, aku, Taehyung, dan yang lainnya, mengulurkan tangan. Ingat tidak apa yang kamu ucapkan?" Aku menerka sebentar, sepertinya untuk yang itu aku tidak ingat, akhirnya aku menggeleng dan kamu melanjutkan, "Kamu bilang, 'Aku masih bisa bertahan.'"

Kamu tertawa, aku juga. Tapi sungguh, aku tidak ingat bagian yang itu kendati itu terasa nyata dan aku memang merasa mengatakannya.

"Lalu satu tahun sebelum kamu meraih tangan kami, tiga tahun lalu, kamu pulang sekolah dengan seragam yang compang-camping, penuh luka, rambutmu berantakan, kamu kacau, Sei. Setelah itu, kamu dimaki-maki pengendara karena kamu berjalan sempoyongan, kamu jatuh, berdarah-darah, karena seseorang menusuk belakang perutmu—nyaris membunuhmu." Kamu tersenyum tipis, tapi lesung pipimu kentara sangat manis. "Kami datang lagi, mengulurkan tangan, tapi kamu tersenyum lalu bilang, 'Aku masih bisa bertahan.'"

Kamu mengelus punggung tanganku, tersenyum lagi.

"Di pertemuan ketiga, kami menemukanmu di pinggir sungai Han, dengan luka yang kamu ciptakan sendiri, dengan beban yang hendak kamu buang bersama dengan nyawamu," lirih sekali kamu mengatakannya seperti takut ibu mendengar. "Saat itu aku meraih tanganmu, tapi kamu malah pergi. Kamu tidak jadi membunuh dirimu sendiri..."

Sesaat aku kira kamu tidak akan melanjutkan kalimat yang mendadak terdengar begitu menyedihkan. Namun ternyata kamu punya kata lain untuk menyempurnakan kalimat sebelumnya.

"Karena saat itu kamu melihat Taehyung." Kamu terkekeh sambil melirikku saat pipiku sudah terlampau merah. "Kamu bilang jantungmu berdegup kencang, suasananya cukup menyenangkan untuk bunuh diri, jadi kamu memilih pergi." Kamu tertawa, frekuensinya lebih keras, puas sekali. "Karena gugup kamu malah jatuh, tapi saat itu kamu menangis, kamu bilang, kamu sudah tidak bisa bertahan lagi, lukamu sudah sangat banyak, kamu sesak, jadi kamu diam. Itu sebabnya kamu menerima tujuh uluran tangan yang sempat kamu tolak dua kali."

Aku selalu senang bagaimana saat aku bercerita denganmu, kamu akan berusaha untuk membuatnya terasa menyenangkan, untuk membuatnya seolah tidak memiliki beban. Aku juga selalu senang bagaimana kamu selalu mengingat setiap detail kecil mengenai ceritaku yang bahkan aku sendiri lupa.

Dan aku senang bagaimana kamu menceritakan hal yang benar-benar baik soal Taehyung. Itu menghangatkanku, Joon. Seolah saat denganmu, perlahan, benci dan cinta yang kumiliki untuk Taehyung dapat terkikis pelan-pelan.

"Aneh, ya, Sei. Di masa-masa sekarat, kamu menolak bantuan. Tapi hanya karena hal kecil, kamu malah luluh." Sekarang kamu meletakkan lenganmu di bawah kepalaku untuk menjadikannya bantal, dan mengecup keningku. "Aku menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan hal itu, tahu."

Aku menatapmu dengan satu senyuman yang belum pernah kupatri belakangan ini, karena ini senyuman yang cukup sulit, Joon, ini senyuman yang sebenarnya. "Tahu tidak? Saat aku tertabrak mobil dan ditusuk seseorang, aku memang masih bisa bertahan. Tapi dampak tertabrak dan ditusuk membuatku ingin bunuh diri karena sudah tidak tahan. Jadi hari itu, energiku memang sudah habis, Joon. Jika saja aku tidak menyambut uluran tangan kalian, aku tidak akan berdiri lagi."

Memilih mengabaikan penjelasanku, kamu mengatakan hal lain, "Kamu itu kuat, Sei. Tapi kenapa rasanya sekarang ... kamu lemah sekali?"

Pertanyaanmu begitu menusuk relung, Joon. Tidak tahukah kalau aku perlu beberapa kali menelan saliva agar kerongkonganku tidak terasa seperti terjepit begini?

"Taehyung bukan segalanya."

Detik itu aku merasa bahwa diriku membeku.

"Kenapa rasanya ... kamu menyegalakan dia?"

Hari itu aku memilih mengabaikan bintang, menatapmu sesaat hanya untuk memastikan kalau tatapanmu tak seperti ini, tidak bisa ditebak. Jadi akhirnya aku membiarkan pertanyaanmu ditiup angin, karena saat itu aku yang memilih pergi, berlari ke dalam rumah karena ini sudah begitu larut dan pertanyaanmu menakutkan.

Kamu tahu aku tidak punya jawaban, Joon. []










Satu Hari Ketika Bahagia dan Akal Pergi BersamaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang